Uta Tabha

Oleh Apolonia Matilde Dhiu

UTA tabha...cu...cu..cu. Menu ini mengingatkan aku akan kampung halamanku Boua, Desa Ubedolumolo, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada. Sebuah kampung yang hanya berjarak lima kilometer dari Kota Bajawa. Letaknya cukup strategis, berada tepat di jalan negara Bajawa-Ende. 

Meski dekat dengan Kota Bajawa, kehidupan masyarakat di kampung ini pada dasarnya masih tradisional. Kalau saat ini orang mengenal bubur manado dengan bahan dasar beras, di kampungku ada uta tabha. Sederhana, tapi menjadi menu andalan warga kampungku pada masa paceklik. Ketika masyarakat tidak bisa menjangkau beras di pasar atau pangan jagung sudah tidak mencukupi lagi. Biasanya terjadi pada bulan Januari dan Februari. Maklum, penghasilan utama masyarakat di kampungku adalah jagung. Rata-rata warga menanam jagung. 

Kalau ada yang menanam padi biasanya padi ladang. Itu pun mereka menggarap kebun penduduk di desa lain, seperti Belu, Bejo, Langa bahkan sampai di Zeu, Kecamatan Golewa, atau di Soa, Kecamatan Soa. Sedangkan warga yang tidak memiliki handai taulan di kampung-kampung tersebut biasanya tidak ada alternatif lain kecuali menanam jagung. Untuk mendapatkan beras mereka harus membeli di pasar Bajawa. Syukur kalau ada pembagian beras masyarakat miskin (raskin) dari pemerintah desa. 

Walau jarang mengonsumsi beras (dhea), masyarakat di kampungku tidak pernah kelaparan ataupun busung lapar. Uta Tabha memiliki keunikan yang luar biasa. Menu ini terdiri dari beberapa bahan lokal yang dicampur menjadi satu ketika dimasak.

Bahan dasarnya jagung (sae) atau beras jagung (dhea sae), kacang merah atau brenebon (boji), labu siam kuning (besi), ubi jalar merah (dhao), daun pepaya muda (uta padu), kelapa dan garam. Boji atau brenebon bisa diganti dengan kacang hutan atau kacang polong (lebha). Selain buahnya, daunnya (sawa lebha) juga bisa menggantikan daun pepaya (uta padu) untuk uta tabha.

Cara membuatnya gampang sekali. Jagung yang sudah ditumbuk diambil biji besarnya atau jagung bulat, baik yang muda maupun yang tua, dicampur dengan kacang dan daun pepaya. Direbus di periuk (bhogi) atau periuk tanah (bhogi tana) sampai lembek. Setelah lembek, masukkan labu siam yang diiris dadu atau ubi jalar (dhao) dipotong bulat. Kacang bisa macam-macam. Bisa kacang merah atau brenebon. Bisa juga kacang hutan atau kacang polong. Orang di kampungku menyebutnya li'e lebha. 

Selain buahnya (li'e lebha), daunnya (sawa lebha) juga bisa digunakan sebagai pengganti uta padu (daun pepaya). Setelah direbus lembek, masukkan kelapa yang diparut kasar dan garam secukupnya. Parutan kelapa biasanya menggunakan parut tradisional (regu), bentuknya seperti garpu dengan ujung yang dikikir kecil-kecil dan ditancapkan pada kayu berbentuk seperti kuda. Karena daun pepaya rasanya pahit, garam sebaiknya dimasukkan sedikit saja. Lezat memang kalau dihidangkan saat perut lapar. 


Untuk menambah cita rasa biasanya ditambah dengan sambal. Sambalnya sederhana saja. Lombok diulek sampai halus ditambah sedikit garam, masukkan tomat yang diiris-iris kecil. Di kampungku banyak daun kemangi dan bawang. Mereka biasa menanamnya di samping rumah. Sambal ini menambah khas menu uta tabha, sehingga menambah selera makan. 

Berbicara uta tabha memang paling menjengkelkan saya pada masa kecil dulu. Mulut komat-kamit ketika pulang sekolah melihat uta tabha di periuk yang dimasak mama. Kadang malas makan, tetapi karena tuntutan perut ya, makan juga. Soalnya, tidak ada menu lain kalau musim lapar. Apalagi, cuaca di luar rumah hujan sepanjang hari. Mau ke kebun untuk mencari bahan lain susah. Mau tidak mau masak apa adanya, karena menu yang tersedia di rumah hanya jagung dan kacang. Ya, itulah yang saya alami waktu kecil. Tetapi, makanan seperti itu tidak pernah membuat kami sakit atau kelaparan. 

Uta tabha tetap menjadi konsumsi masyarakat di kampungku sampai sekarang. Saudara-saudara yang datang dari kota kadang-kadang tidak mau makan kalau melihat menu tersebut. Tapi, bagi kami di kampung, uta tabha adalah makanan pokok. 
Nasi (maki) bagi kami adalah barang langka. Kalau ada yang mengonsumsinya, hanya orang-orang tertentu seperti guru atau pegawai. Kalau bisa makan nasi, itu rezeki luar biasa. Ya, begitulah kampungku. 

Semasa waktu kecil tahun '80-an, saya kadang bertanya, "Kapan saya bisa makan nasi? Soalnya, makanan pokok kami jagung. Namun, menu seperti ini ternyata telah membuat saya menjadi orang yang sehat dan berprestasi di sekolah. Saya selalu mendapat peringkat satu di SD, dan sepuluh besar di SMP dan SMA. Bagi saya ini prestasi luar biasa, walau saya hanya mengonsumsi uta tabha. 

Setelah dewasa dan datang ke Kupang untuk melanjutkan sekolah, saya menjadi ketagihan dan merindukan masakan uta tabha. Walau sedikit pahit, karena dicampur dengan labu siam (besi mawu), rasanya nikmat sekali. Sekali makan bisa menahan lapar sampai siang walau kita sedang pacul kebun atau bekerja apa saja di kampung. 

Suatu saat, ketika saya sudah bekerja di Pos Kupang, saya mendapat kesempatan meliput sebuah pelatihan mengenal makanan lokal yang mengandung nilai gizi tinggi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat di Hotel Sasando Kupang. Saya bersyukur bisa mengikuti acara tersebut. Dari situlah saya mendapatkan jawabannya, kenapa walau hanya jagung (sae), kacang merah (boji atau brenebon) dan labu siam kuning dan sawa lebha (kacang polong dan daunnya), aku dan adik-adikku bisa berprestasi. 

Menurut pengkajian dan penelitian dari instansi tersebut, kacang merah (brenebon) dan labu kuning dari daerah Bajawa memiliki nilai gizi tinggi dan kualitas nomor satu di dunia. Inilah kembanggaanku akan kampungku. 

Ya, semoga saat ini orang tidak lagi semata-mata makan nasi dan lauk-pauk yang banyak dibubuhi zat pengawet, tetapi juga kembali kepada tradisi nenek moyang yakni makanan lokal yang sarat nilai gizi. (*)

Pos Kupang edisi Sabtu, 6 Desember 2008 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes