Mungkin hanya di Kupang atau kota-kota NTT, orang lebih percaya ketajaman mata menembus kegelapan malam. Mungkin cuma di beranda ini, 'kepala batu' tak kunjung melunak meski banyak sudah 'kepala picah badarah'.
TIDAK sulit memahami karakter orang NTT. Datanglah ke lampu merah atau jalan protokol yang selalu padat. Dalam sepuluh sampai limabelas menit, tuan dan puan akan mengerti sendiri. Di Perempatan Polda NTT, Jalan Palapa, Ahmad Yani atau Jalan Sudirman, potret orang Kupang (NTT) muncul tanpa pura-pura. Asli 24 karat, bung!
Di perempatan Polda NTT, misalnya, sejak lama diberi pembatas jalan demi kenyamanan pengguna. Namun, pembatas seolah tak bermakna bagi sejumlah orang saat lampu merah menyala. Ada saja yang ingin cepat sampai tujuan.
Caranya cerdik. Jika ada kendaraan lain menghalangi, dia keluar sebentar dari jalur lalu cepat masuk kembali dengan mengambil posisi terdepan. Berjejalan tak apa. Maksudnya jelas, saat lampu hijau menyala, dialah yang pertama tancap gas. Pengendara sepeda motor paling kerap beraksi seperti ini. Tidak cuma ojek, ada juga yang berseragam, pegawai negeri dan swasta.
Orang Kupang suka tergesa-gesa. Dering klakson bertalu-talu, pedal gas meraung-raung jika kendaraan di depan tidak segera bergerak saat lampu hijau menyala. Entah apa yang mereka kejar. Yang lamban bergerak apalagi kendaraanmu tiba-tiba mogok, mesti siap menerima 'kata-kata suci' khas Flobamora. Beta tak perlu menyebut karena tuan dan puan sudah tahu.
Saat melaju di jalan umum kewaspadaan jangan sampai luruh. Ada saja yang potong jalan tiba-tiba. Putar haluan kendaraan tanpa beri tanda terlebih dahulu. Selalu mungkin bemo berhenti mendadak guna menaikkan atau menurunkan penumpang. Di pertigaan tanpa traffic light atau lampu pengatur lalulintas sedang onar, tak mudah menemukan orang baik budi, mau memberi jalan kepada yang lain. Prinpsipnya malas tahu.
Saat malam menjelang larut hingga menjemput fajar, rasakan sensasi lain. Di Jalan Fetor Foenay menuju puncak Kolhua, Jalan El Tari II, Perintis Kemerdekaan atau Timor Raya, siap- siap berpapasan dengan orang yang lebih percaya ketajaman mata menembus kegelapan malam. Sepeda motor melaju meraung-raung tanpa menyalakan lampu.
Dari sono-nya mobil atau oto (kata ini dipakai warga Flobamora) memiliki dua lampu depan. Tapi di Kupang dan juga di kota lain NTT, ada oto berani ngebut malam hari dengan satu lampu. Jika nyala lampu kanan, lumayan mengingatkan pengendara dari arah berlawanan. Tapi nyala sisi kiri, kawan harus sigap kalau baru ketahuan dalam jarak dekat. Bisa jantungan!
Berkali-kali sudah kejadian sepeda motor tabrak sepeda motor atau sepeda motor adukuat dengan moncong oto karena salah satu tidak menyalakan lampu. Beribu kali polisi dan pegawai Dinas Perhubungan mengingatkan. Berulang jua peristiwa yang sama. Mengubah tabiat memang tidak enteng.
Jangan-jangan ada keyakinan 'kepala orang NTT' sekeras batu karang. Pakai helm standar karena takut polisi tilang. Tak ada polisi, goodbye helm. Helm merusak penampilan. Bisa hilang gaya. Nona-nona dan nyong tak suka. Ibu-ibu muda pun sama, apalagi baru dari salon. Baru usai rebonding. Yang keriting diluruskan, yang lurus dikeritingkan.
Sudah tradisi NTT, hari Minggu atau hari libur no helm. Ke rumah ibadah tak wajib pakai helm. Tak bakal ditegur polisi kok. Saudara-saudari kita, baik polwan maupun polria (polisi pria) paham sekali. Memahami dan mengerti meskipun mereka melihat kenyataan ini: orang pergi berdoa sambil berbuat dosa. Atas nama beribadah, tega melanggar aturan!
Manusia selalu belajar dari pengalaman. Dari sejarah kita mengetahui demi pertimbangan medislah, helm masuk aturan lalulintas. Helm lahir karena kesadaran, betapa pun seseorang itu keras kepala atau kepala batu, kepalanya toh tak mungkin sekeras batu. Akan picah badarah (baca: pecah, remuk) jika menghantam aspal atau benda keras lain tanpa pelindung.
Data dari berbagai RSU di NTT menunjukkan, 90 persen kematian korban kecelakaan lalulintas bersumber dari CKB (cedera kepala berat). Dan, hampir 99 persen CKB karena orang tidak menggunakan helm standar.
Departemen Kesehatan RI bulan lalu kembali merilis data yang mestinya membikin bulu kuduk berdiri. Sebesar 91 persen kecelakaan lalulintas terjadi karena faktor manusia. Dan, kecelakaan lalulintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia setelah penyakit jantung dan stroke.
Masihkah tuan memakai helm standar karena takut polisi? Seandainya beta polisi, dengan senang hati akan berkata, "Emang Gua Pikirin?" * (email: dionbata@poskupang.co.id)
BERANDA KITA (BETA) Pos Kupang, edisi Senin 20 Oktober 2008 halaman 1
TIDAK sulit memahami karakter orang NTT. Datanglah ke lampu merah atau jalan protokol yang selalu padat. Dalam sepuluh sampai limabelas menit, tuan dan puan akan mengerti sendiri. Di Perempatan Polda NTT, Jalan Palapa, Ahmad Yani atau Jalan Sudirman, potret orang Kupang (NTT) muncul tanpa pura-pura. Asli 24 karat, bung!
Di perempatan Polda NTT, misalnya, sejak lama diberi pembatas jalan demi kenyamanan pengguna. Namun, pembatas seolah tak bermakna bagi sejumlah orang saat lampu merah menyala. Ada saja yang ingin cepat sampai tujuan.
Caranya cerdik. Jika ada kendaraan lain menghalangi, dia keluar sebentar dari jalur lalu cepat masuk kembali dengan mengambil posisi terdepan. Berjejalan tak apa. Maksudnya jelas, saat lampu hijau menyala, dialah yang pertama tancap gas. Pengendara sepeda motor paling kerap beraksi seperti ini. Tidak cuma ojek, ada juga yang berseragam, pegawai negeri dan swasta.
Orang Kupang suka tergesa-gesa. Dering klakson bertalu-talu, pedal gas meraung-raung jika kendaraan di depan tidak segera bergerak saat lampu hijau menyala. Entah apa yang mereka kejar. Yang lamban bergerak apalagi kendaraanmu tiba-tiba mogok, mesti siap menerima 'kata-kata suci' khas Flobamora. Beta tak perlu menyebut karena tuan dan puan sudah tahu.
Saat melaju di jalan umum kewaspadaan jangan sampai luruh. Ada saja yang potong jalan tiba-tiba. Putar haluan kendaraan tanpa beri tanda terlebih dahulu. Selalu mungkin bemo berhenti mendadak guna menaikkan atau menurunkan penumpang. Di pertigaan tanpa traffic light atau lampu pengatur lalulintas sedang onar, tak mudah menemukan orang baik budi, mau memberi jalan kepada yang lain. Prinpsipnya malas tahu.
Saat malam menjelang larut hingga menjemput fajar, rasakan sensasi lain. Di Jalan Fetor Foenay menuju puncak Kolhua, Jalan El Tari II, Perintis Kemerdekaan atau Timor Raya, siap- siap berpapasan dengan orang yang lebih percaya ketajaman mata menembus kegelapan malam. Sepeda motor melaju meraung-raung tanpa menyalakan lampu.
Dari sono-nya mobil atau oto (kata ini dipakai warga Flobamora) memiliki dua lampu depan. Tapi di Kupang dan juga di kota lain NTT, ada oto berani ngebut malam hari dengan satu lampu. Jika nyala lampu kanan, lumayan mengingatkan pengendara dari arah berlawanan. Tapi nyala sisi kiri, kawan harus sigap kalau baru ketahuan dalam jarak dekat. Bisa jantungan!
Berkali-kali sudah kejadian sepeda motor tabrak sepeda motor atau sepeda motor adukuat dengan moncong oto karena salah satu tidak menyalakan lampu. Beribu kali polisi dan pegawai Dinas Perhubungan mengingatkan. Berulang jua peristiwa yang sama. Mengubah tabiat memang tidak enteng.
Jangan-jangan ada keyakinan 'kepala orang NTT' sekeras batu karang. Pakai helm standar karena takut polisi tilang. Tak ada polisi, goodbye helm. Helm merusak penampilan. Bisa hilang gaya. Nona-nona dan nyong tak suka. Ibu-ibu muda pun sama, apalagi baru dari salon. Baru usai rebonding. Yang keriting diluruskan, yang lurus dikeritingkan.
Sudah tradisi NTT, hari Minggu atau hari libur no helm. Ke rumah ibadah tak wajib pakai helm. Tak bakal ditegur polisi kok. Saudara-saudari kita, baik polwan maupun polria (polisi pria) paham sekali. Memahami dan mengerti meskipun mereka melihat kenyataan ini: orang pergi berdoa sambil berbuat dosa. Atas nama beribadah, tega melanggar aturan!
Manusia selalu belajar dari pengalaman. Dari sejarah kita mengetahui demi pertimbangan medislah, helm masuk aturan lalulintas. Helm lahir karena kesadaran, betapa pun seseorang itu keras kepala atau kepala batu, kepalanya toh tak mungkin sekeras batu. Akan picah badarah (baca: pecah, remuk) jika menghantam aspal atau benda keras lain tanpa pelindung.
Data dari berbagai RSU di NTT menunjukkan, 90 persen kematian korban kecelakaan lalulintas bersumber dari CKB (cedera kepala berat). Dan, hampir 99 persen CKB karena orang tidak menggunakan helm standar.
Departemen Kesehatan RI bulan lalu kembali merilis data yang mestinya membikin bulu kuduk berdiri. Sebesar 91 persen kecelakaan lalulintas terjadi karena faktor manusia. Dan, kecelakaan lalulintas merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia setelah penyakit jantung dan stroke.
Masihkah tuan memakai helm standar karena takut polisi? Seandainya beta polisi, dengan senang hati akan berkata, "Emang Gua Pikirin?" * (email: dionbata@poskupang.co.id)
BERANDA KITA (BETA) Pos Kupang, edisi Senin 20 Oktober 2008 halaman 1