BAGHO. Nama sebuah kampung tua di wilayah Desa Solo, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo. Ini bukan kampung asalku. Mengunjunginya pun aku belum pernah. Namun, cerita dari Andreas Tuba Ghela kepadaku tentang kampung ini di Redaksi Harian Pos Kupang, kemarin sore, membangkitkan minatku untuk menulisnya. Ya, semacam penyambung lidah.
Andreas Tuba Ghela ini seorang mahasiswa asal Desa Solo. Saat ini dia menjabat ketua Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Asal Boawae yang disingkat HIPPMAB Kupang. Melalui organisasi ini, Andreas dan teman-temannya membangun solidaritas dan rasa cinta akan kampung halaman.
Rasa cinta itu coba mereka wujudkan melalui Kegiatan Bakti Sosial Kemasyarakatan (KBSK) di Desa Solo pada tanggal 27 Juli sampai 3 Agustus 2008. Mengisi waktu liburan.
Ada banyak kegiatan yang mereka lakukan, yaitu bakti sosial, diskusi rakyat, diskusi publik, penyuluhan kesehatan yang dilanjutkan dengan pembagian bubuk abate, pembukaan posko pengaduan, pelatihan OSIS untuk segenap pengurus OSIS SLTP dan SLTA se-Kecamatan Boawae, perlombaan cerdas cermat untuk siswa-siswi sekolah dasar (SD), malam budaya, pengerjaan papan RT, RW, dusun dan desa, pendataan masalah buta huruf, masalah KDRT dan masalah ketenagakerjaan, olahraga rakyat dan kegiatan lainnya yang mengundang perhatian masyarakat.
Di antara sekian banyak kegiatan, ada fakta menarik yang mereka temukan di kampung Bagho. Di kampung ini terdapat kuburan kuno. Dari foto-foto yang diperlihatkan Andreas, tampak kuburan-kuburan itu dibangun berderet memanjang yang ditandai dengan tumpukan lempengan batu kali yang disusun rapi.
Tidak diceritakan kapan kuburan-kuburan itu dibangun. Mereka hanya menyebutnya kuburan kuno. Bisa saja dibangun ratusan tahun atau ribuan tahun lalu. Namun, masyarakat setempat berharap kuburan-kuburan itu dipromosikan sebagai aset wisata Kabupaten Nagekeo.
Sebelum Nagekeo dimekarkan dari kabupaten induk Ngada, kampung Bena, sumber air panas Mengeruda, taman laut 17 pulau Riung dikenal sebagai aset wisata Kabupaten Ngada. Setelah berdiri sendiri, Nagekeo seolah-olah tidak memiliki kawasan wisata yang bisa diandalkan. Hanya ada bendungan Sutami di Mbay. Tapi, sejauh ini bendungan tersebut tidak terawat. Aset wisata satu-satunya yang diharapkan di Nagekeo, ya cuma kampung Bagho dengan kuburan kunonya. Para mahasiswa yang tergabung dalam HIPPMAB berharap agar pemerintah dapat memperhatikan aset tersebut dan mempromosikannya.
Masalahnya, sampai saat ini, akses jalan ke kampung ini masih cukup susah. Dengan pembangunan jalan yang baik diharapkan wisatawan domestik dan mancanegara bisa dengan mudah datang ke kampung ini. Warga setempat dan para anggota HIPPMAB yakin kalau potensi wisata tersebut diperhatikan, maka dampaknya sangat besar bagi masyarakat dan pemerintah setempat.
Tidak hanya kuburan kuno. Desa Solo yang terdiri dari empat wilayah yaitu Solo I, Solo II, Solo III dan Solo IV dengan jumlah penduduk seluruhnya sekitar 690 jiwa, kaya akan potensi pertanian dan perkebunan.
Hasil pantauan para mahasiswa selama seminggu di sana, diketahui bahwa warga Desa Solo umumnya berprofesi petani. Selain menanam padi dan jagung di sawah dan ladang, mereka juga menanam tanaman umur panjang seperti kopi, cengkeh, vanili, coklat (kakao), kemiri, kelapa, jambu mete, bambu, dan lain-lain.
Namun, hasil-hasil pertanian dan perkebunan ini sulit dijual keluar karena jalan raya menuju ke desa ini belum mendapat perhatian dari pemerintah. Panjang jalan ini dari pusat desa menuju kampung lama (Bagho) sekitar 7 km. *