SAMA seperti pengelolaan perusahaan daerah (PD) lainnya di Propinsi NTT, PD Flobamor, perusahaan milik Pemprop NTT pun lebih sering "memproduksi" masalah ketimbang mendatangkan kemaslahatan bagi daerah. Miliaran dana digelontorkan dari kas daerah untuk perusahaan ini namun tidak pernah ada kisah sukses.
Sejak 1988 sampai dengan 2007, perusahaan ini sudah menguras sekitar Rp 9 miliar dari kas daerah dalam bentuk penyertaan modal daerah. Belum terhitung beban anggaran untuk membayar honor pejabat pemerintah yang menduduki jajaran direksi dan pegawai perusahaan. Juga belum terhitung aset bantuan pemerintah pusat yang dikelola perusahaan ini seperti KM Nangalala dan KM Pulau Sabu, serta suntikan dana dari pusat untuk operasional kapal-kapal tersebut.
Semua investasi yang ditanam pemerintah di perusahaan ini ibarat membuang garam di laut; tidak pernah membawa keuntungan bagi daerah.
Pansus DPRD NTT yang diketuai Drs. Daniel Polin, pertengahan Januari 2008, merekomendasikan agar Perda Nomor 17 Tahun 1981 sebagai dasar pembentukan PD Flobamor dicabut dan aktivitas perusahaan ini dihentikan sementara. Anggaran dari daerah tahun ini tidak boleh dicairkan dulu.
Ada sejumlah alasan mengapa pansus mengeluarkan rekomendasi keras itu, antara lain karena pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan ini tidak jelas. Salah satu contoh, terjadi perbedaan data mengenai jumlah modal antara dokumen-dokumen APBD yang disajikan pemerintah dengan dokumen dan penjelasan yang disampaikan pemerintah atas nama PD Flobamor.
Sesuai Perda No 17/1981 penyertaan modal untuk PD Flobamor senilai Rp 1.495.000.000, penambahan modal dalam tahun-tahun berikutnya Rp 7,5 miliar dan di tahun 2007 ditambah lagi Rp 4,5 mliar. Dengan demikian total penyertaan modal Rp 13.495.000.000. Sementara dari laporan pemerintah/PD Flobamora hanya Rp 8.945.000.000. Ada selisih Rp 4.550.000.000.
Contoh lainnya, Dirut PD Flobamor, Samsudin H Abdullahi, S.E mengatakan bahwa saat dia masuk menjabat sebagai Dirut, di kas perusahaan hanya ada dana Rp 500 juta. Sementara menurut Ben Muda, mantan Dirut yang diganti Samsudin, dia meninggalkan Rp 2,8 miliar untuk manajemen yang baru.
Kejanggalan lainnya, manajemen Flobamor melaporkan bahwa di tahun 2006 dalam kondisi merugi, namun menyetor ke kas daerah Rp 250 juta. "Bagaikan mayat yang tetap dipaksa bernafas," demikian Pansus DPRD NTT melukiskan kesemrawutan kepengelolaan perusahaan ini.
Pansus juga merekomendasikan agar DPRD NTT mempertimbangkan untuk membuat regulasi yang baru untuk mendirikan PD yang baru. Apakah ini menyelesaikan masalah?
Menurut pelaku dan pengamat ekonomi, Guido Fulbertus, PD hanya bisa maju, berprospek dan menguntungkan apabila dikelola oleh orang yang profesional dalam bisnis.
Dibanding perusahaan swasta lainnya, kata Guido, PD punya dua kelebihan. Pertama, modal berasal dari pemerintah. Manajemen tidak berpikir lagi soal modal karena ada alokasi dana dari pemerintah. Kedua, PD adalah milik pemerintah sehingga ada kemudahaan dan prioritas dari pemerintah bagi keberlangsungan PD.
Menurut Guido, hampir semua PD di NTT dililit masalah, berkinerja buruk karena salah menunjuk pengelolanya. Dia membandingkan PD dengan Bank NTT yang juga adalah milik pemerintah. Bank NTT bisa eksis dan lebih maju karena dikelola secara profesional. Karena itu PD- pun harus dikelola secara profesional. (aca/ira/amy)
Penyertaan Modal ke PD Flobamor
Tahun Jumlah
1988 Rp 50 juta
1989 Rp 45 juta
1991 Rp 50 juta
1992 Rp 50 juta
1993 Rp 50 juta
1994 Rp 50 juta
1995 Rp 50 juta
1996 Rp 100 juta
1997 Rp 100 juta
1998 Rp 900 juta
2005 Rp 500 juta
2006 Rp 2,5 miliar
2007 Rp 4,5 miliar
------------------------------------------
Total Rp 8.945.000.000
Pos Kupang edisi Selasa, 21 Oktober 2008 halaman 1 http://www.pos-kupang.com
Sejak 1988 sampai dengan 2007, perusahaan ini sudah menguras sekitar Rp 9 miliar dari kas daerah dalam bentuk penyertaan modal daerah. Belum terhitung beban anggaran untuk membayar honor pejabat pemerintah yang menduduki jajaran direksi dan pegawai perusahaan. Juga belum terhitung aset bantuan pemerintah pusat yang dikelola perusahaan ini seperti KM Nangalala dan KM Pulau Sabu, serta suntikan dana dari pusat untuk operasional kapal-kapal tersebut.
Semua investasi yang ditanam pemerintah di perusahaan ini ibarat membuang garam di laut; tidak pernah membawa keuntungan bagi daerah.
Pansus DPRD NTT yang diketuai Drs. Daniel Polin, pertengahan Januari 2008, merekomendasikan agar Perda Nomor 17 Tahun 1981 sebagai dasar pembentukan PD Flobamor dicabut dan aktivitas perusahaan ini dihentikan sementara. Anggaran dari daerah tahun ini tidak boleh dicairkan dulu.
Ada sejumlah alasan mengapa pansus mengeluarkan rekomendasi keras itu, antara lain karena pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan ini tidak jelas. Salah satu contoh, terjadi perbedaan data mengenai jumlah modal antara dokumen-dokumen APBD yang disajikan pemerintah dengan dokumen dan penjelasan yang disampaikan pemerintah atas nama PD Flobamor.
Sesuai Perda No 17/1981 penyertaan modal untuk PD Flobamor senilai Rp 1.495.000.000, penambahan modal dalam tahun-tahun berikutnya Rp 7,5 miliar dan di tahun 2007 ditambah lagi Rp 4,5 mliar. Dengan demikian total penyertaan modal Rp 13.495.000.000. Sementara dari laporan pemerintah/PD Flobamora hanya Rp 8.945.000.000. Ada selisih Rp 4.550.000.000.
Contoh lainnya, Dirut PD Flobamor, Samsudin H Abdullahi, S.E mengatakan bahwa saat dia masuk menjabat sebagai Dirut, di kas perusahaan hanya ada dana Rp 500 juta. Sementara menurut Ben Muda, mantan Dirut yang diganti Samsudin, dia meninggalkan Rp 2,8 miliar untuk manajemen yang baru.
Kejanggalan lainnya, manajemen Flobamor melaporkan bahwa di tahun 2006 dalam kondisi merugi, namun menyetor ke kas daerah Rp 250 juta. "Bagaikan mayat yang tetap dipaksa bernafas," demikian Pansus DPRD NTT melukiskan kesemrawutan kepengelolaan perusahaan ini.
Pansus juga merekomendasikan agar DPRD NTT mempertimbangkan untuk membuat regulasi yang baru untuk mendirikan PD yang baru. Apakah ini menyelesaikan masalah?
Menurut pelaku dan pengamat ekonomi, Guido Fulbertus, PD hanya bisa maju, berprospek dan menguntungkan apabila dikelola oleh orang yang profesional dalam bisnis.
Dibanding perusahaan swasta lainnya, kata Guido, PD punya dua kelebihan. Pertama, modal berasal dari pemerintah. Manajemen tidak berpikir lagi soal modal karena ada alokasi dana dari pemerintah. Kedua, PD adalah milik pemerintah sehingga ada kemudahaan dan prioritas dari pemerintah bagi keberlangsungan PD.
Menurut Guido, hampir semua PD di NTT dililit masalah, berkinerja buruk karena salah menunjuk pengelolanya. Dia membandingkan PD dengan Bank NTT yang juga adalah milik pemerintah. Bank NTT bisa eksis dan lebih maju karena dikelola secara profesional. Karena itu PD- pun harus dikelola secara profesional. (aca/ira/amy)
Penyertaan Modal ke PD Flobamor
Tahun Jumlah
1988 Rp 50 juta
1989 Rp 45 juta
1991 Rp 50 juta
1992 Rp 50 juta
1993 Rp 50 juta
1994 Rp 50 juta
1995 Rp 50 juta
1996 Rp 100 juta
1997 Rp 100 juta
1998 Rp 900 juta
2005 Rp 500 juta
2006 Rp 2,5 miliar
2007 Rp 4,5 miliar
------------------------------------------
Total Rp 8.945.000.000
Pos Kupang edisi Selasa, 21 Oktober 2008 halaman 1 http://www.pos-kupang.com