Lomba Kumpul Bibit

Oleh Frans Krowin

SEKITAR 27 tahun lalu, saat saya masih kecil, suasana hidup di desa saya, Pamakayo, Kecamatan Solor Barat, Kabupaten Flores Timur, amat menyenangkan. Kerukunan, kekeluargaan, dan lain-lain begitu terasa. Spirit untuk maju juga amat kental. Kala itu semua orang memang ingin maju.

Hasrat masyarakat di era 1980-an itu sesungguhnya dilecut oleh motivasi pemimpin yang selalu menggelorakan semangat untuk maju. Maju sepertinya diarahkan menjadi sebuah prinsip yang harus dianut semua orang untuk mengubah diri, mengubah hidup, mengubah hal dari tiada menjadi ada.

Masih membekas dalam ingatan saya, Kepala Desa Pamakayo saat itu,Yohanes Suban Kein. Dia selalu berkeliling dari satu RK (rukun kampung) ke RK lainnya untuk mengecek kebersihan lingkungan. Meski bukan setiap hari, pada hari-hari tertentu, ia mengunjungi warga dengan gayanya sendiri.

Dalam kunjungan itu, ada-ada saja yang ditanyakan. Tentang orang tua kita, tentang lingkungan, tentang kesibukan warga, tentang pekerjaan dan sebagainya. Ia juga selalu mengajak warga untuk membersihkan lingkungan. Apalagi saat itu, ada lomba desa yang dicanangkan oleh Gubernur NTT, Ben Mboi. Lomba desa itu mencakup semua aspek, baik administrasi desa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, tentang pendidikan dan lain-lain.

Alhasil, di era 1980-an itu, masyarakat kami kebanyakan menghabiskan waktu untuk kepentingan umum. Pada hari-hari tertentu di pekan berjalan, ada kerja bakti. Kerja bakti itu untuk kepentingan umum. Kerja bakti itu di luar gotong royong yang dalam bahasa ibu disebut gemohing.

Gemohing itu artinya kerja kelompok. Kerja kelompok itu umumnya untuk mendukung kehidupan ekonomi keluarga. Gemohing itu sangat terasa saat menjelang musim hujan, saat tanam atau saat membersihkan rerumputan di kebun. Saat gemohing, warga bekerja sambil menyanyi. Mereka menyanyikan lagu-lagu yang sifatnya membakar semangat untuk rajin bekerja.

Meski ada banyak orang yang mengeluhkan cara kerja itu, semua warga tunduk pada perintah kepala desa. Sebab, kerja bakti itu telah disepakati dalam rapat desa. Rapat desa itu adakalanya berlangsung di gereja, terutama setiap hari Minggu seusai misa, juga berlangsung di Bale Guan Gahing Lewo Tana Pamakayo.

Makanya, semua rumah tangga pasti mengirim utusannya untuk kerja bakti. Jika tidak, akan ada denda. Denda itu berupa uang dan uang itu dimasukkan ke kas desa.

Sementara untuk memudahkan pengontrolan terhadap hasil kerja, pemerintah desa membagi area kerja. Singkat kata, kerja bakti itu berjalan sesuai kesepakatan bersama.

Mungkin karena faktor itu, maka sekitar tahun 1984, Desa Pamakayo terpilih sebagai juara I Lomba Desa Tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan juara II Lomba Desa Tingkat Nasional.

Ketika predikat itu diumumkan, semua warga menyambut gembira. Semua bangga. Kalau omong tentang lomba desa, semua warga 'menepuk dada'.

Sikap warga ini sangat wajar. Karena pada saat NTT dibelenggu aneka keterbatasan, warga desa kami malah berhasil mengukir prestasi, terpilih sebagai desa unggul di Flobamora. Unggul dalam sejumlah aspek yang terpaut langsung dengan proses pembangunan desa. Pembangunan desa saat itu murni digerakkan oleh semangat kerja bakti, semangat gotong royong.

Bahkan beberapa tahun berikutnya, desa kami juga terpilih sebagai juara I lomba LMD (Lembaga Musyawarah Desa) tingkat nasional. Atas prestasi itu, kepala desa kami, Suban Kein bersama ibu, Nona Yuli Krowin (almarhum) diundang Presiden Soeharto untuk mengikuti upacara kenegaraan di Yogyakarta.
Bila kisah ini ditarik lebih luas untuk cakupan NTT, maka saya harus jujur mengatakan bahwa spirit untuk maju seperti yang dilakukan warga desa kami tampaknya belum dimiliki oleh warga desa di daerah lain. Setidaknya itu terlihat dari tampilan wajah sejumlah desa yang pernah saya kunjungi ketika melakukan tugas jurnalistik.

Di daratan Timor, misalnya, masih banyak desa yang sangat jauh dari harapan. Tak sedikit desa yang boleh dibilang tertinggal. Padahal potensi alamnya sangat melimpah dibandingkan dengan kondisi desa kami yang didominasi oleh batu-batu karang.


Pola hidup masyarakat juga begitu. Bila di desa kami, dan juga di desa lainnya, domisili warga tersebar dalam suatu areal, dengan letak rumah yang saling berdekatan antara satu dengan yang lain, beda dengan sejumlah desa di Timor bahkan Sumba. Sampai saat ini, masih ada rumah warga ibarat rumah kebun. Letaknya berjauhan. Mungkin karena itu, kerawanan sosial demikian terasa.

Ada hal yang hampir terlewatkan. Dulu, ketika NTT melaksanakan Operasi Nusa Hijau (ONH) dan Operasi Nusa Makmur (ONM), kami anak-anak sekolah dasar (SD) wajib mengumpulkan bibit, baik lamtoro, johar, mangga dan lain-lain untuk rebiosasi.

Agar jumlah bibit yang dikumpulkan banyak, kepala sekolah SDK Waikrowe di Menanga, Kecamatan Solor Timur, Yoseph Gawe, menjadikan ajang itu sebagai lomba. Maka berlomba- lombalah kami mengumpulkan bibit tanaman. Kami ingin menjadi juara dan mendapat uang Rp 15.000,00.

Saat itu, yang jadi juara adalah Emi, anak seorang polisi. Saat itu, Emi yang masih kelas 4 SD, mengumpulkan bibit lamtoro dan johar sekitar 50 kg. Sedangkan kami yang lain tidak terlalu banyak. Tapi saat itu, bibit tanaman yang terkumpul lumayan banyak. Ketika hujan datang, bibit itu kami tanam di daerah- daerah yang tandus, seperti Lewogeka, Tala dan beberapa tempat lainnya di sekitar Menanga.

Saya tidak tahu, masih adakah semangat itu di masa kini ataukah sebaliknya? Mudah-mudahan saja hal yang positif itu ditumbuhkan kembali, sehingga bisa bermanfaat bagi masa kini dan yang akan datang. (frans_krowin@yahoo.com)

Pos Kupang edisi Sabtu, 25 Oktober 2008 halaman 10, http://www.pos-kupang.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes