Kampung

KITA selalu mencari apa yang kita tidak punya tanpa melihat apa yang kita punya. Di ruang tak luas berdesak-desakkan, di Jalan Kenari 1 Kupang, ditingkah riak riuh hiruk-pikuk Pasar Inpres Naikoten Satu. Dalam deru sepeda motor dan oto merk Honda, Yamaha, Suzuki, Toyota yang meraung-raung di jalanan Kupang, Matsui Kazuhisa berdiskusi dengan 30-an orang.

Hari itu, Rabu 10 September 2008. Senja menjelang malam. Beta merasa Matsui keras menampar. Dia menghardik kesadaran yang telah lama tidur. Membentak alam bawah sadar. Mungkin beta tidak sendirian...

Matsui Kazuhisa agen asing. Tenaga Ahli JICA (Japan International Cooperation Agency). Dia pakar masalah kemandirian lokal dengan kompetensi teruji. Terima kasih bung Farry Francis yang telah mempertemukan. Persahabatan memang indah.

Pria Jepang itu melanjutkan kata-katanya. Kita selalu menganggap bahwa orang luar mempunyai hal-hal yang lebih bagus daripada yang kita punya. Kita selalu menjelekkan diri sendiri sambil dibandingkan dengan orang luar. Kita selalu lebih percaya hal-hal yang ada di luar daripada yang ada di dalam. Maka tidak ada di sini, minta dari luar!
Siapa berani membantah Kazuhisa? Salahkah pernyataan Penasihat Kebijakan Pembangunan Daerah se-Sulawesi itu? Dia layak menasihati kita di beranda rumah ini. Rumah Flobamora yang lama tak melihat apa yang kita punya.

Lima puluh tahun lalu, Bung Karno bicara tentang berdiri di atas kaki sendiri alias berdikari. Warisan itu entah ke mana pergi. Bertahun-tahun negeri ini terus meminta tanpa mampu memberi. Bertahun-tahun, ini negeri terperangkap bantuan luar (negeri). Negeri yang hilang kemandiriannya. Lama terpesona jargon. Puas dibuai slogan. Tak sadar kaki rapuh. Tak sanggup menopang tubuh montok oleh gizi makanan impor. Sewindu otonomi daerah, beras si miskin pun masih dari luar. Di rimba raya bantuan, ada jalan tak berujung. Kita tersesat, lupa jalan pulang...

***

APAKAH daerahmu tidak punya apa-apa. Miskin? Pertanyaan Kazuhisa kembali menghentak nalar. Carilah apa yang ada di daerahmu. Ada gunung, ada laut. Ngarai, sawah dan ladang. Ada manusia, ada budaya, makanan khas. Ada sejarah, pengalaman hidup. Daerahmu memiliki macam-macam! Soalnya, sejauhmana Anda memahaminya? Gugatan yang menyengat. Ketika kita suka melihat ke luar, senang menatap halaman rumah tetangga, kita lupa berapa jengkal luas dan isi halaman rumah sendiri.

Pembangunan pada akhirnya soal jatidiri. Memahami diri sendiri. Dan, Matsui Kazuhisa mengajak kita kembali ke kampung. Bukan melihat Hirosima atau Nagasaki. Tidak membandingkan dengan Tokyo atau Nagoya. Kupang bukan Singapura. Oesao jelas beda dengan Osaka. Jangan-jangan kita lebih hapal jejak Osaka ketimbang setiap petak sawah di Oesao sana.

Pembangunan! Ini kata yang disebut paling sering. Dieja berulangkali. Dalam forum musrenbang, di gedung dewan, dalam pidato dan sambutan, proposal bantuan dana. Dalam kotbah di mimbar rumah ibadah. Pembangunan, hendak dimulai dari mana?


Pembangunan mulai dari makan. Kedaulatan perut alias "kampung tengah". Kazuhisa menyentil untuk kesekian kalinya. Masyarakat desa sehari-hari makan apa? Apakah makanan dan cara makannya sehat dari segi ilmu gizi? Makanan tersebut berasal dari mana? Dari desa sendiri atau dari luar desa? Usaha tani atau nelayan di desa dikonsumsi oleh siapa?

Pertanyaan sederhana. Susah menjawab, kecuali orang yang mengkaji dengan sungguh kampung halaman. Hanya orang-orang yang mencintai kampung, mengenal desa. Siapakah di antara kita yang sungguh mengenal desa?

Dua hari lalu seorang sahabat anggota Forum Academia NTT mengirimkan puisi Kesepian karya Friedrich Nietzsche.

Burung-burung gagak berteriak
Dan berdengung terbang ke kota:
Salju akan turun segera -
Bahagialah dia yang kini masih - berkampung halaman!
Kini kau berdiri kaku,
Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!
Mengapa kau yang tolol
Sewaktu musim dingin menjelang - larikan diri ke dunia?
Dunia itu pintu gerbang
Ke seribu gurun bisu dan dingin!
Yang kehilangan,
Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.
Kini kau berdiri pucat,
Terkutuk untuk ngembarai musim salju,
Bagaikan asap,
Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.
Terbanglah, burung, teriakkan
Lagumu dalam nada-burung-gurun! -
Umpetkanlah, kau yang tolol,
Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!
Burung-burung gagak berteriak
Dan berdengung terbang ke kota:
Salju akan turun segera,
Celakalah dia yang tak berkampung halaman!


Bukankah Nietzsche sedang mengusik kita? Menghardik kealpaan merawat kampung besar Flobamora? (email: dionbata@poskupang.co.id)

Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 15 September 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes