PROPINSI Nusa Tenggata Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali adalah tiga saudara kembar. Lahir dari rahim yang sama; Propinsi Administratif Sunda Kecil (PP 21/1950). Kini, tiga kembaran itu sudah matang dewasa. Berusia emas, 50 tahun, sejak berpisah 1958 (UU 64/1958) untuk mandiri, membangun rumah tangganya sendiri.
Setengah abad berlalu tentu banyak yang berubah. Bali, si "sulung" tampil kaya penuh pesona sementara dua "adiknya", NTB dan "si bungsu", NTT belum bisa tampil "perlente" seperti saudaranya itu. NTB dan NTB masih ketinggalan. Hampir dalam segala bidang!
Di tahun 2005, misalnya, Bali sudah melaju dengan pendapatan perkapita di atas Rp 10 juta sementara NTB masih Rp 6,1 juta dan NTT tertinggal di Rp 3,4 juta. Angka kemiskinan di NTT, kata Gubernur Frans Lebu Raya, mencapai 27, 58 persen dari 4.448.873 jiwa penduduk (2007). Angka kematian ibu mencapai 554/1.000 kelahiran, gizi kurang mencapai 19 persen dan gizi buruk 4 persen. "PDRB didominasi sektor pertanian yakni 41,22 persen. Bisa dibayangkan bagaimana laju perekonomian di NTT. Tapi NTT punya potensi yang bisa dikembangkan untuk mengatasi semua persoalan itu," kata Lebu Raya.
NTB "sedikit lebih baik" dari NTT. Seperti dibeberkan Dr. Fred Benu yang mengutip World Food Programme (2005), potret kemiskinan tiga saudara kembar ini begitu berbeda. Bali hanya 7,74 persen penduduk di bawah garis kemiskinan, sementara dua saudaranya masih jauh di bawah, NTB 27,8 persen dan NTT 28,8 persen.
Gubernur NTB, HM Zainul Majdi mengatakan, indeks pembangunan manusia (IPM) di NTB masih rendah.
Angka kematian bayi 81/1.000 kelahiran hidup. Dengan penduduk sebanyak 4.292.491 jiwa, rata-rata lama sekolah baru 6,7 tahun (NTT 6,2 tahun) dan angka melek huruf masih rendah. Tapi daya beli sudah 623,9 di atas rata-rata nasional 621,3. Sementara PDRD, sama dengan NTT, yakni mengandalkan sektor pertanian.
Itulah sekilas sosok tiga saudara kembar itu. Ada mitos. Konon, karena Bali adalah Pulau Dewata (pulaunya para dewa) maka dia lebih beruntung. Daya tariknya luar biasa. Sedangkan NTB= Nanti Tuhan Bantu dan NTT= Nanti Tuhan Tolong. Atau NTB, Nasib Tidak Beruntung dan NTT= Nasib Tidak Tentu. Percaya atau tidak tetapi kenyataan setelah 50 tahun berlalu, memang seperti demikian adanya.
Menurut Wakil Pemimpin Kompas, Rikard Bagun, persoalan tiga saudara kembar, Bali-NTB-NTT adalah bagaimana mengubah mitos itu menjadi etos. Dan etos, dalam konteks saudara kembar, merahimkan solidaritas, rasa senasib seperjuangan. Maka Bali, "sulung yang bernasib untung" mestilah menengok kedua adiknya, NTB dan NTT yang masih tertatih-tatih di belakang.
Bali, sapa Gubernur Lebu Raya, bukan lagi "kakak" untuk dua adiknya, NTB dan NTT, tetapi ibu yang pasti merasa iba melihat nasib dua anak kembarnya yang kurang beruntung. Sapaan senada dilontarkan Gubernur Majdi.
Sejak 1985-2006, beber Prof. Dr. I Nyoman Erawan, kondisi ekonomi Bali, NTB dan NTT begitu senjang.NTT makin ketinggalan dibanding Bali dan NTB. Bali, meski sempat "ambruk" akibat teror bom 2002 lalu, namun segera bangkit dan tetap melesat meninggalkan dua saudaranya.
***
Lahir gagasan perlu segera menggalang pengembangan pariwisata terpadu Bali-NTB-NTT agar tiga saudara kembar itu kembali bergandengan tangan, berjalan beriringan bersama. Gubernur Lebu Raya menyambut gembira gagasan itu dan menyebutnya sebagai "Kerja Sama Sunda Kecil". Gubernur Majdi memang sedang berbenah. Kawasan Pantai Putri Mandalika di Lombok, misalnya, segera dikembangkan menjadi kawasan wisata berkelas dunia. Pembangunan Bandara Internasional Lombok, juga on progress.
Disadari "regionalisasi" pengembangan pariwisata bukan pekerjaan mudah. Lebu Raya dan sejawatnya, Majdi mengingatkan bahwa dibutuhkan gerakan bersama untuk mempengaruhi political will pemerintah pusat karena dalam rencana tata ruang nasional (PP 26/2008), Bali "dipisahkan" dari dua kembarannya, NTB dan NTT.
"Di PLN misalnya, hanya ada istilah 'listrik Jawa-Bali'. NTB yang dekat saja tidak disebut, apalagi NTT," kata Lebu Raya memberi contoh.
Gubernur Majdi menyebut pengembangan terpadu pariwisata itu sebagai "Pengembangan Kawasan Tenggara" . "Persoalannya ialah bagaimana agar Bali bisa masuk dalam kawasan itu. Kita harapkan agar Bali mau sama-sama kalau NTB dan NTT sudah sama-sama petakan prioritas yang kita kembangkan," katanya.
Memang, ada kendala regulasi pusat. Tetapi membangun bersama dalam semangat kawasan, sepanjang itu masih dalam konteks NKRI, tidak melawan aturan manapun. Sebab, bagaimanapun sebuah kawasan dengan kesamaan potensi, perlu secara kreatif mengembangkannya demi kemajuan bersama.
Gubernur Majdi, misalnya, menyebut Golden Triangle, destinasi wisata utama dunia yaitu Bali di sebelah barat, Pulau Komodo di timur dan Tanah Toraja di utara.
Kepala Bappeda NTT, Ir. Beny Ndoenboei pun melihat bahwa pariwisata adalah simpul paling kuat bagi kemajuan kawasan Sunda Kecil. "Pariwisata itu kekuatan besar, tidak hanya untuk Sunda Kecil, tapi dunia," katanya.
Adalah Dr. Prayitno Basuki dari Universitas Mataram dan Djesna Winada (Ketua PWI Cabang Bali) yang mengingatkan NTT dan NTB agar jangan sampai latah. Boleh fokus pariwisata (sektor tersier) tetapi sektor primer (pertanian) harus diperkokoh terlebih dahulu. "Sektor primer kuat baru ke tersier. Saya kira ini (pertanian, Red) kekuatan utama NTT dan NTB," katanya.
Dr. Fred Benu menawarkan konsep pengembangan pariwisata Sunda Kecil dengan menggabungkan pesona pertanian dan pariwisata yaitu agro-tourism. Benu juga mengingatkan bahwa regionalisasi ekonomi Bali-NTB- NTT berdasarkan potensi dan persebaran sumber daya.
Gagasan pengembangan pariwisata terpadu tersebut mesti diikuti langkah-langkah konkrit tiap propinsi, khususnya NTB dan NTT. Dukungan kebijakan dan anggaran harus pro-pariwisata. Dr. Prayitno punya contoh kasus: yakni Kabupaten Lombok Barat yang PAD dari sektor pariwisata mencapai Rp 18 miliar/tahun hanya mengalokasi Rp 2 miliar/tahun untuk anggaran pariwisata. Nah, bagaimana dengan kita di NTT? (bersambung)
Catatan: Tulisan yang diturunkan Pos Kupang dalam tiga serial ini diintisarikan dari Seminar Sehari Kompas-Pos Kupang, bertajuk 50 Tahun Propinsi Sunda Kecil Berlalu, di Dynasty Hotel, Kuta-Bali, 10 Desember 2008. Para nara sumber, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Gubernur NTB, HM Zainul Majdi, Dr. Fred Benu (Ketua Lembaga Penelitian Undana), Prof. Dr. I Nyoman Erawan, Dr. I Gde Parimartha (Universitas Udayana), Dr. Prayitno Basuki, MA (Univ. Mataram), Lalu M Yamin (Budayawan), Rm. Eduard Jebarus, Pr (pelaku pendidikan), Juvenille Jodjana (Direktur Trans Nusa Air Service), Sri Palupi (Institute for Ecosoc Rights), Sarah Lery Mboeik (PIAR NTT), Helena Jenny Rewos (Institut Nusa Tenggara), pelaku ekonomi dan tokoh masyarakat Bali, NTT dan NTB. Moderator Ansy Lema dan Sebastian Salang.