Gemohing

Oleh Damianus Ola

MASIH terlalu pagi untuk bangun dari tidur. Tapi bunyi ribuan burung kukak (burung kuak) yang bermalam di pohon besar di tepi kampung seperti mengajak warga untuk tidak boleh bermalas-malasan di tempat tidur. Ibu- ibu bergegas menumbuk padi. Agar bubur buat sarapan segera tersaji. Biar bekal buat suami ikut gemohing (kerja gotong-royong) bisa segera siap. Bunyi orang titi jagung dan suara kokok ayam pagi bagai bersahutan. Ya, jagung titi dan kopi panas memang pas untuk pembuka sarapan pagi.

Bapa-bapa mulai bergegas ke luar rumah.
Dingin menusuk tulang karena embun kemarau menetes sepanjang malam. Ama Beda sudah bangun lebih dulu. Dia sudah membuat api di pekarangan rumah. Satu persatu anak-anak mulai mendekat menghangatkan badan. Beberapa anak langsung bergegas pergi, "berburu" mangga masak yang jatuh. Entah sisa makan kelelawar atau karena ranum dan jatuh sendiri saat pohon tergoyang dihinggap kelelawar, itulah yang dicari.

Lumayan buat pengisi perut sepulang sekolah nanti.
Tak terasa matahari pagi sudah menyembul di ufuk timur. Anak-anak harus segera sarapan dan ke sekolah. Bubur pagi dari beras tumbuk memang kental menggoda selera. Apalagi ditemani kretut bakar (kretut: ikan gurita yang dikeringkan). Selesai makan, anak-anak langsung bergegas ke sekolah. Di pinggir jalan raya ke sekolah, banyak tumbuh pohon kulek (sejenis pohon perdu berdaun lebar). Daun-daun pohon itu banyak embunnya. Cukup memetik sehelai dua daun kulek itu buat lap muka, membersihkan kotoran mata. Begitulah cara anak-anak mandi pagi sebelum tiba di sekolah.

Hari itu, bapa-bapa dan pemuda di kampung, kerja gemohing di Ama Beda punya kebun. Jagung musim kemarau memang lagi menguning. Sepulang sekolah anak-anak kampung sepakat bermain di kebun Ama Beda. Sehabis bakar jagung muda, anak-anak akan mengerjakan PR, membuat patung dari tanah liat. Itu PR dari guru Petrus Peten Lewo, guru SDK Ongebelen.

Kebetulan di tengah kebun Ama Beda ada mata air. Namanya Wai Pok. Nah, tanah liat banyak terdapat di sekitar mata air itu. Sambil membuat patung, anak-anak menjerat burung menggunakan nanah pohon nangka. Burung-burung yang singgah untuk minum air, tidak akan bisa terbang lagi begitu kakinya menginjak nanah pohon nangka. Mudah kan? Tinggal diambil dan dijadikan lauk buat makan siang. Kan ada ubi dan pisang di kebun yang bisa dibakar. Sungguh mengasyikkan.

Gemohing hari itu berlangsung riang. Ada nyanyian pemberi semangat, namang dan sole oha (nyanyian tradisional berbait pantun). Sambil menyiangi rumput di kebun, bapa-bapa dan para pemuda menyanyi. Anggota gemohing yang umurnya paling muda bertugas menuangkan tuak dari bambu ke tempurung kelapa dan diberikan kepada semua anggota gemohing, setiap 10 atau 15 menit. Maka suasana kerja di kebun makin bersemangat sampai senja menjemput malam.

Itulah suasana keseharian di kampung Lamawato, sebuah kampung kecil di Desa Kwaelaga-Lamawato, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur. Semula saya tidak percaya saat iseng memanfaatkan google.co.id untuk mencari kampungku itu. Ternyata mesin pencari raksasa itu menuntun saya ke website
http://wikimapia.org. Di sana ada peta Pulau Adonara dan kampungku ada di sana. Hanya satu kilometer dari kaki Ile Boleng, satu-satunya gunung api di Adonara.

Ternyata kampungku sudah mendunia juga ya.. hehe... Tapi suasana seperti tigapuluhan tahun silam itu entahkah masih ada sampai kini. (damianusola.yahoo.com)

Pos Kupang edisi Sabtu, 13 September 2008 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes