Oleh Rosalina Langa Woso
SEROMBONGAN pelajar di Kopeta Bajawa, Kabupaten Ngada tahun 1970-an, dikerahkan menanam pohon secara masal. Sambil berjalan kaki sepanjang empat kilometer ke arah barat Kota Bajawa, setiap pelajar wajib memegang satu anakan tanaman kayu putih. Saat itu pilihan lokasi penghijauan jatuh pada punggung bukit Wae Sapi. Mengapa bukit Wae Sapi dijadikan lokasi penghijauan? Bukit yang nyaris gundul saat musim kemarau itu, memiliki sumber mata air bersih yang memberikan kehidupan kepada warga sekitarnya.
Pada saat musim hujan, bukit ini tak luput dari banjir dan melewati ruas jalan Watujaji-Bajawa. Punggung bukit hanya sarat dengan tanaman bunga matahari, yang batangnya kering sepanjang musim kemarau. Warga setempat mengambilnya untuk dijadikan kayu bakar. Punggung bukit mulai tandus, merekah vertikal, tanah liat merah menyembul di kelilingi alang-alang.
Semasa kepemimpinan Bupati Ngada, Yan Yos Botha (alm), para pelajar, PNS dikerahkan untuk menanam. Selain menanam anakan kayu putih, para siswa wajib menyiram biji lamtoro gong. Sebelum biji lamtoro disiram, lereng bukit digali dengan sistem terasering. Aksi penghijauan masih membekas dalam hati, sampai tahun 1980- an, saat melanjutkan kuliah di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Saban tahun, selalu ada program penghijauan yang diluncurkan pemerintahan daerah di NTT. Seruan pertama untuk menanam dilakukan oleh Gubernur NTT periode 1968- 1978, El Tari. Sosok El Tari (alm) selalu dikenang sebagai penggagas program penghijauan. Program penghijauan El Tari lebih dikenal dengan slogan; "Tanam, Tanam, Sekali Lagi Tanam." Warga NTT 'disihir' untuk memasuki pungung-
punggung bukit untuk menanam sejuta tanamam.
Gema penghijauan seperti lamtoronisasi tidaksurut selama 10 tahun kepemimpinan El Tari. Saat dr.Ben Mboi, menjabat sebagai Gubernur NTT, program penghijauan terus berlanjut. Tokoh asal Kabupaten Manggarai ini, dikenal dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH). Program ini menggema hingga ke pelosok desa, melibatkan semua warga, pelajar, PNS dan tokoh masyarakat.
Ben Mboi yang dua periode memimpin NTT, kembali berbangga karena program ONM dan ONH masih berlanjut. Meski tidak dengan nama program 'penghijauan', Gubernur NTT, dr. Hendrik Fernandez, melanjutkannya dengan program Gerbades (Gerakan Membangun Desa).
Semasa kepemimpin Herman Musakabe, tokoh yang kini masih enerjik dan lebih membaptis diri sebagai pelayan, sedikit bergeser dari dunia penghijauan. Musakabe lebih fokus membangun sumber daya manusia (SDM) NTT yang berkualitas agar tidak rentan dalam menghadapi perkembangan ilmu dan teknologi. Karya ini dilanjutkan oleh Piet A Tallo, S.H, selama dua periode kepemimpinannya.
Para pemimpin datang silih berganti. Saat ini, NTT dinahkodai oleh Drs.Frans Lebu Raya. Pria asal Adonara-Flotim, tengah bersemangat mengajak warga NTT untuk menanam jagung. Program yang dilandasi dengan Anggur Merah (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera), tidak jauh dari para pendahulunya. Frans lebih fokus pada penyiapan ketahanan pangan lokal, seperti jagung.
Meski melalui berbagai media telah mengajak warga NTT untuk menanam jagung, program penghijauan (tanaman keras) secara nasional tidak diabaikan. Ajakan untuk menanam mengalir ibarat 'air bah' yang melimpah di seluruh Bumi Flobamora sepanjang musim hujan. Hampir di semua daerah melakukan aksi tanam. Ada yang menanam di bukit-bukit dan ada yang menamam di taman-taman kota.
Seperti halnya Pemkot Kupang, Jumat (28/11/2008), Walikota Kupang, Drs.Daniel Adoe, mencanangkan program penghijauan dengan menanam seratus juta pohon di sepanjang Jalan El Tari Kupang (dari Jalan Adisucipto di depan kampus Undana hingga di Jalan Soeharto depan Toko Hero) . Angka yang boleh dikata fantastis karena dari jumlah anakan yang disebarkan Pemkot Kupang, belum mendekati angka satu juta pohon.
Upaya penanaman itu dilakukan setelah Pemkot Kupang menggandeng berbagai pihak seperti Korem, Tim PKK Propinsi NTT, Tim PKK Kota Kupang, BUMN (BRI), PT Angkasa Pura dan warga Kota Kupang, untuk melakukan penanaman. Jenis tanaman berupa anakan mangga, mahoni, sukun dan jati.
Upaya ini hanya bermuara pada satu tujuan, yakni Kota Kupang boleh tampil dengan wajah 'hijau dan sehat'. Maklum, selama ini Kota Kupang lebih dikenal sebagai kota gersang. Julukan ini karena memang hampir sepanjang tahun, kondisi alam di Kota Kupang gersang.
Kota Kupang memang memiliki kondisi alam yang tandus. Kondisi alam ini tidak perlu cemas. Musim hujan yang berlangsung empat bulan, seharusnya dijadikan moment yang paling indah untuk menampung sebanyak mungkin air hujan ke dalam perut bumi Kota Kupang.
Upaya itu bukan sekadar slogan belaka, tetapi butuh realisasi lapangan. Semakin banyak air meresap ke dalam tanah, semakin pendek litani keluh kesah masyarakat akan kebutuhan air bersih. Debit air akan mampu mensuplai kebutuhan warga sepanjang musim kemarau, bahkan sepanjang tahun.
Langkah yang diambil Pemkot Kupang, bisa dijadikan contoh bagi daerah lain. Menanam anakan mangga, sukun, mahoni dan jati merupakan bagian dari program nasional, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pemkot Kupang, tetapi semua daerah di NTT.
Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Kupang yang dipimpin Ir. Ely Wayrata, membeberkan sejumlah aksi penghijauan yang dilakukan menjelang musim hujan. Jumlah anakan mangga 57.000 anakan, sukun 4.000 anakan, mahoni, gamalina dan jati yang merupakan bantuan dari Dinas Kehutanan NTT sebanyak 150.000 anakan. Ribuan anakan ini didroping selama November-Desember 2008 di empat kecamatan dan 49 kelurahan di Kota Kupang. Para petugas membagi anakan di 177 titik distribusi. Setiap kelurahan memiliki enam sampai tujuh titik droping anakan secara bertahap dari tahap pertama hingga tahap ketiga.
Tanaman yang didroping dikawal oleh 42 petugas penyuluh lapangan yang meliputi 14 tenaga PPL PNS dan 28 tenaga PPL kontrak. Bila dibandingkan dengan jumlah kelurahan, tenaga PPL ini masih minus dua orang untuk mengawal pendropingan anakan di 49 kelurahan. Satu tenaga PPL harus mengawal dua kelurahan agar program penghijauan tidak disebut mubazir.
Tugas yang diemban para PPL ini tidak sekadar membawa anakan ke titik pendropingan lalu diserahkan kepada masyarakat untuk menanam. Sebelum anakan dibagikan, PPL telah memberikan petunjuk teknis lapangan kepada masyarakat tentang kesiapan lahan.
PPL harus melakukan pemantauan dan pengawasan secara detail tentang jumlah anakan yang ditanam di setiap RT sesuai dengan permintaan masyarakat. Selain itu, pemantauan terhadap perkembangkan tanaman dilakukan intensif. Saat menanam, ada berapa helai daun dan dihitung tunas baru yang bertambah setelah tiga bulan kemudian.
Selama musim hujan, tanaman yang ditanam secara sporadis masuk pada level aman. Maksudnya, anakan akan hidup selama musim hujan. Ancaman kerusakan tanaman hanya terjadi akibat ulah hewan liar dan kobaran api saat musim kemarau tiba.
Pemkot Kupang harus tanggap dan peduli terhadap nasib tanaman selama masa kritis (sepanjang musim kemarau). Upaya pembuatan sumur resapan di sekitar lokasi penghijauan akan sangat membantu penambahan debit air. Selain di lokasi penghijauan, sumur resapan juga wajib dilakukan di setiap rumah.
Pengadaan sumur resapan hanya merupakan langkah preventif untuk menambah cadangan air selama musim kemarau. Pemerintah harus mengambil langkah kuratif adalah menyiapkan sejumlah anggaran untuk melakukan perawatan selama musim kemarau.
Pengadaan mobil tangki untuk menyiram sejumlah anakan yang ditanaman di lokasi- lokasi terbuka, seperti sepanjang Jalan El Tari menjadi kewajiban. Paling tidak, tanaman bisa hidup sampai musim hujan tahun 2009.
Masa kritis itulah yang harus menjadi 'salib' bagi Pemkot untuk tetap merawat tanaman yang ada. Warga Kota Kupang, yang dipercayakan untuk menaman sejuta pohon, harus bertanggung jawab untuk memelihara tanaman. Tidak sekedar menggali lubang, tanam dan menunggu siraman hujan.
Secara ilmiah, tanaman akan bertahan hidup bila batang pohonnya mencapai di atas dua meter lebih. Tanaman akan secara alamiah beradaptasi dengan alam sekitarnya. Konsep ilmuwan ini, memang harus dibuktikan di lapangan karena fakta selalu berbicara lain. Banyak tanaman layu setelah memasuki musim kemarau karena tidak dirawat secara baik.
Beberapa tanaman di El Tari Kupang, yang ditanam oleh para pimpinan SKPD Tahun 2007, mengalami nasib yang tidak menentu. Ada yang hidup karena rajin disiram, ada yang mati suri sehingga harus diganti dengan anakan yang baru.
Program penghijuan telah digalakkan. Perut bumi Flobamora, telah menyambut jutaan tanaman baru. Tanaman ini, masih mengalami nasib yang tidak menentu. Apakah akan hidup sepanjang tahun atau mati terbakar matahari setelah musim kemarau tiba.
Kritikan Ny.Lusia Adinda Lebu Raya, istri Frans Lebu Raya (Gubernur NTT sekarang), pantas untuk direnungkan. Saat bersama Tim PKK Kota Kupang, melakukan aksi tanam di jalur El Tari, ibu dua anak ini berujar. Saban tahun, semua warga diajak untuk menanam, terkadang lupa menghitung ada berapa pohon yang menyambut 'hari ulang tahun' karena keburu 'dilahap' panasnya musim kemarau. Sentilan ini dilontarkan untuk mengajak warga Kota Kupang, untuk bertanggung jawab memelihara tanaman sampai berusia panjang.
Memelihara tanaman adalah sebuah proses untuk menyeimbangkan kehidupan alam dengan manusia. Ketergantungan ini membuat alam dan manusia harus saling 'mencintai', tidak saling menyakiti. Sehebat apapun konsep ilmu menanam, tidak akan menuai hasilnya bila sepanjang masa kritis tidak dirawat secara baik. Menanam, jangan menunggu kemurahan alam karena tetesan air di musim kemarau, bisa menambah usia tananam lebih dari seribu hari.(*)