Makan Semangka di Ranokolo

SEKELOMPOK pria dan wanita duduk melingkar di dalam pondok kecil di pinggir jalan raya Maurole- Welamosa. Yang tidak kebagian tempat, berdiri mengelilingi pondok. Mereka serius mendengar penjelasan dari seorang pria tua berpeci.

Seorang ibu muda menulis sesuatu pada buku besar. Pemandangan menarik tersaji di balik pondok. Ratusan buah semangka dan melon siap panen menyembul indah di hamparan sawah yang kering. Hamparan sawah Tiwu Lodja, sekitar 67 km arah utara Kota Ende.

Hari itu, Kamis 18 September 2008, jarum jam hampir menunjukkan pukul 10.00. Udara panas, jalanan berdebu, terik matahari mulai terasa membakar kulit. Diskusi kelompok pria dan wanita tersebut terhenti sejenak saat Pos Kupang datang menyapa. Seorang pemuda bergegas memetik buah semangka. Dibelah lalu disajikannya. Semangka Ranokolo tak kalah rasanya dibanding semangka asal Tarus, Semau, Kabupaten Kupang. Kerongkongan segar, dahaga sirna.

Mereka yang berkumpul di pondok itu adalah anggota kelompok tani dari Kampung Wolondopo, Desa Ranokolo, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Para petani itu tergabung dalam Sekolah Lapangan (SL) Wolondopo. Hari itu mereka menggelar rapat difasilitasi tenaga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Rofinus Bheti, S.Pt. Agenda pokok yang dibahas adalah persiapan acara panen perdana semangka dan melon pada Selasa, 23 September 2008. Panen perdana dilakukan Camat Maurole, Drs. Gregorius Gadi dan pejabat dari Dinas Pertanian Kabupaten Ende.

"Kami buat acara sederhana. Kami undang Pak Camat untuk panen secara simbolis sekaligus memberikan motivasi kepada kami untuk lebih serius mengembangkan semangka dan melon," kata Ketua Kelompok Tani Wolondopo, Alexius Wai (62).

Menurut Rofinus Bheti, Sekolah Lapangan (SL) Wolondopo semacam proyek contoh guna optimalisasi pemanfaatan lahan sawah tadah hujan di Desa Ranokolo. Luas lahan sawah tadah hujan di desa itu sekitar 150 ha. Kebiasaan lama, setelah panen padi (sekali dalam setahun), petani di sana menanam kacang hijau. Pasca panen kacang, mereka istirahat total dari aktivitas di sawah karena ketiadaan air. Mereka beralih memetik jambu mete dan kakao atau mengurusi ternak sapi, kerbau, kambing, babi dan ayam.

"Setelah panen padi dan kacang, petani istirahat. Mereka tunggu musim hujan berikutnya. Jadi sekitar tiga sampai empat bulan lahan tidak dimanfaatkan," kata Rofinus Bheti yang tinggal di Desa Ranokolo sejak tahun 2000.

Inspirasi Rofinus Bheti mendorong petani Ranokolo mengembangkan semangka dan melon datang dari Tarus, Kabupaten Kupang. Dalam suatu pelatihan di Kupang tahun 2007, ia menyempatkan diri mengamati usaha tanaman semangka di Tarus. Dalam waktu 75 hari petani di Tarus sudah bisa panen semangka dan melon. Pemasarannya pun sangat bagus. Petani mendapat keuntungan.

Sekembali ke Ende ia mengorganisir petani binaan dan membuat rencana sekolah lapangan. Rencana tersebut didukung pimpinan BK3P (Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian) Ende dan Dinas Pertanian dengan memberikan bibit semangka hibrida, melon serta pupuk. Tanggal 22 Juli 2008 ujicoba penamanan semangka dan melon dimulai pada lahan seluas 25 are milik Thomas Taghi (60), salah seorang anggota SL Wolondopo.

Rofinus Bheti bangga, cara mengembangkan semangka yang diajarkan kepada 25 petani binaanya cukup berhasil. Berat buah maksimal mencapai 6 kg dan terasa manis seperti semangka Tarus atau Semau.

Meski demikian, para petani masih perlu didampingi terutama dalam hal perawatan dan perlakuan agar semangka tidak berbuah tunggal. Idealnya satu pohon semangka bisa menghasilkan 2-4 buah/pohon. "Bila pemangkasan tidak dilakukan lebih dini, satu pohon hanya menghasilkan satu buah semangka," ujarnya.

Menurut Rofinus usaha pada tahun pertama sekadar ujicoba. Hasil panen pertama untuk konsumsi sendiri dan sebagian dijual. Tahun depan tanaman ini diharapkan menjadi andalan petani Ranokolo mendapatkan uang setelah panen padi dan kacang hijau. Ia berharap, setiap anggota SL Wolondopo bisa menanam 25 are tanaman semangka di lahan sawah tadah hujan. Kebutuhan air bisa terpenuhi dengan menggunakan mesin pompa air.

Ketua Kelompok Tani Wolondopo, Alexius Wai mengakui, selama ini mereka hanya mengenal semangka lokal berbuah kecil dan rasanya kurang manis. Semangka hibrida yang diperkenalkan PPL Rofinus Bheti sangat bagus dan memberikan harapan bagi mereka mendapatkan uang pada musim panas.

"Kami banyak belajar lewat sekolah lapangan. Tahun pertama ini kami belajar bersama. Tahun depan, kami akan usahakan sendiri di lahan masing-masing," ujar Wai dibenarkan anggota kelompok lainnya, Thomas Tahi, Petrus Sato, dan Martinus Mbete.

Alexius Wai dan Rofinus Bheti menyadari, pemasaran menjadi masalah yang bakal dihadapi anggota kelompok tani tersebut. Namun, mereka optimis pasar lokal seperti Kota Ende, Maumere dan Mbay bisa ditembus. "Sejauh pengamatan saya, penjual buah di Kota Ende mendatangkan semangka dari Kupang," kata Bheti.

Peluang lain, Ranokolo, Ropa, Sokoria berada di jalur segitiga jalan Pantura Flores. Mbay di barat, timur ke Maurole-Maumere dan selatan ke Ende. Saban hari jalur ini dilalui bus antarkota dan angkutan pedesaan. Kemudahan akses transportasi itu merupakan peluang yang harus diambil. Setiap hari orang datang dan pergi.

Ranokolo pun tidak jauh letaknya dengan proyek pembangunan listrik tenaga uap (PLTU) berkekuatan 2x7 MW di Ropa, sekitar 3 km dari lokasi persawahan Tiwu Lodja. PLTU Ropa merupakan sumber daya energi yang dibutuhkan untuk pengembangan industri di kawasan Utara Flores. Masa depan petani di wilayah utara Ende, Sikka dan Kabupaten Nagekeo sangat menjanjikan. Lahan kering pada musim panas bukan menjadi alasan untuk menyerah. (dion db putra/eugenius moa)


Tinggal di kampung

"SELAMA 18 tahun menjadi PPL, saya selalu tinggal di kampung. Pindah dari kampung ke kampung bersama keluarga," kata Rofinus Bheti, S.Pt, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Ranokolo, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.

Dengan memilih tinggal di kampung, kata Bheti, dia lebih memahami dan mengenal kehidupan para petani.
Setelah menyelesaikan kuliah di Kupang, Rofinus Bheti mengabdi sebagai PPL honorer di Desa Wolojita tahun 1990. Tahun 1993 dia diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Setelah mengabdi selama delapan tahun di Wolojita (1990-1998), suami dari Yulita Wigho yang dinikahinya tahun 1996 itu dipindahkan ke Detusoko.

"Desa binaan saya di Detusoko adalah Saga. Di sana saya sempat membuat sekolah lapangan," katanya.
Hanya dua tahun dia bertugas di Detusoko. Pada tahun 2000, Rofinus Bheti dimutasi ke Kecamatan Maurole. Ayah dua anak itu ditempatkan sebagai PPL di Desa Ranokolo sampai sekarang. Dia juga merangkap sebagai mantri tani. Menurut Bheti, di kecamatan Maurole terdapat enam tenaga PPL yaitu Lawan Silvester, Rofinus Bheti, Thres Jumba, Albina Moi, Romanus Said dan Darius Pio. Setiap PPL bertugas melayani satu sampai dua desa binaan.

"Petani tidak percaya kalau kita hanya omong-omong. Mereka baru percaya kalau melihat contoh. Jadi, kita harus beri contoh dulu dan selalu bekerja bersama- sama dengan mereka," kata ayah Ferdinanto Y Bheti (11) dan Marvin Theresa Bheti (6) tersebut.

Salah satu kendala yang dihadapi PPL adalah menularkan pengetahuan dan keterampilan kepada para petani binaan. "Daya serap petani kita umumnya lemah. Mereka tidak mudah mengadopsi pengetahuan dan keterampilan dari PPL. Maka pendampingan masih sangat dibutuhkan. Seorang PPL harus sabar. Tidak semua program kita berhasil," demikian Rofinus Bheti. (dion db putra)

Pos Kupang edisi Sabtu, 27 September 2008, halaman 16
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes