Menemukan Masalah Pendidikan di NTT (2)

Oleh Alfred Dama, Apolonia Dhiu dan Agus Sape

KETIKA hasil ujian nasional (UN) 2008 yang menempatkan NTT di nomor buntut, maka guru menjadi sorotan utama. Guru dianggap paling bertanggung jawab terhadap gagalnya ribuan siswa NTT dalam UN. Anggapan ini wajar saja karena sampai saat ini guru tetap paling menentukan maju mundurnya pendidikan kita.

Profesi guru itu mulia, tapi tidak mudah menjalankannya. Tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik, baik di tingkat pendidikan usia dini, pendidikan jalur formal, pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. 

Kini profesi guru menjadi pilihan favorit para calon tenaga kerja. Minat para calon mahasiswa masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan mengambil program akta mengajar semakin tinggi. Ini terjadi ketika kesejahteraan guru mulai dibenahi dan semakin besarnya formasi guru dalam setiap kali perekrutan CPNS. Perbaikan ini seyogyanya berpengaruh positif terhadap mutu pendidikan. 

Namun, tidak bisa dipungkiri perhatian yang besar terhadap nasib guru membuat orang lupa bahwa menjadi guru itu bukan sekadar pekerjaan. Orang lupa bahwa menjadi itu sebuah panggilan di mana orang mengabdikan seluruh diri dan kemampuannya demi kebaikan sesama dan kemuliaan Tuhan. 
Dalam diskusi terbatas, Menemukan Permasalahan Pendidikan di NTT, Kamis (12/3/2009) lalu, Wakil Walikota Kupang, Drs. Daniel Hurek mengatakan guru merupakan variabel terpenting dalam pendidikan. Namun kini profesi tersebut bukan lagi menjadi panggilan. Sebagian orang bekerja sebagai guru hanya terpaksa sekadar mendapat pekerjaan. 

"Tidak semua yang sekarang menjadi guru karena terpanggil menjadi guru. Kalau kita menjadi guru secara terpaksa, maka pada akhirnya semua menjadi serba sulit. Tetapi, kalau menjadi guru karena terpanggil sebagaimana misionaris zaman dulu, maka tidak ada urusan, kalau tidak ada mobil ya, naik kuda saja," kata Daniel Hurek.

Menurut Hurek, guru yang terpanggil adalah mereka yang terus belajar untuk meningkatkan kemampuan diri, tidak pernah mengeluh dengan gaji atau kesejahteraan. Semua dilakukannya dengan senang hati. "Tapi, sekarang kalau gaji belum dibayar, semua merengek datang ke DPR dan ribut," kata Hurek tentang perilaku guru di Kota Kupang. 

Kepala SMAK Giovanni Kupang, Romo Drs. Stef Mau, Pr menyoroti rekrutmen guru melalui program akta mengajar. Menurut dia, program ini harus menjadi perhatian pemerintah sebab kemungkinan ada yang mengantongi akta mengajar tanpa melalui proses yang benar. 

Dia juga mensinyalir adanya guru yang sudah berhenti belajar. Para guru ini menuntut siswa untuk belajar, tetapi mereka sendiri tidak belajar. Akibatnya, materi ajarnya itu-itu saja. "Tidak semua, tapi memang ada guru yang sudah anti belajar," kata Romo Stef Mau. 

Metode pembelajaran di kelas pun masih cenderung guru sentris. Hanya guru yang omong, siswa hanya mendengarkan. Para siswa pun cenderung bermental instan. Ada yang motivasi dan daya juangnya begitu rendah, tapi cita-citanya begitu melangit. "Dari mana dia bisa mencapai cita-cita melangit, mau jadi dokter misalnya, kalau tidak mau belajar," kata Romo Stef Mau.

Linus Lusi, S.Pd yang membawakan makalah mewakili para guru mengakui bahwa masih banyak guru yang tidak belajar lagi setelah berprofesi sebagai guru. Padahal guru merupakan murid sepanjang masa. 

Dia menyebut beberapa masalah yang dihadapi para guru. Pertama, guru terperangkap dalam rutinitas pembelajaran yang berjalan secara statis, padahal guru perlu dinamis secara progresif dalam mengajar. 

Kedua, para guru belum maksimal menerapkan berbagai teori belajar dan inovasi pembelajaran. Ketiga, komitmen moral guru terhadap paradigma pembelajaran belum membudaya serta motivasi siswa yang masih rendah. Keempat, kontak akademik antarguru masih kurang.

Linus Lusi yang juga Ketua Musyawarah Kelompok Kerja Kepala Sekolah (MK3S) SD Kota Kupang ini menyebut beberapa aspek yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Pertama, siswa, meliputi lingkungan sosial ekonomi, budaya, geografis, inteligensia, kepribadian, bakat dan minat. Kedua, guru, meliputi latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, beban mengajar, kondisi ekonomi, motivasi kerja, komitmen terhadap tugas, disiplin dan kreatif. 

Ketiga, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, meliputi alat peraga atau alat praktik, laboratorium, perpustakaan, ruang keterampilan, ruang bimbingan konseling, ruang UKS dan ruang serba guna. Keempat, pengelolaan sekolah, guru, siswa, sarana- prasarana dan tata tertib.

Kualitas guru juga disoroti oleh pengamat pendidikan dan Direktur Lembaga Pendidikan Generasi Unggul-Supermath Plus, Pdt.Johny Kilapong. Menurutnya, guru menjadi masalah yang tidak bisa dikesampingkan di NTT. Bahkan pemberian tugas kepada guru harus benar-benar sesuai dengan latar belakang pendidikan. 

Ia mencontohkan, dalam ujian yang diikuti puluhan guru Matematika dari berbagai tempat di NTT belum lama ini. Dalam ujian ini Supermath Plus dan Undana memberikan soal kepada para guru Matematika. Alhasil, hanya 30 persen guru yang sanggup mengerjakan soal dengan benar. Menurut Kilapong, hal ini menunjukkan mutu guru rendah. 

Stev Rambodeta dari SMAN 1 Kupang mengatakan, hasil selalu bermuara pada mutu guru. Pertama, perekrutan guru yang tidak punya standar formal secara nasional. Dia membandingkan perekrutan polisi atau tentara -- menjalani pendidikan dan latihan yang ketat dalam jangka waktu tertentu, diuji dan dinyatakan lulus baru dilantik menjadi polisi atau tentara. 
"Tapi guru, entah dia tamat menggunakan kurikulm tahun 75 sampai dengan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), begitu lulus langsung ditugaskan menjadi guru. Ini masalah," katanya.

Soal guru yang mengajar sekadar rutinitas atau yang penting mengajar. "Kepala sekolah tidak tahu apakah guru mengajar benar sesuai tuntutan kurikulum atau tidak. Menjadi pertanyaan, apakah kepala sekolah punya alat kontrol untuk itu. Kalau kurang kontrol, itu mungkin menunjukkan kurangnya kinerja kepala sekolah terhadap bawahan," kata Rambodeta.

Ketua Yayasan Swastisari (Yaswari), Sr.Lucie Sumarni, CB, yang mengelola 12 TK, 49 SD dan tiga SMA, mengatakan, penyelenggara pendidikan atau guru-guru di Yaswari dituntut menguasai materi pembelajaran, memberi teladan sikap dan perilaku, memiliki kecintaan dan komitmen terhadap profesi, menjadi motivator agar siswa aktif belajar, mampu berlaku jujur, adil dan menyenangkan, menguasai berbagai strategi pembelajaran dan bersikap terbuka dalam menerima pembaruan dan wawasan, mengenal karakteristik siswa dan mendapat kesempatan mengembangkan profesionalisme. 

Kepala sekolah harus mampu berperan sebagai pemimpin, sebagai manajer, sebagai pendidik, sebagai wirausahawan, sebagai administrator, sebagai pencipta iklim kerja dan sebagai penyelia. 

Selain itu, ada standar kompetensi kepribadian, yakni bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etos kerja yang tinggi, bersikap terbuka, mampu mengendalikan diri, mampu mengembangkan diri dan memiliki integritas kepribadian. 
Guru juga harus memiliki kompetensi sosial, yakni mampu bekerja sama dengan orang lain, berpartisipasi dalam kegiatan kelembagaan atau sekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan dan gereja. 

Semua permasalahan tersebut kembali kepada guru. Terpanggil atau terpaksa. Guru yang terpanggil adalah mereka yang terus berusaha belajar karena guru adalah murid sepanjang masa dan menjadi teladan bagi siswanya. (bersambung)

Pos Kupang edisi Sabtu, 28 Maret 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes