Jarang Leti Hantar Uskup Edu Sangsun

RUTENG, PK---Jenazah Mgr. Eduardus Sangsun, SVD, dihantar jarang leti (seekor kuda tunggang--Red) dalam prosesi penguburan di halaman Gereja Ketedral Ruteng, Jumat (17/10/2008). Jarang leti dipersembahkan kepada uskup yang memimpin Dioses Ruteng selama 23 tahun itu sebagai tanda penghormatan sebagai pemimpin besar dan jasa-jasanya.

Seperti disaksikan Pos Kupang di halaman Gereja Katedral Ruteng, kemarin, ketika peti jenazah keluar dari pintu gereja dilakukan sapaan adat. Sapaan adat sekaligus ajakan kepada Uskup Edu untuk menunggang kuda jantan menuju tempat peristirahatannya terakhir. Kuda jantan sudah dilengkapi kekang, pelana dan ditutupi kain putih. Dua orang tokoh adat menuntun kuda jantan diikuti peti jenazah yang diusung para imam Dioses Ruteng.

Setibanya di kuburan Uskup Sorong, Mgr. Hilarion Datus Lega, Pr, memimpin upacara dan doa-doa penguburan. Umat yang hadir sekitar puluhan ribu itu menyaksikan secara hikmat proses penguburan Uskup Edu. Doa-doa dan nyanyian terus didaraskan untuk keselamatan Uskup Edu.

Sebelum proses penguburan digelar misa arwah mulai pukul 08.00 Wita dipimpin Duta Besar Vatikan Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli, didampingi Uskup Agung Ende. Mgr. Vinsentius Sensi Potokota, Pr, Uskup Sorong, Hilarion Datus Lega, Pr. Uskup Maumere, Mgr. Cherubin Pareira, SVD, Uskup Emeritus Mgr. Anton Pain Ratu, SVD, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong, Pr dan Administrator Keuskupan Denpasar.
Dalam kotbahnya, Mgr. Sensi, Pr menandaskan, Uskup Edu memiliki kharisma dan iman yang tulus. Tugas dan pengabdiannya telah ia tunjukkan selama memimpin Dioses Ruteng selama 23 tahun. "Iman dan kesetiaan telah menyelamatkan dirinya sehingga diyakini Uskup Edu mendapat tempat yang layak," katanya.

Sementara Duta Besar Vatikan, Mgr. Leopoldo Girelli, dalam sambutannya mengatakan, Paus Benediktus, menyatakan belasungkawa mendalam. Gereja berduka karena kepergian Uskup Edu terjadi begitu singkat dan mendadak di tengah tugas-tugasnya.

Pemerintah Propinsi NTT memberikan penghargaan berupa cincin kelas II kepada Uskup Edu. Cincin kelas II itu diberikan kepada almarhum atas jasa-jasa dalam pembangunan daerah. Cincin penghargaan diberikan Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, dan diterima Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsentius Sensi
Potokota, Pr.

Dalam sambutanya Gubernur Lebu Raya, mengatakan, spiritulias cinta kasih dan pelayanan Uskup Edu telah memberi kontribusi besar bagi pembangunan daerah di NTT. Uskup Edu dalam tugas dan pelayanannya berbakti untuk keselamatan umat manusia. Cara hidupnya menjadi suri teladan bagi umat manusia yang ditinggalkan.

Wakil keluarga Uskup Edu, Kornelis Kapu, menyampaikan terima kasih atas seluruh perhatian terhadap almarhum baik ketika sakit, pengurusan jenazah mapun prosesi penguburan.

Rm Laurens, Administator
Menyusul kepergian Uskup Edu, Romo Laurens Sopang, Pr, diangkat menjadi Administrator Dioses Ruteng untuk menjalankan tugas-tugas pastoral. Pengangkatan Rm. Laurens setelah dewan konsultores menggelar rapat, Rabu (15/10/2008).
Pengangkatan Rm. Laurens diumumkan secara resmi oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Vinsentius Sensi Potokota, Pr, di Gereja Katedral Ruteng, Jumat (17/10/2008). Pengumuman itu disambut tepuk tangan meriah dari umat yang ikut misa arwah.

Mgr. Sensi menegaskan, sesuai hukum gereja untuk mengisi jabatan hirarki gereja perlu diangkat seorang administrator guna melancarkan tugas-tugas hingga pengangkatan seorang uskup nanti. Karena itu Dewan Keuskupan, yakni Rm. Lurens Sopang, Pr, Rm. Bene Bensi, Rm. Maksi Haber, Rm. Beny Jaya, Pr, Rm Geradus Janur, Rm. John Boylon, Pr dan Pater Sebas Hoba Hana, SVD, telah menetapkan dan memutuskan Rm. Laurens Sopang sebagai Administrator Dioses Ruteng. (lyn)

Penggagas Gereja Mandiri

KABAR berpulangnya Mgr. Eduardus Sangsun, SVD merebak begitu cepat. Kebanyakan umat sudah tahu sejak beberapa tahun belakangan, Uskup Edu, menderita sakit. Tetapi kabar kematiannya tetap mengagetkan. Kaget karena tak menyangka sosok gembala umat yang kekar, atletis dan kuat itu akhirnya harus kembali ke Sang Pengasal.

Saya sendiri tak percaya ketika banyak pesan singkat (short message service/SMS) mampir ke handphone saya sesaat setelah Uskup Edu dipanggil Tuhan di Jakarta. SMS demi SMS datang. Isinya sama: Uskup Edu telah meninggal. Seolah tak yakin, saya menyakan kebenaran kabar tidak enak itu ke Rm. Ichon Tanis, Pr. Balasan dari Rm. Ichon membuat saya percaya. Kata-kata Martin Buber bahwa "Manusia hidup dan tenggelam dalam waktu" mengiang-ngiang dalam telinga.

Hidup dan mati bergerak dalam waktu adalah kenyataan yang tak terbantahkan. Kenyataan ini pula menegaskan kematian Uskup Edu dalam waktu yang singkat.

Dilahirkan 14 Juni 1943 dari ayah Nikolaus Djakung dan Mama Anna Kukur, Uskup Edu meniti ziarah hidupnya dengan penuh kepercayaan diri. Dimulai dari lembah Pagal, singgah di Kisol, mengakrabi kabut dan dinginnya Mataloko serta kemudian tekun belajar di bukit Ledalero hingga memutuskan menjadi imam. Dari Ledalero menuju Kota Abadi, Roma untuk belajar. Pilihan hidupnya bukan ziarah sebentar, tetapi panjang dan melelahkan. Dan, sebelum menjadi Uskup Ruteng, Uskup Edu menghabiskan tugasnya di panti pendidikan.

Uskup Edu terkenal sebagai sosok yang cinta damai, prinsipil dan solid dalam tugas pelayanannya. Prinsip hidupnya nyata dalam 23 tahun tugas kegembalaannya sebagai Uskup Ruteng hingga Tuhan memanggilnya. Uskup Edu yakin, dia tidak sendirian dalam tugas kegembalaannya. Itu sebabnya, dia memilih motto tahbisan uskupnya : Et habitatit In Nobis (Dan Ia tinggal di antara kita) yang dikutip dari Yoh: 1:14.

Disemangati motto ini, dalam menjalankan tugasnya, Uskup Edu menggagaskan gereja mandiri. Ya, gereja dalam arti luas harus mandiri, tidak boleh bergantung dari luar. Umat harus dewasa.

Untuk mendukung gagasannya ini, Uskup Edu mendatangkan banyak misionaris ke Manggarai. Jangan heran, di Manggarai terdapat begitu banyak tarekat religius. Prestasi lain adalah pembangunan Gereja Katedral Ruteng yang baru.

Banyak yang sudah dilakukan Uskup Edu dalam rangka pembinaan dan pendewasaan iman umat. Tetapi Uskup Edu tidak berbesar hati, menepuk dada. Dia sadar, ketika dipanggil dan total membaktikan diri dalam panggilannya, maka panggilan itu harus dihayati secara paripurna, tidak setengah-setengah.

Panggilan hidup menjadi imam Tuhan, bagi Uskup Edu menjadi tanda, ekspresi imannya kepada Tuhan. Panggilan imamat itu telah diterjemahkan dalam seluruh kebijakan pastoral, kesetiaan, komitmen, dan pengorbanannya. Meski tiga tahun terakhir mulai menderita sakit akibat penyakit gula, semangat pelayanan tak pernah pudar.

Om Bastian, salah seorang karyawan Puspas, menuturkan, sebelum berangkat ke luar negeri, Uskup Edu pernah memberikan peneguhan kepada Rm. Amandus Mbiri, Pr supaya tetap semangat meski pun sakit. Semangat adalah akhlak yang bisa menambah umur panjang.

Ketua STKIP Ruteng, Pater Servulus Isaack, SVD, melukiskan Mgr. Edu sebagai adalah sosok yang santun dan rendah hati. Strategi pastoral selama menjadi Uskup Ruteng adalah karya maha penting, terutama gerakan gereja mandiri. Gagasan gereja mandiri lahir dari refleksi mendalam terutama filosofi budaya Manggarai.

Sosok gembala umat yang tangguh itu telah pergi. Dia pergi meninggalkan domba-dombanya di Manggarai. Itu sebabanya, banyak orang merasa kehilangan atas kepergiannya. Tetapi Uskup Edu yakin dia cumalah alat di tangan Tuhan. Dia cumalah tangan Tuhan yang membantu mencari dan menemukan domba-dombanya. Selamat jalan gembala sejati. (kanis lina bana)

Pos Kupang edisi Sabtu, 18 Oktober 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes