NUSA Tenggara Timur (NTT), kampungku. Usianya 50 tahun. Orang luar, pun orang dalam, selalu membaptisnya dengan 'nama' baru. Banyak. Mulai dari Nasib Tidak Tentu, Nasib Tergantung Tindakan hingga Nanti Tuhan Tolong. Masih banyak lagi. Tergantung dari angle mana orang melihatnya. Orang yang berurusan dengan 'sinyal' bisa saja membaptisnya dengan nama Nanti Telkomsel Tolong. Macam-macam lagi.
Hari Rabu (21/10/2008) lalu, ketika menghadiri pelantikan Kepala BKKBN NTT, Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc, menggantikan G Soter Parera, S.H, MPA, di Aula El Tari-Kupang, saya mendengar nama baptisan baru lagi. Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, menyebutnya dengan lantang. NTT, Propinsi Batu Bertanah. "Orang luar yang menyebut nama ini. Mengapa tidak 'tanah berbatu,' tapi 'batu bertanah.' Mungkin mereka lihat di Kupang ini banyak batu karang," ujar Gubernur Frans mereka-reka alasannya.
NTT, apa pun plesetannya, baptisannya, kata Gubernur Frans Lebu Raya, masyarakat di daerah ini tak perlu berkecil hati. Kepala tetap tegak. Aula El Tari saat itu hening. Tak ada yang bereaksi. Apalagi memrotes. Semua 'kesengsem' mengamininya. "Anggaplah 'nama baru' itu sebagai pelecut agar kita bekerja lebih giat lagi. Menjalankan tugas panggilan sebagai pelayanan masyarakat dengan lebih sempurna lagi. Sesuai harapan masyarakat dan kita semua. Stigma-stigma itu, terutama stigma kemiskinan harus dihapus," kata Gubernur Frans ketika memulai sambutan.
Satu demi satu di hadapan para koleganya, Gubernur Frans menguraikan delapan program strategis yang dioperasionalkannya selama lima tahun menakhodai 'Kapal NTT'. Pertama, pemantapan kualitas pendidikan. Kedua, pembangunan kesehatan. Ketiga, pembangunan ekonomi. Keempat, pembangunan infrastruktur. Kelima, pembenahan sistem hukum dan keadilan. Keenam, konsolidasi tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketujuh, peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan, kesejahteraan anak dan partisipasi pemuda. Kedelapan, agenda khusus yang meliputi penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, kepulauan, dan penanggulangan bencana.
Tatkala menguraikan program strategis ketiga tentang pembangunan ekonomi, Gubernur Frans Lebu Raya, mengemukakan obsesinya menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Jagungisasi. Mengubah 'Batu Bertanah' menjadi 'Batu Berdaun (Jagung). Program 'rakasasa' yang kini sedang digalakkan. Pupuknya 'Anggur Merah.'
***
TAHUN 70-an, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya menghafal betul jawaban ketika ditanya tentang makanan pokok orang NTT. Jawabannya, jagung. Guru membenarkannya. Ditanya juga makanan pokok orang Irian dan Maluku. Saya menjawab, sagu. Juga benar.
Kalau pertanyaan yang sama ditanyakan lagi kepada para siswa SD di kampungku saat ini, jawabannya pasti berbeda yaitu nasi atau beras. Bukan jagung. Mereka tidak salah. Sebab, pada zamannya mereka tidak lagi merasakan nikmatnya rebok (jagung yang ditumbuk setelah digoreng). Juga jojong (tepung jagung yang dikukus menggunakan bambu). Jika 'tolakannya' ikan teri atau ipung, terasa nikmat.
Menurut Rosegrant (1997), partisipasi konsumsi beras penduduk Indonesia dewasa ini mencapai 96,87 persen. Selama ini ketahanan pangan bangsa ini selalu diukur dari berapa jumlah produksi dan stok beras yang dikuasai pemerintah. Kebijakan 'berasosisasi' menyebabkan kearifan pangan lokal tercerabut. Konsumsi sagu, umbi-umbian (hipere), jagung, thiwul, telah beralih ke beras. Yang terjadi kemudian adalah kasus-kasus kelaparan kerap terjadi di NTT. Ikutannya busung lapar, gizi buruk. Meradang setiap tahun.
Saya sudah tinggalkan rebok, sombu, koil (gaplek), beralih mengonsumsi beras. Orangtua di kampung pun tidak memroduksinya lagi. Sebuah kesalahan fatal. Betapa tidak, untuk mengubah pola konsumsi pangan penduduk, kembali lagi ke non beras, paling tidak membutuhkan waktu satu generasi.
Kini, konsumsi sumber energi karbohidrat penduduk NTT dan Indonesia umumnya yang terfokus pada beras mengakibatkan tekanan yang sangat berat terhadap produksi beras dalam negeri. Akibatnya, kedaulatan pangan negeri ini selalu dikorbankan.
Setiap tahun pemerintah selalu mengulang kebijakan impor beras. Alasannya klasik, stok yang dikuasai oleh Perum Bulog tidak dalam posisi aman. Sesuai rekomendasi Badan Pangan Dunia (FAO), cadangan beras pemerintah yang ideal sebesar 2,5-3,5 persen dari total konsumsi suatu negara. Untuk ukuran Indonesia angka itu identik dengan stok beras sebesar 800 ribu hingga 1,2 juta ton.
Agar ketahanan pangan nasional kokoh, maka pemerintah harus berusaha dengan serius dalam menegakkan kedaulatan pangan, utamanya beras. Menurut Angka Ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS), produksi padi tahun 2007 lalu mencapai 57,07 juta ton gabah kering giling (GKG), atau meningkat 4,76 persen dibanding 2006.
Meskipun belum didukung penelitian empiris, diduga peningkatan produksi ini dipicu oleh insentif harga jual gabah/beras yang memadai sehingga petani lebih bergairah menanam padi. Banyak petani yang menyampaikan pada penulis, bahwa harga jual gabah/beras yang sangat menggairahkan membuat mereka nekat menanam padi pada musim tanam III meskipun biaya eskploitasi pompa air untuk irigasi cukup tinggi.
Oleh karena itu pemerintah harus menjaga momentum swasembada beras berkelanjutan (sustainable self sufficiency) dengan berbagai kebijakan yang mendukung. Antara lain dengan membangun berbagai sarana infrastruktur pra panen maupun pasca panen, seperti perbaikan jaringan irigasi, silo penyimpanan, mesin pengering, pemasaran, dan akses permodalan bagi petani.
Untuk menjaga jatuhnya harga jual saat panen raya seperti yang mulai dirasakan beberapa hari terakhir ini, Perum Bulog harus segera menjemput bola dengan melakukan pembelian langsung ke petani. Tentunya tak ada alasan lagi prognosa pengadaan gabah/beras tak tercapai kalau kecepatan gerak Bulog dalam pembelian gabah petani tidak selamban gerak octopus. Perlu diingat oleh Bulog, bahwa panen musim rendengan ini menempati porsi 65 persen dari panenan tahun berjalan.
Mencontohi Idola
Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) tingkat Propinsi NTT di Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Kamis (30/10/2008) lalu merupakan titik balik sejarah. Saat itu, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, mulai mengkampanyekan pengembangan tanaman jagung di NTT. Para bupati/walikota se-NTT telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) mendukung gebrakan Gubernur NTT menjadikan NTT sebagai propinsi jagung. Memulai secara perlahan mengubah pola konsumsi beras ke makanan non beras.
Tak hanya MoU yang ditandatangani, HPS Sikka juga melahirkan 'Deklarasi Maumere' untuk memerangi kemiskinan dan kelaparan di NTT. Suatu tekad untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras dengan melakukan penganekaragaman konsumsi pangan secara regional maupun nasional secara berkelanjutan. Kini, konsumsi beras penduduk versi hasil koordinasi Menko Perekonomian sebesar 139,15 kg/kapita/tahun. Angka tersebut sama dengan konsumsi rakyat Jepang 35 tahun lalu. Saat ini konsumsi mereka hanya 60 kg/kapita/tahun.
Menurut perhitungan matematis sederhana, jika kita mampu menurunkan angka konsumsi beras nasional menjadi 125 kg/kapita/tahun saja, maka kita dapat menghemat tidak kurang dari 3 juta ton beras per tahun. Belum lagi jika kita mampu menyelamatkan kehilangan pasca panen yang angkanya secara nasional masih di atas 12 persen, maka bukan mustahil Indonesia akan menjadi negara eksportir beras!
Operasional 'Deklarasi Maumere' perlu dikawal hingga ke pelosok desa. Sebab NTT sangat kaya varian bahan makanan sumber karbohidrat, seperti ubi jalar, jagung, singkong, ketela, hermada, kentang, pisang, dan umbi-umbian lainnya. Peluang terbuka bagi para ahli kuliner dan teknologi pangan untuk dapat menyajikan sumber pangan alternatif tersebut sejajar dengan beras. Jika semua itu sudah dapat dilaksanakan, maka masalah beras tidak akan selalu menjadi lingkaran setan.
Kita juga sangat paham bahwa masyarakat NTT merupakan masyarakat paternalistik. Sangat mudah mencontohi sesuatu yang dilakukan oleh sosok idola (patron). Pada HPS di Sikka, semua pejabat yang hadir, termasuk Gubernur Frans Lebu Raya, Wagub Ir. Esthon Foenay, M.Si, para bupati/walikota ramai-ramai menikmati hidangan snack berupa jagung rebus, singkong rebus, jagung rebus. Kampanye yang dilakukan para idola ini kiranya diteruskan hingga tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa, RT/RW. Sebab, yang sering terjadi selama ini, seremonial peluncuran sebuah program sangat marak, meriah, namun operasionalnya di lapangan mati hidup. Hasilnya 'melarat.' Apalagi kalau sang patronnya duduk di belakang meja. Berkotbah makan jagung, tetapi hidangan di mejanya roti dan keju.
Mengubah pola konsumsi dari beras ke makanan non beras dapat menghemat ribuan ton terigu dan devisa jutaan dolar AS. Artinya, kita berhasil mengubah 'batu bertanah' menjadi 'batu berdaun jagung, singkong, ketela, kentang, pisang' dan sebagainya menjadi primadona. Mengapa tidak! *
Pos Kupang 12 Desember 2008 halaman 1