Pulang Kampung

(Apresiasi untuk Rubrik 'Kampungku')

Oleh Wilfrid Babun
Mahasiswa Fakultas Hukum Unwira Multi Kampus, Ruteng

NTT selalu dicap daerah miskin, tidak punya apa-apa. Kita jadi malu dan rendah diri dengan cap seperti itu. Kita cenderung memandang apa yang dipunyai daerah dan orang luar NTT lebih baik daripada kita. Padahal kenyataannya, daerah kita memiliki berbagai potensi, baik berupa kekayaan alam maupun pikiran, yang ada di kampung-kampung kita. Surat Kabar Harian Pos Kupang ingin membuka mata kita terhadap hal ini sekaligus mengajak kita untuk mencintai daerah kita, dengan membuka rubrik 'Kampungku' di halaman 10. Rubrik ini akan muncul teratur tiap hari Sabtu, mulai tanggal 13 September 2008. Redaksi. (Pos Kupang, 12 September 2008, hal.1)

Apa yang menarik dari kampung? Mengapa Pos Kupang secara sengaja membuka rubrik baru dengan judul 'Kampungku'? Lazimnya, orang bercerita tentang kota. Tampilannya dikemas aduhai, mendesak kita untuk berlomba-lomba ke sana. Alasannya pun variasi. Kota itu menjanjikan. Punya prospek. Orang kota atau pernah di kota, gayanya parlente; suka gagah- gagahan. Sedangkan kampung: sebuah keterpencilan menjadi panorama telanjang di depan mata kita. 

Jalan-jalannya banyak yang cengar-cengir. Lobang di mana-mana; kubangan jadi cerita wajar. Kita kadang tidak mengerti, kenapa kebijakan pengerjaannya justru pada saat daerah kita dihajar hujan siang- malam. Maka jangan heran, kalau belum sebulan lewat, ada badan jalan yang terlanjur sudah keok. Kasus Rongket di Manggarai Raya yang makan korban bisa beri pelajaran. Alasan pembenar dan klasik sering kita dengar. Eh, katanya: dana pembangunan infrastruktur baru cair pada waktu derasnya hujan. Membekunya entah di mana? Celoteh lain begini: proyek jalan mesti setengah hati, supaya ada jatah untuk masuk kantong kali berikutnya. Tiap tahun, ada anggaran untuk jalan yang sama. Pantas kalau jalan-jalan kita, selalu saja jalan di tempat. Yang gemuk para kontraktor, masyarakatnya tetap kurus.

Ketika mengalami dan merasak jalan yang terseok-seok dari dan ke kampung-kampung, kita mendesis, ah. Mana tahan! Minta ampun. Lebih banyak jalan kakinya daripada kita duduk manis di atas 'bis kayu.' Kalau sampai kota, kita mesti luangkan waktu agak lama untuk bersihkan badan. Di samping berkilo-kilometer jauhnya perjalanan, tetapi kerap kita keringatan karena serunya perjalanan itu sendiri. Kendaraan merayap di kaki bukit. Kerap menderu dalam lumpur yang licin. Kiri-kanan ada jurang menganga. Jantung harus kuat. Salah sedikit, tamatlah riwayat. Tetapi saudara-saudara kita dari kampung tenang-tenang saja. Mereka seakan menikmati keadaan seperti itu atau terpaksa harus diam seribu bahasa. "Habis sudah suara kami!" Kemerdekaan memang sesuatu yang mahal dan kian menjauh dari denyut sebuah kampung. 

Namun kita boleh juga bangga mempunyai sopir-sopir yang terbilang hebat. Dengan gagah dan cekatan mereka merangkak pelan tetapi pasti. Mungkin stiker kecil yang terpampang di kaca depan kendaraan itu jadi saksi: Hidupku di atas roda! Om-om sopir ini sering harus tiarap di kolong kendaraan dengan banyak sebab. Seorang bocah dengan bangga mengaku sukses menggembosi ban. Saat ditanya, kenapa? "Om sopir itu lupa membayar rokok di kios orangtuanya!" Bisa juga oto mogok karena mesinnya sudah tua. Tentu, di batin para sopir, kondektur dan terlebih masyarakat kebanyakan bertumpuk aneka tanya: kapan nasib ini bisa menjadi lain? 

Indikator sejahtera untuk warga masyarakat kampung kita cukup sederhana: transportasi membaik. Ada air minum bersih. Makanan secukupnya dan listrik. Biar cuma tiang-tiangnya doang. Siapa perhatikan? Pemerintah di wilayah kita sibuk dengan kata pembangunan. 50 dan 63 tahun sudah kita arung bersama, kemiskinan tetap melumuri wajah sejarah anak bangsa. Rendra sudah lama menulis dalam 'Orang-orang Miskin' : .... jangan kamu bilang negara ini kaya/kerna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa..." 

Di sisi lain, sejumlah aktivis pro bono communae semisal Simon Suban Tuhan SVD, cs, sangat peduli memperkuat jaringan basis sosial untuk menolak tambang. Rupanya investasi tambang di belahan bumi 'Congka Sae' sudah tercium amis. Pernyataan Wakil Bupati Manggarai dan juga dosen di Fakultas Hukum Multi Kampus Ruteng Dr. Kamilus Deno, SH, MM mesti kita catat: "...Makanya kemarin di rumah jabatan saya agak curiga dan bertanya usaha penyelidikan umum ko sampai tiga tahun tidak berhenti-berhenti dan keluar duit sampai miliar-miliar, 20 sampai 50 miliar lebih. Itu kan yang kita lihat, rakyat tidak lihat itu. Karena itu kita diskusi, kau ini jangan tipu pemerintah juga..." (JPIC - OFM Indonesia, Mencegah Tanah Manggarai Tidak Hancur, Kertas Posisi, hal.19). Pihak gereja memang tidak mesti tidur! Angan-angan mata hati masyarakat harus dipelototi, biar tidak layu dan apalagi jadi lapuk. Masyarakat tetap merekam dalam kesadaran bahwa saat kampanye pilkada, jalan-jalan itu, apa pun modelnya, riuh. Antara janji dan kebohongan meluncur dari panggung politik. Gelegar suara para politisi dan yel-yel simpatisan bersahut-sahutan. Caleg laki-laki berebut nomor urut dan yang perempuan cukup untuk memenuhi takaran normatif kuota 30 %.

Seorang teman dari partai politik yang cerewet ini bisa omong benar. Politisi itu punya ciri. Ada politisi oportunis. Pikirannya sangat materialistis. Aji mumpung! Bagaimana mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, itu orientasi. Terkadang seperti kutu. Loncat sana-loncat sini. Ini politisi perut. Birokrasi kita juga birokrasi perut. Strategi canggih untuk tipe manusia-manusia ini ialah mekanisme pengendalian melalui perut. Sentilan dosen Hukum Perdata Unika Multi Kampus Ruteng, Frumentius Mandaru, SH, MH ini rasanya pas. Ketika lemak nempel di sekujur tubuh, orang bisa jadi malas. Katanya: orang malas itu bantal setan! 

Kepekaan sosial pun menjadi jauh. Usaha merekam denyut nadi realita sosial dan membahasakannya hanyalah trik politis sesaat. Sesudah road-show politik berakhir, kampung-kampung kita kembali membisu. Kita menjadi masyarakat diam (silent majority) yang tiap saat terjungkal terus menerus di atas gelanggang kemiskinan. Sampai kapan, entahlah. 

Selanjutnya, politisi pejuang memiliki komimen pada kenyataan sosial. Masyarakat adalah sahabat yang harus disahuti dan didengarkan. "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemaan manusia dewasa ini, terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula" (GS.1). Simpatik solidaritas begitu kental. Yang diperjuangkan adalah kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Konsistensi mereka ditakar pada level ini. Politik diamini sebagai arena pertarungan konsep-konsep besar kemanusiaan, tetapi lebih merupakan sarana pematangan diri dan menjadi medan bakti. Suatu panggilan yang harus dipertanggungjawabkan.Tak terelakan lagi, politik harus menjadi sakramen! 

Politisi-politisi ini sementara berada di antara kita, di kota dan kampung kita. Rubrik Kampungku mungkin sedang mengingatkan kita semua akan gejala ini. Di samping itu bisa saja ada crew Pos Kupang yang lagi kangen kampung (home sick). Dan ketika aneka nostalgia menyeruak dan sulit dibendung, jatuh cinta pada kampung halaman semakin menggejala. Dari sanalah kita berasal - dari satu kampung. Suatu tempat yang letaknya jauh di bukit nan sunyi. Tergusur dari aneka pusat kebijakan (mungkin lantaran itu juga Pos Kupang menginformasikan kehadiran rubrik Kampungku ini pas di suatu sudut bawah, bisa luput dari perhatian kita). 

Akan tetapi di sana para warganya selalu merajut solidaritas dengan begitu indah. Kala ada hajatan, pernikahan atau duka, dalam sekejap seluruh kampung berdatangan. Mereka bikin, apa yang bisa dikerjakan. Sebuah tenda sederhana beratap terpal segera kelar. Prinsipnya ialah saling meringankan dan berbagi dalam kasih. Kampung dan di kampung memang ada kesederhanaan, kekerabatan, kedekatan, persaudaraan. Ada rasa senasib-sepenanggungan. Nilai-nilai sosial ini masih saja mekar lantaran dijaga dengan cukup disiplin oleh mosalaki pu'u atau tua-golo. 

Bahasa dari saudara-saudaraku di kampung: Dadar misalnya, sangat mengandalkan rasa dan betul memperhitungkan hati. Hati yang merasa sangat lain dari apa yang terpikirkan di ubun-ubun kepala. Tetapi jangan gegabah bilang, kalau sesama kita di kampung kurang akal. Tidak rasional. Kampungan, bodoh, kolot, menjijikkan janganlah ditimpakan ke atas bahu dan jantung mereka. 

Kita semua: politisi, para pejabat, ulama dan Jabur di Kepo Mok itu berasal dari sana: sebuah kampung. Jangan sekali-kali melupakan kampung karena itu bukan terlebih soal lokasi-geografis tetapi terkait dengan hati. Kita bisa saja tinggal di suatu tempat dengan alasan apa saja, tetapi kita tidak bisa ada tanpa sebuah hati! Hati menjadi sebuah energi kehidupan. Dengan dan dalam suasana hati yang teduh, kita bisa fokus. Bisa maksimal dalam karya. Hati, suatu conditio sine qua non. Sebaliknya, tinggal setengah hati, itu sama saja bohong. Tanpa hati, kita dan dunia jadi mati.

Rubrik Kampungku bisa menjadi sebuah isyarat psikologis bahwa ada sesuatu yang tidak mudah diintimidasi dalam diri setiap insan dengan alasan apapun dan oleh siapapun. "Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru" dan "Kotbah Di Penjara" Arswendo Atmowilopo jadi saksi. Kedua buku nostalgis ini mencatat jelas perihal hati yang bergairah walau berada dalam sekap penjara yang sepi. Sebuah hati yang lepas bisa sangat aktif. Produktivitas, kreativitas (elan vita) dapat tercipta manakala hati menemukan eksistensinya secara memadai. Sekali lagi, kampung bukan terutama berkaitan dengan lokasi-geografis tetapi atmosfer sebuah hati. 

'Kampungku' mencitrakan jiwa dan totalitas kepribadian. Adalah eksistensi. Maka, tidak salah kalau mengatakan: kampung, tempat hati kita berada! Suatu yang normal kalau hati ini rindu pulang kampung. *

Pos Kupang edisi Selasa, 2 Desember 2008 halaman 14
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes