Anggaran Pro Poor, Masih Jauuuhh...

UNTUK waktu yang lama, anggaran publik selalu jadi soal, tidak terkecuali propinsi dan kabupaten/kota di daerah ini. Saban tahun dana DAU dan DAK berikut dana-dana stimulan lain digelontorkan dari mana-mana masuk ke daerah ini. Itu belum termasuk dana-dana dari donatur-donatur yang disalurkan melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Untuk Propinsi NTT (termasuk kabupaten/kota) tahun 2008 ini mengalir dana senilai Rp 10.704.315.917.000 (sepuluh triliun tujuh ratus empat miliar tiga ratus lima belas juta sembilan ratus tujuh belas ribu rupiah). Dana itu masuk dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dari pemerintah pusat dengan sumber dana APBN. Jumlah ini mengalami kenaikan 20,88 persen dari nilai DIPA tahun 2007 yaitu Rp 9.205.700.000.000 (sembilan triliun dua ratus lima miliar tujuh ratus juta rupiah).

Total nilai tersebut merupakan akumulasi DIPA untuk instansi vertikal kementerian/lembaga di daerah sebanyak 206 DIPA senilai Rp 2.983.185.171.000, DIPA tugas pembantuan untuk satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di propinsi/kabupaten/kota berjumlah 263 dengan nilai Rp 435.814.261.000 dan DIPA dekonsentrasi untuk SKPD propinsi berjumlah 59 DIPA dengan nilai Rp 699.994.322.000. Sisanya adalah DIPA dana alokasi umum (DAU) Rp 5.576.348.163.000 dan DIPA dana alokasi khusus (DAK) Rp 1.008.974.000.000.

NTT juga dihujani dana pihak ketiga yang dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Terdapat 221 LSM lokal (tercatat di Sekretariat Bersama Bappeda NTT) dan beberapa badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berkiprah di wilayah NTT. Tahun 2007 saja, sejak Januari hingga September, diketahui bahwa jumlah dana bantuan luar negeri yang dikucurkan untuk masyarakat NTT yang dikelola LSM-LSM mencapai Rp 139.478.387.205. Dana tersebut digunakan untuk kegiatan sektor pariwisata, pendidikan, pertanian, kelautan, kesehatan, pemerintahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Mencengangkan menyimak angka-angka ini. Bayangannya, dengan dana senilai itu batu juga bisa jadi lumut di daerah- daerah yang kekurangan air seperti di Kota Kupang. Anak-anak sekolah tidak perlu berhimpit-himpit seperti karung raskin di gudang ketika mesti mendengar pelajaran di kelas di hampir semua kabupaten.

Sayang, bayangan itu adalah bayangan bodoh. Nyatanya, urusan dana tidak satu garis lurus dengan bayangan itu. Tetapi, satu hal jelas dan nyata, yakni bahwa perbaikan nasib, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan kesejahteraan masyarakat seperti 'si punguk merindukan bulan'. Beras raskin datang dan datang terus. Makin hari makin banyak orang yang mengaku miskin. Saat menerima dana bantuan langsung tunai (BLT) telah menjadi salah satu musim paling menyenangkan di daerah ini.

Sementara di sisi lain, seorang pejabat bisa melakukan perjalanan dinas melebihi hitungan hari dalam sebulan. Satu bulan bisa melakukan perjalanan dinas 45 hari. Ada juga yang bahkan pada saat yang sama berada di dua daerah berbeda untuk perjalanan dinas.

Gambaran faktual seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa makin hari makin jauh jarak kesejahteraan antara mayoritas warga dengan segelintir orang yang mengaku abdi rakyat. Dana- dana yang datang bagai air bah, karena itu, perlu juga dipertanyakan seperti apa maslahatnya untuk rakyat.
Sebuah studi dan penelitian menarik dilakukan oleh Yayasan Aksi Cinta Kehidupan, Maumere bekerja sama dengan Yayasan TIFA Jakarta. Studi itu mengambil fokus pada anggaran di sektor kesehatan dan pendidikan di Kabupaten Sikka. Apakah anggaran dua sektor yang selalu jadi primadona kampanye para calon kepala daerah di seluruh pelosok negeri ini telah bertindih tepat dengan kebutuhan rakyat Sikka? Apakah derajat kesehatan warga Sikka semakin terdongkrak naik sebagai hasil langsung dari adanya dana-dana itu? Apakah mutu pendidikan anak-anak Sikka semakin meroket? Apakah guru-guru di pelosok-pelosok Sikka semakin enteng menjejak langkah?

Hasil penelitian yang diseminarkan di Hotel Benggoan 3, Maumere Jumat (5/9/2008) pekan lalu, itu mengungkapkan apa sebaliknya. Satu saja kesimpulan kuat yang dapat ditarik dari seminar itu, yakni bahwa anggaran pemerintah belum pro rakyat, belum pro poor. Pemerintah lebih banyak menganggarkan dana untuk kepentingan yang tidak memihak masyarakat. Anggaran bukan diperuntukan mengikuti kegiatan atau kebutuhan masyarakat, namun sebaliknya kebutuhan atau kegiatan pembangunan itu yang harus disesuaikan dengan dana yang tersedia.

Anggaran di dua sektor ini lebih banyak dihabiskan untuk belanja tidak langsung seperti belanja pegawai, belanja keperluan kantor dan kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak terkait langsung dengan kebutuhan rakyat jauh lebih besar.
Pada tahun 2007, misalnya, alokasi anggaran yang langsung berhubungan dengan urusan pendidikan sangat rendahm hanya 5,26 persen. Sedangkan pada tahun 2008 naik sedikit saja, cuma menjadi 6,04 persen. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemkab Sikka belum maksimal memenuhi kewajibannya terhadap pemenuhan hak warga atas pendidikan. Hal ini menunjukkan adanya persoalan disorientasi arah penenuhan hak atas pendidikan yagn mengarah kepada ketimpangan akses layanan pendidikan di Sikka.

Hal lain yang juga telah berlaku jamak adalah belanja untuk pegawai yang selalu ada di setiap jenis program dan kegiatan pendidikan. Setiap program yang menyentuh langsung dengan kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak atas pendidikan masih terselip belanja pegawai, seperti honor PNS dalam kepanitiaan atau kegiatan. Ambil contoh kepanitiaan pelaksanaan UAS/UAN. Pada kegiatan ini selalu dialokasikan anggaran untuk pegawai, padahal mereka digaji untuk urusan seperti itu.

Sikka adalah locus penelitian. Tetapi dari pengalaman, apa yang terbaca di Sikka adalah soal yang sama dengan di kabupaten lain. Dan, itu tak lain berarti bahwa anggaran untuk pro poor memang masih jauh dari harapan. (tony kleden)

Pos Kupang edisi Senin, 15 September 2008 halaman 18
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes