Oleh Ferry Ndoen
ANEKA kekayaan di bidang pariwisata di Bumi Flobamora tidak terkira. Mungkin juga tak tertandingi di bumi nusantara. Namun aneka obyek pariwisata yang menyebar di ratusan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki ciri khas, dan berdaya tarik wisata yang sangat tinggi itu belum mendapat sentuhan optimal dari para pengelola dan pelaku pariwisata di NTT.
Kita di NTT memiliki wisata alam yang sangat banyak. Juga aneka budaya dan adat istiadat, serta ritual adat yang bisa dijual kepada wisatawan, baik wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara (domestik) serta wisatawan lokal.
Kita juga memiliki aneka wisata pantai/bahari, aneka tarian dan beragam kesenian yang bisa "dijual". Setiap etnik, sub etnik yang menyebar di seluruh wilayah NTT memiliki kekhasan tersendiri. Semuanya menarik, berdaya tarik wisata tinggi karena wisata sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia.
Salah satu contoh keunggulan pariwisata yang kini semakin redup adalah wisata bahari/pantai selancar di Pantai Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya. Selama lima tahun terakhir, tidak lagi digelar even bertaraf internasional untuk mempromosikan keindahan pantai itu. Pemerintah setempat, khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao beralasan ketiadaan dana untuk menggelar even bertaraf internasional. Dinas ini selalu mengusulkan anggaran untuk menggelar even wisata bertaraf internasional di Nemberala, namun mentok dalam pembahasan di DPRD setempat. Dewan setempat menilai kegiatan macam itu hanya menghambur- hamburkan anggaran.
Pantai Nemberala yang sangat indah dengan gulungan ombaknya sangat bagus untuk selancar. Sudah mendunia. Bahkan Nemberala sudah menjadi ikon pariwisata di Rote Ndao.
Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman ketika meliput even Selancar Internasional di Pantai Nemberala, Agustus 2000 silam. Even ini digelar Pemkab Kupang. Saat itu Rote Ndao masih masuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. Even bertaraf internasional ini digelar dengan melibatkan event organizer dari Propinsi Bali, menelan dana Rp 500 juta lebih. Gaung yang dihasilkan even ini luar biasa. Nemberala langsung mendunia. Apalagi saat itu, panitia pelaksana mampu menghadirkan jaringan internet -- yang saat itu masih menjadi "barang aneh" di Rote-- di lokasi kegiatan. Internet, sudah disadari, sebagai salah satu kebutuhan wisatawan, juga sebagai salah satu perangkat paling efektif untuk "menduniakan" sebuah kegiatan. Maka perkembangan even tersebut langsung bisa diakses masyarakat dunia.
Even Selancar Nemberala 2000 silam itu mampu menyedot ratusan wisatawan yang datang dengan sejumlah kapal. Saat itu, Nemberala diakui sebagai salah satu tempat wisata kelas dunia karena gelombang lautnya tak kalah indahnya seperti di pantai Pulau Hawai, Pantai Kuta-Bali. Tidak sedikit wisatawan yang mengakui irama musik Sasando tak kalah indahnya dengan petikan musik Hawaian yang sudah mendunia itu.
Lalu, apa kabar Nemberala saat ini? Menyedihkan. Potensi wisata kelas dunia itu dibiarkan tak terurus. Tak ada lagi even-even dunia dengan alasan ketiadaan dana. Di saat kabupaten-kabupaten lainnya di NTT begitu gencar menghidupkan sektor pariwisatanya, Rote Ndao malah "mengabaikan" Nemberala. Mestinya pantai ini harus tetap dipertahankan sebagai ikon pariwisata di kabupaten terselatan ini.
Tengoklah Kabupaten Alor, yang dalam tujuh tahun terakhir mampu menghidupkan aset-aset pariwisatanya. Pemerintah bersama masyarakat bergandengan tangan menggelar Expo Alor secara rutin setiap tahun. Dan, even ini sudah mendunia karena sudah masuk dalam rangkaian Sail Indonesia.
Kini, Alor sudah mampu memikat hati wisatawan dunia. Misalnya, dengan "menjual" obyek wisata diving di Pulau Kepa. Tenun ikat Alor dan perkampungan adat di daerah itu sudah mendunia.
Nah, daya pikat Nemberala jauh lebih kuat. Kita berharap ke depan, ikon pariwisata ini dihidupkan lagi agar tetap bersinar ke seluruh penjuru dunia. Investasi bidang pariwisata berdampak luas dan jangka panjang. Nilai ekonomis dari hidupnya sektor pariwisata akan mendongkrak pendapatan rakyat kecil, selain pemasukan bagi daerah. *
Pos Kupang edisi Minggu, 28 September 2008 halaman 1
ANEKA kekayaan di bidang pariwisata di Bumi Flobamora tidak terkira. Mungkin juga tak tertandingi di bumi nusantara. Namun aneka obyek pariwisata yang menyebar di ratusan pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki ciri khas, dan berdaya tarik wisata yang sangat tinggi itu belum mendapat sentuhan optimal dari para pengelola dan pelaku pariwisata di NTT.
Kita di NTT memiliki wisata alam yang sangat banyak. Juga aneka budaya dan adat istiadat, serta ritual adat yang bisa dijual kepada wisatawan, baik wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara (domestik) serta wisatawan lokal.
Kita juga memiliki aneka wisata pantai/bahari, aneka tarian dan beragam kesenian yang bisa "dijual". Setiap etnik, sub etnik yang menyebar di seluruh wilayah NTT memiliki kekhasan tersendiri. Semuanya menarik, berdaya tarik wisata tinggi karena wisata sudah menjadi salah satu kebutuhan manusia.
Salah satu contoh keunggulan pariwisata yang kini semakin redup adalah wisata bahari/pantai selancar di Pantai Nemberala, Kecamatan Rote Barat Daya. Selama lima tahun terakhir, tidak lagi digelar even bertaraf internasional untuk mempromosikan keindahan pantai itu. Pemerintah setempat, khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Rote Ndao beralasan ketiadaan dana untuk menggelar even bertaraf internasional. Dinas ini selalu mengusulkan anggaran untuk menggelar even wisata bertaraf internasional di Nemberala, namun mentok dalam pembahasan di DPRD setempat. Dewan setempat menilai kegiatan macam itu hanya menghambur- hamburkan anggaran.
Pantai Nemberala yang sangat indah dengan gulungan ombaknya sangat bagus untuk selancar. Sudah mendunia. Bahkan Nemberala sudah menjadi ikon pariwisata di Rote Ndao.
Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman ketika meliput even Selancar Internasional di Pantai Nemberala, Agustus 2000 silam. Even ini digelar Pemkab Kupang. Saat itu Rote Ndao masih masuk dalam wilayah Kabupaten Kupang. Even bertaraf internasional ini digelar dengan melibatkan event organizer dari Propinsi Bali, menelan dana Rp 500 juta lebih. Gaung yang dihasilkan even ini luar biasa. Nemberala langsung mendunia. Apalagi saat itu, panitia pelaksana mampu menghadirkan jaringan internet -- yang saat itu masih menjadi "barang aneh" di Rote-- di lokasi kegiatan. Internet, sudah disadari, sebagai salah satu kebutuhan wisatawan, juga sebagai salah satu perangkat paling efektif untuk "menduniakan" sebuah kegiatan. Maka perkembangan even tersebut langsung bisa diakses masyarakat dunia.
Even Selancar Nemberala 2000 silam itu mampu menyedot ratusan wisatawan yang datang dengan sejumlah kapal. Saat itu, Nemberala diakui sebagai salah satu tempat wisata kelas dunia karena gelombang lautnya tak kalah indahnya seperti di pantai Pulau Hawai, Pantai Kuta-Bali. Tidak sedikit wisatawan yang mengakui irama musik Sasando tak kalah indahnya dengan petikan musik Hawaian yang sudah mendunia itu.
Lalu, apa kabar Nemberala saat ini? Menyedihkan. Potensi wisata kelas dunia itu dibiarkan tak terurus. Tak ada lagi even-even dunia dengan alasan ketiadaan dana. Di saat kabupaten-kabupaten lainnya di NTT begitu gencar menghidupkan sektor pariwisatanya, Rote Ndao malah "mengabaikan" Nemberala. Mestinya pantai ini harus tetap dipertahankan sebagai ikon pariwisata di kabupaten terselatan ini.
Tengoklah Kabupaten Alor, yang dalam tujuh tahun terakhir mampu menghidupkan aset-aset pariwisatanya. Pemerintah bersama masyarakat bergandengan tangan menggelar Expo Alor secara rutin setiap tahun. Dan, even ini sudah mendunia karena sudah masuk dalam rangkaian Sail Indonesia.
Kini, Alor sudah mampu memikat hati wisatawan dunia. Misalnya, dengan "menjual" obyek wisata diving di Pulau Kepa. Tenun ikat Alor dan perkampungan adat di daerah itu sudah mendunia.
Nah, daya pikat Nemberala jauh lebih kuat. Kita berharap ke depan, ikon pariwisata ini dihidupkan lagi agar tetap bersinar ke seluruh penjuru dunia. Investasi bidang pariwisata berdampak luas dan jangka panjang. Nilai ekonomis dari hidupnya sektor pariwisata akan mendongkrak pendapatan rakyat kecil, selain pemasukan bagi daerah. *
Pos Kupang edisi Minggu, 28 September 2008 halaman 1