Sekretaris KAUKUS Perempuan Politik Indonesia Daerah NTT/Caleg DPRD NTT dari PKB, Dapil NTT VII
PERJALANAN perempuan di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman dulu. Hal ini terlihat pada gerakan Kartini pada tahun 1928. Sejak saat itu perempuan mulai bangkit.
Mengapa ada gerakan perempuan dan perempuan harus bangkit? Hal ini karena perempuan mulai menyadari sesuatu yang hilang dan perlu ditemukan dan dimiliki kembali. Perempuan mulai bergerak untuk melepaskan diri dari kungkungan yang menghalangi cita-cita mereka untuk memperoleh perlakuan yang sama.
Belakangan ini perempuan di seluruh dunia sangat aktif untuk lebih berperan mengatur kehidupan bersama untuk mengimbangi peran kaum laki-laki.
Melalui Radio Amerika (Voice of America) pada tanggal 17 Desember 1997, Ibu Negara Amerika Serikat, waktu itu Hillary Clinton, bersuara bagi kaum perempuan di dunia. Ia mengatakan bahwa 130 juta anak-anak tidak bersekolah, di antaranya adalah perempuan. Hak perempuan tidak dilaksanakan semestinya.
Perempuan kurang mendapat perhatian untuk mendapat tempat setara dengan laki-laki, terutama di bidang pendidikan, kesehatan apalagi politik. Ia mengajak perempuan untuk berteriak sekuat-kuatnya, tetapi coba kita mengajak sedikit tentang perempuan saat ini. Apakah kaum perempuan rata-rata berkualitas rendah? Kalau saat ini kita mengadakan survai di sekolah-sekolah mulai dari taaman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, maka semua tercengang-cengang karena prestasi perempuan menunjukkan angka jauh lebih tinggi daripada laki-laki, baik kuantitas maupun kualitas. Karena itu, pada tanggal 29 Mei 2008, ketika mewisuda sarjana dan magister di Undana, rektor dalam sambutannya mangatakan,
"Hari ini saya sebagai laki-laki merasa terkalahkan oleh perempuan, karena dari 12 sarjana dan magister yang lulus dengan predikat cum laude (terpuji), hanya terdapat seorang laki-laki.
Pertanyaannya, apakah keunggulan perempuan dalam pendidikan formal akan berbanding lurus dengan keunggulannya ketika ia berada di tengah-tengah masyarakat? Jawabannya "ya", karena semua aktivitas dalam kehidupan ini dikendalikan oleh kemampuan otak/inteligensi.
Namun realitasnya mengatakan lain. Masalahnya bagi masyarakat kita saat ini terutama dari segi budaya sebagian besar menaruh kepercayaan kepada para lelaki untuk mengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan mulai dari urusan rumah tangga hingga masalah bangsa. Jadi seolah-olah perempuan unggul di sekolah, tapi laki-laki unggul ketika berada di lapangan.
Ada beberapa faktor penyebab ketertinggalan perempuan, yaitu karena pengaruh tata nilai, peraturan perundang-undangan yang belum mencerminkan kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan.
Beriktunya adalah, karena kebijakan yang belum memberikan peluang yang sama kepada laki-laki dan perempuan, pengaruh interpretasi agama yang literalis, tidak kontekstual, belum mentransformasikan pemahaman tentang pengertian kesetaraan gender terutama kalangan elite dan tokoh masyarakat serta belum kuatnya kemauan perempuan itu sendiri untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk memperoleh kesetaraan dalam berbagai peran di ruang publik.
Oleh karena itu perlu pembangunan politik perempuan. Perubahan sosial dewasa ini menuntut adanya persamaan perlakuan terhadap kaum perempuan.
Selain itu, ketertinggalan perempuan dalam banyak aspek kehidupan, indikasi utamanya adalah jumlah representasi perempuan pada posisi pengambilan keputusan belum memadai dan lemahnya keinginan perempuan untuk memasuki institusi yang memproduksi legislasi.
Yang menjadi permasalahan adalah budaya patriakhi yang dilanggengkan dalam peraturan hukum, seperti Undang-Undang Perkawinan, adanya pelanggaran terhadap hak-hak perempuan, diskriminasi gender, domestikasi (UU Perkawinan, misalnya Pasal 31 ayat 3: "Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga", serta eksploitasi.
Ditinjau dari perspektif materialistik, perempuan juga menghadapi masalah. Secara ekonomi perempuan menjadi lemah, karena yang bekerja dan menghasilkan uang adalah laki-laki. Kerja-kerja perempuan dalam ranah domestik/rumah tangga yang sesungguhnya tidak kalah berat tidak dianggap sebagai kerja karena tidak menghasilkan uang. Perempuan dalam konteks ini menjadi "pekerja yang tidak kelihat" (invisible workers)
Mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi perempuan, maka perlu media untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, mencakup pendidikan politik, forum komunikasi dan konsultasi dan pertemuan-pertemuan dengan organisasi kemasyarakatan, LSM, dan tokoh masyarakat lainnya.
Perjuangan perempuan belum berakhir karena itu "gerakan" perempuan masih diperlukan dalam berbagai bidang kehidupan. Gerakan ini akan berubah sehingga daya dorong yang sangat berarti ke arah pencapaian hasil untuk maksud tersebut. Maka perempuan harus diberi kesempatan seluas-luasnya agar bisa bersaing dan ikut mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan publik yang selama ini masih didominasi kaum pria.
Sebagai akhir kata, saya ingin mengemukakan sebuah pendapat dari David J. Schavartz dalam bukunya: The Magic of Thinking Big:
- Jadilah aktivisionis (pelaku yang baik dan bukan sebaliknya)
- Jangan tunggu hingga sempurna, karena itu tidak akan terjadi
- Gagasan akan bernilai, jika itu dilaksanakan
- Kenyataan apa yang anda takutkan dan ketakutan akan hilang
- Jangan pernah mengatakan besok, minggu depan, nanati karena itu sinonim dengan kegagalan. (*)
Pos Kupang edisi Senin, 16 Maret 2009 halaman 7