Oleh Aris Ninu
SEKOLAH Pertanian Menengah Atas (SPMA) Boawae. Nama sekolah ini tenar pada masanya. Sebab dari sana lahir begitu banyak lulusan yang menjadi tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang bertugas di semua wilayah NTT.
Itu dulu. Hanya tinggal kenangan. Kini, sekolah ini mulai kurang perhatian. Ir. Vitalis Djuang, salah satu penggagas berdirinya sekolah ini, memberi kesaksian tentang perjalanan sekolah ini, juga mengungkapkan kegundahannya tentang nasib sekolah ini, kini.
Januari 1968, SPMA resmi berdiri di Kecamatan Boawae, sebagai sekolah pertanian pertama di Propinsi NTT. Sekolah dibangun karena NTT adalah daerah pertanian tapi tidak memiliki sekolah pertanian. "Daerah kita adalah daerah pertanian tapi kita tidak punya sekolah pertanian. Manusianya petani tapi sekolah pertaniannya tidak ada. Orang bertani tapi tidak memiliki pengetahuan. Itu pemikiran saya setelah menyelesaikan studi pertanian dan ditugaskan di Boawae," kenang Djuang.
Mulanya, tahun 1965, Djuang mendirikan SUT (Sekolah Usaha Tani). SUT ini mendidik para petani dan pemuda putus sekolah. Mereka dilatih tentang cara bertani yang baik. Lulusannya hanya diberi sertifikat pertanian. Namun SUT hanya bertahan dua tahun.
Lalu, beberapa tahun kemudian Djuang berhasil menghadirkan SPMA di Boawae. Lembaga ini berdiri, juga berkat bantuan lembaga donor yang difasilitasi Keuskupan Jerman. Proposal tentang rencana mendirikan sekolah itu dibuat dan dikirim ke Jerman melalui Yayasan Petani Pancasil Ende. Ada tanggapan positif. Dua profesor dari Jerman tiba di Boawae untuk mengkaji langsung rencana tersebut. Gubernur NTT saat itu, El Tari, juga datang ke Boawae untuk menanyakan pembangunan SPMA itu. Gubernur El Tari sangat setuju dan memerintahkan Camat Balukh untuk mengamankan tanah bagi lokasi pembangunan SPMA. Para bupati di NTT, juga datang dan menanam pohon kelapa di sekeliling lokasi pembangunan gedung SPMA.
Tanggapan pemerintah sangat positip. Setiap tahun, selalu ada dua sampai empat orang yang dikirim resmi dari tiap kabupaten di NTT untuk sekolah di SPMA Boawae. Jadilah sekolah yang lengkap dengan asrama menampung para siswanya itu, menjadi NTT mini.
Kurikulum di sekolah ini, papar Djuang, teori 30 persen dan praktek 70 persen. SPMA pun berjaya dan menghasilkan tenaga handal di bidang pertanian yang tersebar di seluruh NTT. Namun sejak 1991, SPMA Boawae tidak lagi menerima utusan dari setiap kabupaten.
"Saat Bupati Ngada, Drs. Piet Jos Nuwa Wea menjadi Kepala Bappeda NTT ia pernah menyuruh stafnya ke Boawae. Ada pertanyaan dari staf itu kepada saya. Pertanyaannya begini, apa harapan bapak dari SPMA. Jawaban saya hanya satu waktu yakni kembalikan SPMA Boawae ini menjadi NTT mini," kata Djuang.
"Kalau Anda wartawan tanya saya apa harapan saya, jawaban saya kembalikan SPMA Boawae ini sebagai NTT kecil karena di masa kami SPMA Boawae ini dikenal sebagai NTT kecil, dimana di sekolah ini ada semua komponen masyarakat NTT," kata Djuang.
***
Sampai sekarang, NTT masih mengandalkan sektor pertanian. Sebagian masyarakatnya adalah petani. Namun tidak ada lembaga pendidikan formal yang secara profesional menghasilkan tenaga-tenaga lapangan yang bisa menggerakkan dunia pertanian menjadi lebih maju.
Ada banyak sarjana pertanian, jebolan dari berbagai perguruan tinggi bermutu di tanah air yang saat ini ada di NTT. Tapi apa kenyataan yang kita hadapi? Petani kita setiap tahun selalu kelaparan.
Untuk bangkit di usia emas ini, kita memang perlu menoleh ke belakang. Sebab pengalaman di masa lalu kadang justeru menjadi suluh penerang jalan. *
Pos Kupang edisi Minggu, 5 Oktober 2008 halaman 1
SEKOLAH Pertanian Menengah Atas (SPMA) Boawae. Nama sekolah ini tenar pada masanya. Sebab dari sana lahir begitu banyak lulusan yang menjadi tenaga penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang bertugas di semua wilayah NTT.
Itu dulu. Hanya tinggal kenangan. Kini, sekolah ini mulai kurang perhatian. Ir. Vitalis Djuang, salah satu penggagas berdirinya sekolah ini, memberi kesaksian tentang perjalanan sekolah ini, juga mengungkapkan kegundahannya tentang nasib sekolah ini, kini.
Januari 1968, SPMA resmi berdiri di Kecamatan Boawae, sebagai sekolah pertanian pertama di Propinsi NTT. Sekolah dibangun karena NTT adalah daerah pertanian tapi tidak memiliki sekolah pertanian. "Daerah kita adalah daerah pertanian tapi kita tidak punya sekolah pertanian. Manusianya petani tapi sekolah pertaniannya tidak ada. Orang bertani tapi tidak memiliki pengetahuan. Itu pemikiran saya setelah menyelesaikan studi pertanian dan ditugaskan di Boawae," kenang Djuang.
Mulanya, tahun 1965, Djuang mendirikan SUT (Sekolah Usaha Tani). SUT ini mendidik para petani dan pemuda putus sekolah. Mereka dilatih tentang cara bertani yang baik. Lulusannya hanya diberi sertifikat pertanian. Namun SUT hanya bertahan dua tahun.
Lalu, beberapa tahun kemudian Djuang berhasil menghadirkan SPMA di Boawae. Lembaga ini berdiri, juga berkat bantuan lembaga donor yang difasilitasi Keuskupan Jerman. Proposal tentang rencana mendirikan sekolah itu dibuat dan dikirim ke Jerman melalui Yayasan Petani Pancasil Ende. Ada tanggapan positif. Dua profesor dari Jerman tiba di Boawae untuk mengkaji langsung rencana tersebut. Gubernur NTT saat itu, El Tari, juga datang ke Boawae untuk menanyakan pembangunan SPMA itu. Gubernur El Tari sangat setuju dan memerintahkan Camat Balukh untuk mengamankan tanah bagi lokasi pembangunan SPMA. Para bupati di NTT, juga datang dan menanam pohon kelapa di sekeliling lokasi pembangunan gedung SPMA.
Tanggapan pemerintah sangat positip. Setiap tahun, selalu ada dua sampai empat orang yang dikirim resmi dari tiap kabupaten di NTT untuk sekolah di SPMA Boawae. Jadilah sekolah yang lengkap dengan asrama menampung para siswanya itu, menjadi NTT mini.
Kurikulum di sekolah ini, papar Djuang, teori 30 persen dan praktek 70 persen. SPMA pun berjaya dan menghasilkan tenaga handal di bidang pertanian yang tersebar di seluruh NTT. Namun sejak 1991, SPMA Boawae tidak lagi menerima utusan dari setiap kabupaten.
"Saat Bupati Ngada, Drs. Piet Jos Nuwa Wea menjadi Kepala Bappeda NTT ia pernah menyuruh stafnya ke Boawae. Ada pertanyaan dari staf itu kepada saya. Pertanyaannya begini, apa harapan bapak dari SPMA. Jawaban saya hanya satu waktu yakni kembalikan SPMA Boawae ini menjadi NTT mini," kata Djuang.
"Kalau Anda wartawan tanya saya apa harapan saya, jawaban saya kembalikan SPMA Boawae ini sebagai NTT kecil karena di masa kami SPMA Boawae ini dikenal sebagai NTT kecil, dimana di sekolah ini ada semua komponen masyarakat NTT," kata Djuang.
***
Sampai sekarang, NTT masih mengandalkan sektor pertanian. Sebagian masyarakatnya adalah petani. Namun tidak ada lembaga pendidikan formal yang secara profesional menghasilkan tenaga-tenaga lapangan yang bisa menggerakkan dunia pertanian menjadi lebih maju.
Ada banyak sarjana pertanian, jebolan dari berbagai perguruan tinggi bermutu di tanah air yang saat ini ada di NTT. Tapi apa kenyataan yang kita hadapi? Petani kita setiap tahun selalu kelaparan.
Untuk bangkit di usia emas ini, kita memang perlu menoleh ke belakang. Sebab pengalaman di masa lalu kadang justeru menjadi suluh penerang jalan. *
Pos Kupang edisi Minggu, 5 Oktober 2008 halaman 1