Pemekaran Daerah, Apa Urgensinya?

Oleh Gerardus Manyella dan Fery Ndoen

PEMEKARAN wilayah atau pembentukan daerah otonomi baru (DOB) semakin marak sejak disahkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Hingga Desember 2008 di Indonesia telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari tujuh propinsi, 173 kabupaten dan 35 kota. Dengan demikian total daerah otonom mencapai 524 buah yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. 

Roh UU Otonomi Daerah juga menggembara dan merasuk relung hati tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh politik di beberapa daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak orang menjadi penggagas pemekaran daerah. Beberapa daerah termotivasi memperjuangkan pemekarannya. 


Tak diingkari, semangat pemekaran adalah mendekatkan pelayanan, baik pemerintahan maupun pembangunan. Tapi realita menunjukkan pemekaran itu lebih difokuskan pada bagi-bagi kekuasaan di tingkat elite. Setiap lima tahun menjelang pergantian pemimpin selalu terjadi gontok-gontokan, bahkan muncul protes sana sini, karena ada yang mendapat porsi lebih dan ada yang mendapat porsi sedikit. Riak-riak politik pemerintahan dan pembangunan memang sering terjadi, apalagi pada daerah yang baru lahir. Elite politik yang merasa lebih berjasa dalam perjuangan pemekaran tidak rela jika rakyat punya pilihan lain. 

NTT terus melahirkan bayi baru yang tetap dikemas dalam bingkai otonomi daerah. Tanggal 4 Oktober 1999, merupakan hari bersejarah bagi seluruh rakyat Kabupaten Lembata. Pada hari itu raut wajah para pejuang otonomi daerah kabupaten 'pemburu ikan paus' berseri-seri. Para politisi yang telah lama menambatkan ambisi menduduki kekuasaan seperti bupati/wakil bupati, ketua DPRD dan lain-lain tertawa riang, legah karena telah mendapatkan jalan untuk melangkah ke puncak kekuasaan. Rakyat kecil di desa-desa diintervensi. Mereka dihadirkan dan dijadikan topeng memuluskan niat politik para politisi, bahwa rakyat kecil pun menyambut gembira terhadap pemekaran kabupaten yang selama ini dibelai, diasuh dengan penuh kasih sayang oleh sang ibu, Kabupaten Flores Timur. Rakyat Lembata dan elit politik tertawa riang karena sudah bisa mengatur rumah tangga sendiri. 

Aroma pemekaran Kabupaten Lembata harum semerbak menusuk hidung elite politik dari pulau terselatan di NTT, Rote Ndao. Lembata bisa kenapa kita tidak bisa? Tekad itu lahir dan tumbuh kembang dalam sanubari elite politik dari Pulau Rote Ndao. Dengan gigih para penggagas memperjuangkan menjadi daerah otonom sendiri. Mereka berjuang melepaskan diri dari induk semangnya Kabupaten Kupang. Tanggal 10 April 2002, merupakan tonggak sejarah perjalanan daerah otonom Rote Ndao. Pada hari itu pulau terselatan itu dibaptis menjadi daerah otonom atau kabupaten sendiri. 

Para elite politik di wilayah paling barat Pulau Flores tak mau kalah. Mereka tidak mau tinggal diam menyaksikan rakyat Lembata dan Rote Ndao mengibarkan bendera kemerdekaan kabupaten otonom. Dua daerah yang sebelumnya disebut daerah perwakilan, itu telah melenggang bebas menikmati otonomi daerah. Maka elite politik dan rakyat Manggarai Barat juga menyatukan tekad berjuang menjadi daerah otonomi sendiri. Tanggal 25 Februari 2003, Manggarai Barat lepas menjadi daerah otonom. 

Lebih unik lagi elite politik dan rakyat di Kabupaten Sumba Barat. Ketika sejumlah elit politik menggagas perjuangan menjadikan Sumba Tengah sebagai daerah onomi sendiri, berjuang melepaskan diri dari Kabupaten Sumba Barat, pemerintah kabupaten induk Sumba Barat mendorong sejumlah elit politik dan rakyat di wilayah bagian barat berjuang juga menjadi daerah otonomi sendiri. Persaingan perjuangan antara elit politik yang menggagas lahirnya Kabupaten Sumba Tengah dengan pemerintah yang memotori perjuangan membentuk daerah otonomi yang awalnya dinamai Sumba Jaya, semakin ketat. Tanggal 2 Januari 2007 menjadi hari bersejarah lahirnya 'anak kembar' Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya yang awalnya diusulkan dengan nama Sumba Jaya itu. 

Bersamaan dengan lahirnya 'dua anak kembar' dari rahim Kabupaten Sumba Barat, lahir juga seorang ' bayi yang diberi nama Nagekeo'. Pada hari yang sama perjuangan elite politik dan rakyat Nagekeo membuahkan hasil. Nagekeo disahkan menjadi daerah otonom dan terlepas dari Kabupaten Ngada. 

Dari Nagekeo, semangat pemekaran merambah Manggarai Timur. Daerah ini kemudian berdiri resmi, lepas dari kabupaten induk, Manggarai, 17 Juli 2007.
Tak hanya itu. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No 32 tahun 2004, memberi ruang kepada rakyat yang berdomisili di pulau terluar untuk menjadi daerah otonom sendiri. Elit politik dan rakyat Sabu Raijua tidak mau ketinggalan. Mereka pun gigih memperjuangkan daerah otonom dengan alasan Sabu Raijua merupakan pulau terluar di NTT. Tanggal 29 Oktober 2008, DPR RI menjatuhkan palu mengesahkan Sabu Raijua menjadi daerah otonom. 

Apakah pemekaran itu telah membawa perubahan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan telah memenuhi harapan rakyat? Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-2007 yang dilakukan Bappenas dan UNDP (Juli 2008) menyarankan agar keputusan untuk memekarkan suatu daerah harus dilakukan dengan amat hati-hati. Pemekaran itu membutuhkan masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah selesai bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan baru dilakukan evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan.

Kenyataannya, pemerintah justru terkesan tidak bisa menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal, studi Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal ini. Pasalnya, secara umum, kondisi daerah otonom baru (DOB) masih tertinggal dari daerah induk (dan daerah kontrol), meski pemekaran telah berjalan lima tahun.

Berdasarkan evaluasi Depdagri, November 2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin. Dengan demikian, pemekaran daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas-UNDP menemukan pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke DOB sehingga DOB menjadi tempat pemusatan penduduk miskin. Hal ini membuat perbedaan kesejahteraan kian parah antara daerah induk dan DOB. Jika ada yang mengalami peningkatan kesejahteraan, itu tidak lain hanya segelintir elite lokal yang terkait. Elite pusat dan dalam beberapa kasus dapat juga dengan korporasi-korporasi bisnis multinasional. 

Ironis bila pemekaran di satu sisi tak memperbaiki kualitas pelayanan publik, tetapi justru menguatkan bibit-bibit konflik politik yang akan kian bernuansa lokal. Karena itu, tidak salah jika pembentukan daerah baru perlu dipertimbangkan matang. Bila perlu dihentikan agar tidak menjadi bumerang di kemudian hari. DOB di NTT betul-betul hanya menggantungkan harapan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pendapat asli daerah (PAD), masih seok, bahkan sama sekali tidak dapat membiayai rumah tangga sendiri. Biaya aparatur pemerintah saja masih mengharapkan belas kasihan pemerintah pusat, apalagi biaya pembangunan. Pertanyaannya untuk apa dan apa urgensi pemekaran itu?*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes