SELAMAT datang di "Klinik Agrobisnis Primatani, Desa Koting A, Dusun Gere." Tak banyak yang tahu arti tulisan itu. Maklum, jaraknya sekitar 22 kilometer arah barat Maumere, Kabupaten Sikka-Flores, Nusa Tenggara Timur. Lokasinya tersembunyi. Sepi. Tanahnya subur. Nyiur melambai disepanjang jalan berbatu menuju lokasi itu. Seolah menyambut setiap pengunjung. Di tempat ini, Wilhelmus Mimi, kakek berusia 77 tahun, menghabiskan sisa hidupnya.
Sekilas, wajah Moat Tua - sebutan akrab kakek Wilhelmus mulai keriput. Namun suaranya tetap lantang penuh semangat. Gerak-geriknya masih lincah, meski ototnya mulai kendur. Moat Tua merupakan klinik hidup yang kini mejadi sumber inspirasi bagi ratusan petani, peneliti maupun para intelektual. Ia termasuk salah satu petani kakao yang tetap sukses di tengah jeritan ribuan petani lainnya akibat serangan hama penggerek buah, hama pemakan batang kakao dan ambruknya harga kakao di pasaran.
Kesuksesan ayah tujuh anak ini diperoleh dari hasil kerja keras selama kurang lebih 26 tahun. "Saya mulai menanam kakao dari tahun 1982," ujarnya. Mulai dari satu pohon kako, kini, luas lahannya terus bertambah menjadi lebih dari dua hektar. Tetapi kisah sukses Moat Tua, bukan tanpa hambatan. Bersama isterinya, Rahma Juang, 71, Moat Tua pernah mengalami masa paling pahit. Suatu waktu, ia menanam 1300 pohon kakao di dekat pekarangan rumahnya. "Waktu itu, hanya 3 yang hidup. Saya tida tahu mengapa begitu banyak yang mati. Mungkin karena terlalu banyak air," katanya.
Tetapi, ia tidak putus asa. Justru, aksinya semakin nekat. Hutan kelapa seluas hampir satu hektar, peninggalan leluhurnya dibabat habis. "Ada yang mengira saya gila," katanya. Ternyata, bekas kebun kelapanya disulap menjadi areal perkebunan kakao yang subur. "Seluruh pekarangan rumah, saya tanami kakao. Sebagai pelindung, saya tanam pohon kelapa," lanjutnya.
Kerja keras disertai ketekunan menempatkan Moat Tua menjadi seorang petani yang benar-benar sukses. Dua dari tujuh anaknya berhasil bergelar sarjana. "Mereka saya sekolahkan dari hasil menjual kakao," ujarnya. Moat Tua sendiri, tak tamat sekolah dasar.
Perjuangan panjang mengembangkan kakao bukan perkara gampang. Harga kakao yang terus merosot sampai titik terendah Rp6000/kg, disertai penurunan produktifitas akibat serangan hama penyakit, membuat lelaki tua itu harus memeras otak. Ia pun mencoba menerapkan inovasi baru dalam bercocok tanam kakao. Dengan bermodalkan pengetahuan yang diperoleh dari penyuluh perkebunan, Moat Tua mencoba menanam sembilan jenis varietas unggulan sekaligus. "Awalnya saya hanya coba-coba," katanya.
Metode yang digunakan memang sederhana. Batang kakao muda berdiamater 1 centimeter disambung pada batang pohon kakao induk yangproduktifitasny a mulai berkurang. Cara kerjanya pun gampang. Kulit batang kakao induk di kupas berbentuk kerucut, kurang lebih tiga centimeter dengan lebar dua centimeter. Sedangkan batang kakao muda diruncing ujungnya, kemudian di ikat pada batang kakao induk.
Selanjutnya dibungkus dengan plastik yang telah disteril agar udara dan hama penyakit tidak mudah menyerang. Moat Tua menyebut metode ini dengan nama "Sambung Samping". "Kakao hasil sambung samping hanya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk berbuah. Sementara biji kakao yang ditanam membutuhkan waktu paling cepat 4 tahun untuk berbuah," katanya. Produksinya jauh berbeda. Kakao sambung samping dapat memproduksi empat kali lipat dari kakao biasa. Kualitasnya? "Justru ini yang dicari pedagang Makassar," katanya.
Tak puas dengan metode sambung samping, cara lain pun dicoba. Melalui klinik agrobisnisnya, sejak tahun 2006 lalu, ia mencoba menyambung batang muda dengan pucuk kakao yang baru tumbuh. Caranya pun tidak terlalu rumit. Batang kakao muda berdiamater 1 centimeter diruncing kemudian disambungkan dengan pucuk kakao. Pada bagian sambungan diikat dengan tali rafia, kemudian dibungkus dengan plastik es (kondom)agar terlindung dari cuaca dan hama. Hasilnya? "Luar biasa. Hampir sama dengan cara sambung samping".Warna buah kakao hasil inovasi Moat Tua bervariasi.
Ada warna merah delima, kuning dan hijau tua. Ukuran juga berbeda. Buah kakao siap panen, panjangnya minimal 25 centimeter, diameternya sekitar 10 centimeter. Tak heran, pundi-pundi Moat Tua semakin bertambah. Apalagi, sebagian besar petani kakao di Kabupaten Sikka mulai tertarik dan memintanya menyiapkan bibit kakao berkualitas. "Beberapa pekan lalu, saya mendapat tiga juta rupiah dari hasil menjual anakan," katanya. Dengan kedua metode ini, hasil produksi kakao Moat Tua yang semula hanya berkisar 2-3 ton setiap tahun, kini meningkat menjadi 4-6 ton atau setara dengan Rp 32-48 juta/tahun apabila harga jual kakao Rp 8000/kg. (jems fointuna)