Rakyat NTT Harus Didorong Mandiri

KUPANG, PK -- Masyarakat NTT harus didorong untuk mandiri karena mereka memiliki kemampuan sendiri sebagai kekuatan lokal. Namun, kemandirian ini seringkali melemah oleh begitu banyaknya kepentingan dari luar, termasuk negara. Oleh karena itu diperlukan pendampingan.

Demikian antara lain intisari diskusi bertajuk, Membangun Kemandirian Masyarakat NTT, di ruang Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang, Rabu (10/9/2008). Diskusi ini diselenggarakan Surat Kabar Harian (SKH) Pos Kupang bekerja sama dengan Institute of Cross Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe) dalam rangka peringatan 50 Tahun NTT.

Diskusi dibuka oleh Pemimpin Umum SKH Pos Kupang, Damyan Godho, dipandu Fary DJ Francis dari InCrEaSe. Tampil sebagai pembicara Mr. Matzui Kasuhiza (peneliti senior i-i net/Expert JICA) dari Jepang, Rm. Maxi Un Bria, Pr (Penggagas kemandirian masyarakat As Manulea, Belu) dan Yusten Lalan (Pengusaha tambak dari Desa Bipolo, Kabupaten Kupang).

Peserta diskusi 30 orang, dengan latar belakang akademisi, aktivis LSM, tokoh masyarakat dan unsur pemerintah. Beberapa di antaranya, Melianus Toy (tokoh masyarakat Desa Olenasi), Johnny A Riwu (LPM Undana), Remigius Efi (BPMD NTT), Rm Leo Mali (FAN), Mario Viera (GTZ), Petrarca Karetji (DZF-Sofei/Bakti), Prof. Mia A Noach, Raymundus Lema (MPBI Kupang), Jonathan Lasa (FAN), Yosep Boli (PMPB), J Therik (Politani), Sofia Malelak de Haan (Yayasan Alfa Omega) dan Toby Messakh (Bappeda NTT).

Matsui Kazuhisa, orang Jepang yang cukup fasih berbahasa Indonesia, mengajak setiap orang untuk mencintai kampung/desanya sendiri. "Kalau Anda merasa malu dengan kampung halaman, Anda tidak mungkin serius memperbaiki kampung halaman tersebut," katanya.

Matsui mengatakan, masyarakat lokal memiliki banyak sumber daya. Sumber daya itu tidak hanya berupa kekayaan alam, tetapi juga berupa pikiran yang tersimpan dalam otak mereka. Cuma mereka menganggap sumber daya itu biasa-biasa saja dan lebih tertarik pada hal-hal yang datang dari luar.

Matsui mengemukakan sekian banyak paradoks yang terjadi dalam masyarakat lokal. "Kita kurang menyadari apa yang kita punya di dalam daerah kita sendiri. Kita perlu menciptakan suasana agar orang kota juga menghormati orang desa," katanya.

Romo Maxi Un Bria bercerita tentang perjuangan warga Desa As Manulea di Kabupaten Belu untuk mendapatkan air bersih. Warga As Manulea dulunya hidup di dataran rendah, tapi atas kebijakan pemerintah mereka pindah ke dataran tinggi di mana mereka menghadapi kesulitan air bersih.

"Masyarakat meminta kepada pemerintah untuk mengadakan proyek air bersih. Tapi, pemerintah dan DPRD mengatakan bahwa tidak mungkin karena masyarakat tinggal di dataran tinggi. Mereka menganjurkan pindah ke dataran rendah. Akhirnya pada tahun 2000 kami membentuk forum dengan tujuan utama air bersih. Lalu terbentuklah panitia air bersih.

Masyarakat sepakat setiap keluarga (ada 640 KK) menyumbang Rp 250 ribu sehingga terkumpul Rp 160 juta. Ini modal awal pembangunan air bersih. Akhirnya tanggal 13 Januari 2005 air itu diresmikan. Setelah dihitung total dana untuk pembangunan air bersih itu Rp 2,6 miliar," tutur Maxi.

"Kami menyadari bahwa dengan adanya air, pola hidup masyarakat berubah, dan itu terjadi dalam masyarakat As Manulea. Anak-anak tampak bersih, ibu-ibu sudah lebih banyak waktu untuk menenun. Ini berkat kerja sama yang sinergis, komunikasi dan pendekatan dengan semua elemen," tutur Maxi.

Maxi berkesimpulan masyarakat As Manulea memiliki potensi dan kekuatan untuk menolong diri mereka sendiri keluar dari persoalan dan kesulitan hidup. Mereka memiliki sederetan kearifan lokal.

"Mereka mungkin butuh sentuhan motivasi dan pencerahan untuk menemukan semua hal potensial di antara mereka," katanya.

Romo Maxi mengatakan, dengan cara masyarakat sendiri, dengan kemampuan dan kerja sama, masyarakat dapat menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Kini As Manulea menjadi pendorong, motivator untuk masyarakat lain. "As Manulea menjadi daerah yang semakin banyak dikunjungi orang karena ingin belajar tentang kemandirian masyarakatnya. Ada yang datang dari TTU," tutur Maxi.


Yusten Lalan mengisahkan perjuangan masyarakat Desa Bipolo menghadapi kesulitan mengelola usaha tambak. Namun, berkat keuletan, mereka telah berhasil membuat tambak ikan bandeng dan ada yang sudah bisa menikmati hasilnya. Apa yang mereka lakukan didorong kemauan mereka sendiri untuk mengubah nasib.

Meski berhasil, Yusten mengakui saat ini sangat susah untuk mengembalikan partisipasi masyarakat karena mereka sudah dibiasakan dengan proyek bantuan. Padahal sebenarnya di setiap lingkungan ada potensi. "Hanya pengembangannya yang salah pasang," kata Yusten.

Romo Leo Mali melihat kemandirian masyarakat justru dilemahkan oleh pihak luar, termasuk negara. Negara yang diharapkan menjadi fasilitator, dalam perkembangannya justru berubah menjadi diktator.

"Saya pernah mengalami ketika berada di kampung. Kita sebagai masyarakat tercerai-berai. Menurut saya, kita harus terbuka, bahwa selain negara, ada begitu banyak kepentingan yang menginginkan masyarakat itu lemah. Negara telah menjadi masalah untuk masyarakat. Baik itu dari proses politik, pembangunan dan sebagainya. Kita harus bisa menghubungkan proses melemahnya partisipasi masyarakat dengan semakin tuannya negara," kata Leo Mali.

Raymundus Lema mengatakan, sebelum negara ini terbentuk masyarakat kita sudah mandiri. Namun kebijakan pemerintah di masa lalu telah melemahkan kemandirian itu. Untuk mengembalikan kemandirian, dia menyarankan pendampingan terhadap masyarakat. "Sepanjang pendampingan itu tidak ada, percuma mengharapkan kemandirian masyarakat," kata Lema.

Diskusi berakhir pukul 18.30 Wita, dengan harapan ada tindak lanjut. "Kita tidak hanya bicara, tapi bagaimana berbuat sesuatu," kata Fary mengacu pada saran dan pendapat peserta diskusi. "Mari kita mulai dari diri sendiri. Apakah kita mencintai kampung kita, kecamatan kita, kabupaten, propinsi kita?" kata Fary. (aca/ati)

Pos Kupang edisi Kamis, 11 September 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes