Menjadi Orang Asing di Negeri Sendiri

Oleh Agus Sape

HARIAN Kompas edisi 21 April 1980 menurunkan sebuah artikel tentang sumber daya mineral di NTT. Artikel itu bercerita tentang Bukit Setan di Kampung Oesu'u, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Masyarakat setempat menyebutnya "Bukit Setan" karena bukit itu memang menampilkan "wajah" yang sangat menakutkan. Bukit dan lembah di sekitarnya gundul total. Tidak ditumbuhi sebatang pohon atau selembar rumput pun. 

Tempat itu oleh masyarakat setempat dianggap tempat berkumpulnya setan-setan yang selalu marah apabila ada manusia yang datang ke sana. Sejak zaman nenek moyang, siapa pun yang berani mendekat, akan selalu mendapat kesulitan. Ada yang sakit-sakitan, ada yang menunjukkan gejala tidak waras. Pokoknya, kalau ke sana pasti akan mendapat hal yang tidak diinginkan. 

Pada tahun 1971, seorang peneliti bernama Cesarius Castillio, datang dan bermalam di Oesu'u. Mendapat cerita dari penduduk setempat mengenai Bukit Setan, Castillio pun memutuskan untuk melihatnya secara langsung. Dia menduga kondisi bukit itu berhubungan dengan adanya sinar radio aktif yang kuat. 
Castillio pun didorong kuat oleh pendapat bahwa berbagai penemuan penting di dunia yang pada akhirnya menyingkapkan berbagai rahasia alam sering bersumber pada tahyul seperti yang menyelimuti perasaan penduduk Kampung Oesu'u itu.

Dalam usaha menemukan "Bukit Setan", keesokan harinya Castillio menemukan berbagai barang purba dan barang persembahan yang tampaknya diletakkan manusia sejak berpuluh tahun lampau. Bangkai binatang, sirih pinang, mata uang dari zaman VOC berhamburan di mana-mana. Juga terdapat dalam tanah yang sempat dikorek-korek oleh Castillio.

Berkat pengetahuan yang dimilikinya tentang berbagai sumber alam berupa mineral, Castillio menyimpulkan sementara bahwa di bukit dan dataran itu pasti ada radio aktif yang kuat. 

Kesimpulan ini diperkuat oleh adanya sumber air yang terasa sepat dan pahit-pahit di sebelah timur Bukit Setan. Air ini tentu mengandung arsenik sehingga tidak diminum oleh penduduk setempat. Tetapi tentunya penduduk mengira bahwa air itu milik setan pemilik bukit yang tidak boleh disentuh manusia.

Penelitian sementara ini kemudian dilakukan lagi setelah Castillio berusaha mendapatkan alat pencatat sinar radio aktif berupa Geiger - Teller dan Geiger Counter serta alat-alat pengaman yang diperlukan untuk memasuki daerah yang mengandung radio aktif.

Dugaan Castillio seketika itu pula terbukti. Geiger-teller yang dipasang dan diarahkan ke tanah, berbunyi keras dan jarum penunjuk skala bergerak naik dengan tajam. Beberapa keping batuan Malachite di dasar sungai kering yang didekatkan dengan Geiger langsung bereaksi keras. Keping-keping Malachite itu menggerakkan jarum Geiger sampai pada angka skala 250. 

***
CERITA ini sengaja diangkat kembali di sini, bertepatan dengan HUT ke-50 Provinsi NTT, hanya mau mengingatkan bahwa sebenarnya alam NTT itu tidak miskin seperti anggapan selama ini. NTT mempunyai cukup banyak sumber mineral, seperti barit, pasir besi hitam, gips, dan lain-lain untuk dikembangkan. Bukit Setan yang diceritakan di atas kemungkinan besar mengandung uranium dalam kadar dan jumlah yang besar.

Selama ini Pulau Timor juga dikenal berbatu-batu dan kering kerontang. Curah hujannya kecil. Air hujan yang kecil itu begitu cepat meresap ke bawah. Topografinya berbukit-bukit terjal.
Namun menurut seorang pakar geologi, Dr. Sampurno (Kompas, 15 Desember 1984), kondisi demikian justru menjadi tantangan teknik yang menarik. Dengan kondisi berbatu-batu justru berpeluang memiliki kandungan kapur dan lempung dalam jumlah sangat besar. Dua material ini menjadi bahan dasar pembuatan semen.

Apa yang dikatakan Dr. Sampurno ternyata sudah lama menjadi perhatian Castillio. Pada tahun 1953 dia sudah mulai meneliti pembangunan pabrik semen. Dia sempat mengirim contoh semen ke Balai Penyelidikan Bahan di Bandung. Setelah menguji mutunya, balai ini segera meminta kepala inspeksi Jawatan Perindustrian Propinsi Sunda Kecil untuk memberikan kredit dan alat yang diperlukan untuk membantu pengembangan usaha semen Castillio.

Sebagai pengamat geologi, Castillio juga memberi perhatian utama pada bahan tambang barit. Dalam penelitiannya dia menemukan barit dengan berat jenis 4,6 serta mengandung barium sulfat sekitar 96 persen di Lembata.

Penelitiannya juga mencakup tembaga, galena (timah hitam dan seng) dan krom serta mangan. Khusus tembaga, pada tahun 1970 Castillio bersama Broken Hill melakukan survei. Menurut pengakuannya dia menemukan tembaga yang kadarnya memang rendah, tapi depositnya banyak. Dia juga menemukan emas (Kompas, 15 Desember 1984).

Namun, dari cerita di atas pula, kita mendapat pesan bahwa potensi-potensi itu tidak dilihat dan tidak diketahui oleh masyarakat NTT sendiri. Masyarakat melihat itu semua tidak lebih sebagai bukit dan batu-batuan biasa yang tidak ada guna- gananya. 

Ini terjadi karena masyarakat NTT ketiadaan pengetahuan tentang alam NTT dan potensi-potensinya. Mereka seperti orang asing di tengah bergelimang harta karun alam NTT. Sebagaimana terjadi di Oesu'u, alam tidak jarang dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan, setan yang membawa malapetaka bagi manusia.

Bukan karena orang NTT itu bodoh atau tidak memiliki kemampuan intelektual yang memadai, melainkan karena mereka berorientasi atau diorientasikan ke hal-hal lain. Tidak sulit untuk mendapatkan daftar orang-orang yang hebat atau memiliki kemampuan luar biasa dari NTT. Tetapi mereka pada umumnya hebat di bidang-bidang lain yang kadang tidak relevan dengan kondisi alam NTT. 

Kalaupun ada yang ilmunya relevan dengan NTT, mereka umumnya tidak mau kembali ke NTT. Mereka lebih senang mengabdi di luar. Mereka terbukti menjadi orang-orang hebat di daerah-daerah lain.

Ini terjadi karena NTT sudah telanjur distigmakan sebagai daerah kering, tandus dan tidak ada apa-apanya. Anggapan ini membuat orang-orang NTT cenderung meninggalkan NTT. Mereka tidak punya minat untuk mengenal dan mendalaminya. Maka tidak terelakkan, pendidikan bagi orang NTT bukan membuatnya semakin mengenal budaya dan potensi daerahnya, melainkan membuatnya semakin jauh dan terasing dari daerahnya. Berusaha mempelajari dan mengenal potensi daerah sendiri sering dianggap kolot dan "kampungan". Inilah paradoks masyarakat NTT.

Orang NTT menganggap apa yang ada di luar NTT itu lebih baik dan lebih maju. Karena itu, orang NTT berusaha sekolah di luar NTT, bahkan sampai ke luar negeri, walaupun harus dengan susah payah. 

Tidak salah. Daerah atau bangsa mana pun di dunia tidak pernah seperti sebuah pulau yang berdiri sendiri. Dia juga perlu belajar dari kearifan-kearifan daerah atau negara lain untuk memperkaya dan menyempurnakan kearifan-kearifan yang ada di daerahnya sendiri.

Tetapi, tidak jarang apa yang mereka pelajari di luar tidak relevan dengan kebutuhan NTT, karakter alam dan budaya NTT. Maka tidak heran kalau banyak orang NTT yang menyandang gelar tinggi nyaris tidak bisa berbuat apa-apa sampai di NTT. Ilmunya mubazir dan tidak jarang menjadi frustrasi.


Padahal kondisi NTT yang cukup menantang ini bisa menjadi medan yang sangat luas untuk dipelajari. Kalau orang-orang dari luar daerah bahkan luar negeri bisa mempelajari NTT dan bisa meraih gelar tinggi dari hasil penelitiannya tentang NTT, maka sebenarnya orang-orang NTT sendiri jauh lebih gampang lagi karena mereka anak kandung NTT.

Cesarius Castillio itu menjadi peneliti geologi bukan setelah menyandang gelar-gelar akademik yang tinggi. Pria berdarah Filipina yang lahir dan besar di Flores ini hanya mencapai kelas V Schakelschool (sekolah rakyat zaman Belanda) di Ndao Ende Flores. Tetapi karena minatnya yang begitu tinggi dan niatnya yang besar agar potensi alam NTT bermanfaat bagi masyarakat NTT, dia pun bisa disejajarkan dengan para peneliti bergelar akademik tinggi.

Minat Castillio ini didukung pula dengan karakternya yang suka berpetualang. Dijelajahinya daerah-daerah Kalimantan sampai Irian Timur, Manado hingga Timor bahkan daerah sekitar Australia Utara, Great Barier Rest sebelah timur dan sebagian pulau-pulau Lautan Teduh, hanya bersumberkan pengetahuan Ilmu Bumi yang diperoleh sampai kelas V SR Belanda itu.

Dalam petualangan ke berbagai daerah itu, Castillio berkesempatan mengikuti berbagai misi penelitian dari ahli-ahli geologi Inggris dan Australia untuk penyelidikan dasar laut, perut bumi, pemutiaraan dan geologi pada umumnya.

Pengalaman yang ia petik secara praktis kemudian ditambah dengan kegemaran membaca, menjadikannya kemudian lebih tekun pada hal-hal yang menyangkut geologi, terutama setelah ia menikah di Larantuka, Flores Timur (Kompas, 21 April 1980).
Masa depan NTT membutuhkan orang-orang seperti Castillio. 

Daerah kita kaya akan sumber daya alam. Kita hanya perlu mengenal dan mencintainya. Kita perlu terus menggali potensi- potensinya agar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat NTT. Alam NTT bukanlah tempat tinggal setan-setan, melainkan tempat bergelimang harta yang boleh kita manfaatkan.

Penolakan terhadap aktivitas penambangan di beberapa daerah di NTT dalam beberapa tahun terakhir bukan semata-mata karena pertambangan itu akan merusak lingkungan, tetapi karena aktivitasnya tidak bakal memberi manfaat bagi masyarakat NTT sendiri. Masyarakat kita akan menjadi penonton bagaimana orang-orang luar NTT (investor) mengeksploitasi kekayaan alam NTT untuk keuntungan mereka, justru karena orang-orang kita tidak memiliki keahlian di bidang pertambangan. *

Pos Kupang edisi Minggu, 21 Desember 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes