Menelusuri jalur Pantai Utara (Pantura) Flores di bulan September,
menikmati terik matahari,
menikmati terik matahari,
sepoi angin laut utara dan harum
aroma jambu mete sepanjang
Magepanda -Ropa.
Uang 'datang sendiri'.
Truk dan pick-up hilir mudik.
Mengapa mete Flores bermerk India?
Oleh Dion DB Putra
GARDIA Guna (57) dan Fransiska Dai (50) terusik oleh kilatan kamera yang tiba- tiba mengenai wajah mereka. "He ema tau apa le kau foto kami?" kata Fransiska Dai dalam bahasa Lio. Diterjemahkan secara bebas berarti mengapa Anda mengambil gambar kami?
Wajah Guna dan Dai agak cemberut. Namun, sontak menebarkan senyum ketika Pos Kupang memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud mengambil gambar mereka sedang mengumpulkan dan mengupas jambu mete di Kolisoro, Desa Tou Timur, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Letak Kolisoro tidak jauh dari tapal batas antara Kabupaten Sikka dan Ende.
"Molo ema. Hiwa ina jambu mente esa kura, weli iwa," ujar Gardia. "Tulislah yang kami alami. Tahun ini jambu mete kurang lebat buahnya dan harga turun." Begitu kira-kira makna pernyataan Gardia Guna. Di Sikka dan Ende-Lio, masyarakat setempat menyebut tanaman ini jambu mente atau mente saja.
Hari itu Rabu 17 September 2008. Jarum jam menunjukkan pukul 14.39 Wita. Panas terik. Tapi Gardia Guna dan Fransiska Dai tidak merasakan sengatan matahari 34 derajat Celcius. Mereka nyaman dan santai bekerja di bawah rimbunan jambu mete (Anacardium occidentale L) siap panen. Mete yang harum mewangi.
Sejak Magepanda, Kabupaten Sikka hingga Ropa, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, mudah menemukan petani seperti Gardia Guna dan Fransiska Dai yang sedang mengumpulkan jambu mete atau cashew nut itu. Mereka umumnya perempuan.
"Bukan berarti laki-laki tidak urus jambu mete. Untuk petik, kumpul dan kupas memang banyak dikerjakan wanita," kata Drs. Kornelis Wara, Camat Kota Baru.
Selama bulan September hingga November, memanen jambu mete merupakan aktivitas harian petani Tou, Kolisoro, Sokolago, Niopanda, Ndondo dan daerah lain di Pantura Flores. Jika hari-hari ini berkunjung ke wilayah itu, maka Anda akan menikmati harum buah jambu mete yang ranum. Aromanya mirip stroberi.
Cara memanen jambu mete oleh Gardia Guna dan Fransiska Dai siang itu lazim dilakukan petani jambu mete di berbagai belahan dunia, yaitu secara lelesan dan selektif. Cara lelesan adalah membiarkan buah jambu mete tua di pohon dan jatuh sendiri. Sedangkan cara selektif adalah langsung memetik dari pohon. Apabila buah tak dapat dipetik secara langsung, pemanenan dibantu dengan galah atau tangga berkaki tiga. "Biasanya jambu jatuh sendiri. Kami tinggal pilih-pilih (pungut) saja," kata Fransiska Dai.
Bagaimana dengan jambu mete tua tapi belum jatuh? "Gampang Om bos. Cukup goyang pohon dan ranting. Cukup goyang pelan-pelan akan jatuh sendiri," kata Xaver Mite (19), petani muda yang ditemui di Kampung Kobho, Desa Ndondo. Menurut Xaver, menggoyang pohon jambu mete tidak boleh terlalu keras karena akan menjatuhkan buah yang belum matang.
Adapun ciri jambu mete yang siap dipanen adalah kulit buah semu berubah menjadi oranye, kuning atau merah tergantung jenis varietasnya. Sedangkan warna kulit biji yang sudah tua adalah putih keabu-abuan dan mengkilat. Buah jambu mete tua sepanjang Pantura Flores umumnya berwarna oranye. Para petani di sana seperti Fransiska Dai, Gardia Guna, Xaver Mite dan Bernadeta Rika (60) tahu kapan saat yang tepat memanen mete. Menurut pengalaman mereka, buah mete biasanya siap panen pada umur dua sampai dua setengah bulan sejak munculnya bunga. Mereka juga tahu gelondongan yang baik berasal dari buah mete yang matang. "Kalau masih muda tidak ada yang mau beli," kata Rika.
Jika jambu mete tua telah dikumpulkan, pekerjaan selanjutnya memisahkan buah semu dengan buah sejati. Biji mete gelondongan dipisahkan dari buah semu secara manual. Ukuran buah semu lebih besar daripada buah sejati. Tekstur dagingnya lunak, rasa asam agak manis (sepat), berair dan aroma buahnya mirip stroberi. Harum sepanjang jalan itu bersumber dari aroma buah semu yang telah matang. Biji mete gelondongan itulah yang dijual kepada pengusaha pengumpul komoditi.
"Tunggu nanti Cina datang baru kami jual," kata Gardia Guna. Diksi Cina yang dimaksudkan Guna adalah pengusaha etnis Tionghoa asal Kota Maumere dan sekitarnya yang biasa membeli komoditi mereka. "Setiap hari mereka lewat di sini, jadi kami bisa jual kapan saja," tambah Fransiska Dai.
Kenyataannya tidak semua pembeli adalah pengusaha etnis Tionghoa. Seperti disaksikan Pos Kupang, ada wajah Nitakloang, Bola, Magepanda, Paga, Lio, Flores Timur, Jawa, Bima bahkan wajah mirip India. Jambu mete di Pantura Flores sungguh menarik perhatian banyak orang. Sejak lama. (bersambung: India Yang Punya Nama)
Pos Kupang edisi Senin, 20 Oktober 2008 halaman 1, http://www.pos-kupang.com/
Oleh Dion DB Putra
GARDIA Guna (57) dan Fransiska Dai (50) terusik oleh kilatan kamera yang tiba- tiba mengenai wajah mereka. "He ema tau apa le kau foto kami?" kata Fransiska Dai dalam bahasa Lio. Diterjemahkan secara bebas berarti mengapa Anda mengambil gambar kami?
Wajah Guna dan Dai agak cemberut. Namun, sontak menebarkan senyum ketika Pos Kupang memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud mengambil gambar mereka sedang mengumpulkan dan mengupas jambu mete di Kolisoro, Desa Tou Timur, Kecamatan Kota Baru, Kabupaten Ende. Letak Kolisoro tidak jauh dari tapal batas antara Kabupaten Sikka dan Ende.
"Molo ema. Hiwa ina jambu mente esa kura, weli iwa," ujar Gardia. "Tulislah yang kami alami. Tahun ini jambu mete kurang lebat buahnya dan harga turun." Begitu kira-kira makna pernyataan Gardia Guna. Di Sikka dan Ende-Lio, masyarakat setempat menyebut tanaman ini jambu mente atau mente saja.
Hari itu Rabu 17 September 2008. Jarum jam menunjukkan pukul 14.39 Wita. Panas terik. Tapi Gardia Guna dan Fransiska Dai tidak merasakan sengatan matahari 34 derajat Celcius. Mereka nyaman dan santai bekerja di bawah rimbunan jambu mete (Anacardium occidentale L) siap panen. Mete yang harum mewangi.
Sejak Magepanda, Kabupaten Sikka hingga Ropa, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, mudah menemukan petani seperti Gardia Guna dan Fransiska Dai yang sedang mengumpulkan jambu mete atau cashew nut itu. Mereka umumnya perempuan.
"Bukan berarti laki-laki tidak urus jambu mete. Untuk petik, kumpul dan kupas memang banyak dikerjakan wanita," kata Drs. Kornelis Wara, Camat Kota Baru.
Selama bulan September hingga November, memanen jambu mete merupakan aktivitas harian petani Tou, Kolisoro, Sokolago, Niopanda, Ndondo dan daerah lain di Pantura Flores. Jika hari-hari ini berkunjung ke wilayah itu, maka Anda akan menikmati harum buah jambu mete yang ranum. Aromanya mirip stroberi.
Cara memanen jambu mete oleh Gardia Guna dan Fransiska Dai siang itu lazim dilakukan petani jambu mete di berbagai belahan dunia, yaitu secara lelesan dan selektif. Cara lelesan adalah membiarkan buah jambu mete tua di pohon dan jatuh sendiri. Sedangkan cara selektif adalah langsung memetik dari pohon. Apabila buah tak dapat dipetik secara langsung, pemanenan dibantu dengan galah atau tangga berkaki tiga. "Biasanya jambu jatuh sendiri. Kami tinggal pilih-pilih (pungut) saja," kata Fransiska Dai.
Bagaimana dengan jambu mete tua tapi belum jatuh? "Gampang Om bos. Cukup goyang pohon dan ranting. Cukup goyang pelan-pelan akan jatuh sendiri," kata Xaver Mite (19), petani muda yang ditemui di Kampung Kobho, Desa Ndondo. Menurut Xaver, menggoyang pohon jambu mete tidak boleh terlalu keras karena akan menjatuhkan buah yang belum matang.
Adapun ciri jambu mete yang siap dipanen adalah kulit buah semu berubah menjadi oranye, kuning atau merah tergantung jenis varietasnya. Sedangkan warna kulit biji yang sudah tua adalah putih keabu-abuan dan mengkilat. Buah jambu mete tua sepanjang Pantura Flores umumnya berwarna oranye. Para petani di sana seperti Fransiska Dai, Gardia Guna, Xaver Mite dan Bernadeta Rika (60) tahu kapan saat yang tepat memanen mete. Menurut pengalaman mereka, buah mete biasanya siap panen pada umur dua sampai dua setengah bulan sejak munculnya bunga. Mereka juga tahu gelondongan yang baik berasal dari buah mete yang matang. "Kalau masih muda tidak ada yang mau beli," kata Rika.
Jika jambu mete tua telah dikumpulkan, pekerjaan selanjutnya memisahkan buah semu dengan buah sejati. Biji mete gelondongan dipisahkan dari buah semu secara manual. Ukuran buah semu lebih besar daripada buah sejati. Tekstur dagingnya lunak, rasa asam agak manis (sepat), berair dan aroma buahnya mirip stroberi. Harum sepanjang jalan itu bersumber dari aroma buah semu yang telah matang. Biji mete gelondongan itulah yang dijual kepada pengusaha pengumpul komoditi.
"Tunggu nanti Cina datang baru kami jual," kata Gardia Guna. Diksi Cina yang dimaksudkan Guna adalah pengusaha etnis Tionghoa asal Kota Maumere dan sekitarnya yang biasa membeli komoditi mereka. "Setiap hari mereka lewat di sini, jadi kami bisa jual kapan saja," tambah Fransiska Dai.
Kenyataannya tidak semua pembeli adalah pengusaha etnis Tionghoa. Seperti disaksikan Pos Kupang, ada wajah Nitakloang, Bola, Magepanda, Paga, Lio, Flores Timur, Jawa, Bima bahkan wajah mirip India. Jambu mete di Pantura Flores sungguh menarik perhatian banyak orang. Sejak lama. (bersambung: India Yang Punya Nama)
Pos Kupang edisi Senin, 20 Oktober 2008 halaman 1, http://www.pos-kupang.com/