PD Purin Lewo milik Pemkab Lembata kini memasuki usia lima tahun. Didirikan 2003 dan telah melewati tiga masa paling sulit. Penyelewenangan berjemaah dilakukan generasi pertama direksi dan karyawan.
Manajemen keuangan, usaha dan organisasi amburadul. Tidak jelas pertanggungjawaban.
Tahap pertama usahanya, PD menjadi suplier sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako). Langkah itu ditempuh karena para usahawan, toko dan kios memainkan harga seenaknya. Unit usaha lain yang juga dikembangkan membeli hasil bumi dari petani.
Harga lebih bisa bersaing daripada usaha swasta, sehingga petani diuntungkan ketimbang menjual hasil kepada pengusaha swasta.
Dirutnya, Drs. Simon K Wadhin begitu percaya diri dan meyakinkan pemerintah bahwa pihaknya bisa mendatangkan keuntungan besar bagi daerah.
Pemerintah pun menggelontorkan modal usaha Rp 1 miliar dari APBD Lembata 2004 dan Rp 1 miliar lagi dari APBD 2005. Dana itu dipakai untuk belanja sembako. Beras, tepung terigu, minyak goreng, bumbu masak, korek api, kecap, air kemasan sampai bahan bangunan besi beton dan semen.
Perusahaan juga membeli tunai satu unit pick up untuk operasional usaha dan pembelian kredit tiga unit kendaraan (dua dump truk untuk melayani usaha jual beli material bahan bangunan dan sebuah truk bak kayu digunakan angkutan penumpang dan barang ke kampung-kampung).
Sebagian dana lain digunakan membeli kebutuhan kantor seperti kursi, meja mewah buat direksi, karyawan, telepon sampai kontrak kantor tempat usaha. Pokoknya semua uang dari APBD dioptimalkan untuk modal usaha. Puluhan karyawan direkrut menjadi pegawai administrasi, tenaga sales sampai sopir dan kondektur. Mereka semua digaji dengan dana dari APBD.
Merintis pembelian sembako ke pusat produksi di Surabaya sangat mengembirakan. Sebab konsumen yang semula digeret lehernya dengan harga tinggi oleh pemilik toko dan kios, kini mendapatkan kepastian harga yang lebih baik. Para sales aktif menawarkan harga sembako itu dari rumah ke rumah. Sembako dikreditkan, pembayaran dicicil beberapa bulan. Sales menjadi jaminan kredit bagi perusahaan.
Seumur jagung akivitas sales dan penjualan sembako berlangsung lancar. Namun, sales bekerja tanpa gaji dan hanya mengandalkan fee dari akumulasi penjualannya. Dana yang ada di perusahaan pun terus tergerus sementara pemasukan belumlah jelas. Sales yang mengejar jumlah nasabah dan omset kredit dengan iming-iming fee menciptakan piutang bagi perusahaan.
Di lain pihak, manajemen makin kebablasan mengelola usaha dan uang. Pengeluaran uang tanpa prosedur dan tak jelas kepentingan dan kebutuhan dilakukan berulang kali. Kapan saja, 24 jam, manajamen bisa mengeluarkan uang untuk belanja dan biaya perjalanan. Utang pun bertumpuk dan landas bisnis mulai jebol. Stok sembako dan bahan bangunan di gudang ludes sementara uang cash tidak pernah mengalir ke kas perusahaan.
Satu-satunya jalan agar tetap bertahan hidup, yakni dengan membeli barang dari toko-toko di Lewoleba dan dijual kembali dengan cara kredit. PD yang semula menjadi distributor kini menjadi papapele. Beli di kios sebelah jual kepada pembeli. Begitulah seterusnya sampai semua barang habis.
Pada saat dililit utang dan penyelewenangan keuangan sekitar 2006, PD berubah haluan bisnis ke usaha sipan pinjam layaknya koperasi kredit. Namun apa yang terjadi? Manajemen dan semua karyawan ramai-ramai meminjam uang perusahaan untuk kebutuhan pribadi. Koperasi karyawan perusahaan didirikan dengan modal perusahaan. Uang itu akan dikembalikan kelak jika usaha koperasi meraih untung. Beberapa direksi menerima gaji double, karena merangkap jabatan dianggap lumrah.
Belum puas dengan koperasi. Manajemen membeli berbagai peralatan untuk usaha apotik. Kursi, meja, rak obat, lumpang untuk menghaluskan obat disediakan sampai blok kwitansi. Satu unit rumah warga di bilangan Tujuh Maret, Kelurahan Lewoleba dikontrak dibayar tunai belasan juta dan apoteker dikontrak selama setahun menerima tunai sekitar Rp 15 juta lebih. Uang kontrak rumah dan apoteker dibayar, tetapi usaha tak pernah ada.
Lebih tragis.Tanpa konsultasi, tanya sana-sini kepada pemerintah, manajemen PD mengaggunkan uang Rp 1 miliar ke bank pemerintah setempat untuk mendapatkan pinjaman Rp 950 juta yang digunakan untuk usaha namun semuanya kembali macet. Uang jaminan bank hangus menebus uang dipinjam. Impas. PD gulung tikar.
Eksekutif dan DPRD saling lempar tanggung jawab.
Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk menginsruksikan penghentian sementara sambil melakukan pembenahan. Seluruh direksi dinonaktifkan.
Pemda memasukkan orang baru dari pemerintahan, Antanasius Aur Amuntoda dan Agus Tangen Bani (direktur keuangan, serta direktur adiminitrasi dan umum). Misi utama menyelamatkan usaha dan mengiventarisasi seluruh masalah.
Kerja keras empat bulan lebih dan temuan penyimpangan mendorong DPRD membentuk panitia khusus (pansus) menyelidiki kasus PD Purin Lewo. Semua penyimpangan keuangan dan sepak terjang manajemen "dikuliti". Temuan pansus diserahkan kepada kejaksaan dan menetapkan tiga tersangka, Drs. Simon Wadhin, Drs. Ignas Hurek Making dan Agus Baro Uran. Audit BKP menemukan kerugian negara, meski nilainya berkurang dari temuan pansus DPRD sekitar Rp 300 juta lebih.
"Perusahaan tinggal nama waktu kami datang. Uang tunai hanya untuk biaya rutin. Piutang menumpuk dilakukan karyawan dan manajemen. Gaji karyawan dan cicilan kredit kendaraan tak bisa dibayar dan kendaraan ditarik dealer. Barang sisa jualan, kecap, ajinomoto yang kedaluwarsa saya bakar," kata mantan direktur keuangan, Sius Amuntoda.
Melakukan pembenahan total dan penyiapan masuk manajemen baru, Agus dan Sius minta suntikan dana Rp 1 miliar dari APBD. Dana itu dimanfaatkan membeli bahan bangunan dan aspal untuk seluruh kebutuhan proyek APBD di Lembata. Selain menjadi distributor Semen Kupang dan aspal. "Dalam tempo tiga bulan kita putar modal, bisa kumpulkan keuntungan Rp 100 juta. Dana itu dipakai cicil mobil yang sudah ditarik. Kalau tidak, semua aset hilang," kisah Sius dan Agus yang kini kembali ke BPKAD dan Dinkop Lembata.
Bulan Mei lalu, manajemen PD Purin Lewo mulai bangkit dialihkan kepada manajemen baru yang permanen. Tugas mereka melanjutkan dan meningkatkan usaha yang mulai bangkit. Mudah-mudahan tidak terantuk pada batu yang sama. (eugenius mo'a)
Pos Kupang edisi Senin, 20 Oktober 2008 halaman 1 http://www.pos-kupang.com
Manajemen keuangan, usaha dan organisasi amburadul. Tidak jelas pertanggungjawaban.
Tahap pertama usahanya, PD menjadi suplier sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako). Langkah itu ditempuh karena para usahawan, toko dan kios memainkan harga seenaknya. Unit usaha lain yang juga dikembangkan membeli hasil bumi dari petani.
Harga lebih bisa bersaing daripada usaha swasta, sehingga petani diuntungkan ketimbang menjual hasil kepada pengusaha swasta.
Dirutnya, Drs. Simon K Wadhin begitu percaya diri dan meyakinkan pemerintah bahwa pihaknya bisa mendatangkan keuntungan besar bagi daerah.
Pemerintah pun menggelontorkan modal usaha Rp 1 miliar dari APBD Lembata 2004 dan Rp 1 miliar lagi dari APBD 2005. Dana itu dipakai untuk belanja sembako. Beras, tepung terigu, minyak goreng, bumbu masak, korek api, kecap, air kemasan sampai bahan bangunan besi beton dan semen.
Perusahaan juga membeli tunai satu unit pick up untuk operasional usaha dan pembelian kredit tiga unit kendaraan (dua dump truk untuk melayani usaha jual beli material bahan bangunan dan sebuah truk bak kayu digunakan angkutan penumpang dan barang ke kampung-kampung).
Sebagian dana lain digunakan membeli kebutuhan kantor seperti kursi, meja mewah buat direksi, karyawan, telepon sampai kontrak kantor tempat usaha. Pokoknya semua uang dari APBD dioptimalkan untuk modal usaha. Puluhan karyawan direkrut menjadi pegawai administrasi, tenaga sales sampai sopir dan kondektur. Mereka semua digaji dengan dana dari APBD.
Merintis pembelian sembako ke pusat produksi di Surabaya sangat mengembirakan. Sebab konsumen yang semula digeret lehernya dengan harga tinggi oleh pemilik toko dan kios, kini mendapatkan kepastian harga yang lebih baik. Para sales aktif menawarkan harga sembako itu dari rumah ke rumah. Sembako dikreditkan, pembayaran dicicil beberapa bulan. Sales menjadi jaminan kredit bagi perusahaan.
Seumur jagung akivitas sales dan penjualan sembako berlangsung lancar. Namun, sales bekerja tanpa gaji dan hanya mengandalkan fee dari akumulasi penjualannya. Dana yang ada di perusahaan pun terus tergerus sementara pemasukan belumlah jelas. Sales yang mengejar jumlah nasabah dan omset kredit dengan iming-iming fee menciptakan piutang bagi perusahaan.
Di lain pihak, manajemen makin kebablasan mengelola usaha dan uang. Pengeluaran uang tanpa prosedur dan tak jelas kepentingan dan kebutuhan dilakukan berulang kali. Kapan saja, 24 jam, manajamen bisa mengeluarkan uang untuk belanja dan biaya perjalanan. Utang pun bertumpuk dan landas bisnis mulai jebol. Stok sembako dan bahan bangunan di gudang ludes sementara uang cash tidak pernah mengalir ke kas perusahaan.
Satu-satunya jalan agar tetap bertahan hidup, yakni dengan membeli barang dari toko-toko di Lewoleba dan dijual kembali dengan cara kredit. PD yang semula menjadi distributor kini menjadi papapele. Beli di kios sebelah jual kepada pembeli. Begitulah seterusnya sampai semua barang habis.
Pada saat dililit utang dan penyelewenangan keuangan sekitar 2006, PD berubah haluan bisnis ke usaha sipan pinjam layaknya koperasi kredit. Namun apa yang terjadi? Manajemen dan semua karyawan ramai-ramai meminjam uang perusahaan untuk kebutuhan pribadi. Koperasi karyawan perusahaan didirikan dengan modal perusahaan. Uang itu akan dikembalikan kelak jika usaha koperasi meraih untung. Beberapa direksi menerima gaji double, karena merangkap jabatan dianggap lumrah.
Belum puas dengan koperasi. Manajemen membeli berbagai peralatan untuk usaha apotik. Kursi, meja, rak obat, lumpang untuk menghaluskan obat disediakan sampai blok kwitansi. Satu unit rumah warga di bilangan Tujuh Maret, Kelurahan Lewoleba dikontrak dibayar tunai belasan juta dan apoteker dikontrak selama setahun menerima tunai sekitar Rp 15 juta lebih. Uang kontrak rumah dan apoteker dibayar, tetapi usaha tak pernah ada.
Lebih tragis.Tanpa konsultasi, tanya sana-sini kepada pemerintah, manajemen PD mengaggunkan uang Rp 1 miliar ke bank pemerintah setempat untuk mendapatkan pinjaman Rp 950 juta yang digunakan untuk usaha namun semuanya kembali macet. Uang jaminan bank hangus menebus uang dipinjam. Impas. PD gulung tikar.
Eksekutif dan DPRD saling lempar tanggung jawab.
Bupati Lembata, Drs. Andreas Duli Manuk menginsruksikan penghentian sementara sambil melakukan pembenahan. Seluruh direksi dinonaktifkan.
Pemda memasukkan orang baru dari pemerintahan, Antanasius Aur Amuntoda dan Agus Tangen Bani (direktur keuangan, serta direktur adiminitrasi dan umum). Misi utama menyelamatkan usaha dan mengiventarisasi seluruh masalah.
Kerja keras empat bulan lebih dan temuan penyimpangan mendorong DPRD membentuk panitia khusus (pansus) menyelidiki kasus PD Purin Lewo. Semua penyimpangan keuangan dan sepak terjang manajemen "dikuliti". Temuan pansus diserahkan kepada kejaksaan dan menetapkan tiga tersangka, Drs. Simon Wadhin, Drs. Ignas Hurek Making dan Agus Baro Uran. Audit BKP menemukan kerugian negara, meski nilainya berkurang dari temuan pansus DPRD sekitar Rp 300 juta lebih.
"Perusahaan tinggal nama waktu kami datang. Uang tunai hanya untuk biaya rutin. Piutang menumpuk dilakukan karyawan dan manajemen. Gaji karyawan dan cicilan kredit kendaraan tak bisa dibayar dan kendaraan ditarik dealer. Barang sisa jualan, kecap, ajinomoto yang kedaluwarsa saya bakar," kata mantan direktur keuangan, Sius Amuntoda.
Melakukan pembenahan total dan penyiapan masuk manajemen baru, Agus dan Sius minta suntikan dana Rp 1 miliar dari APBD. Dana itu dimanfaatkan membeli bahan bangunan dan aspal untuk seluruh kebutuhan proyek APBD di Lembata. Selain menjadi distributor Semen Kupang dan aspal. "Dalam tempo tiga bulan kita putar modal, bisa kumpulkan keuntungan Rp 100 juta. Dana itu dipakai cicil mobil yang sudah ditarik. Kalau tidak, semua aset hilang," kisah Sius dan Agus yang kini kembali ke BPKAD dan Dinkop Lembata.
Bulan Mei lalu, manajemen PD Purin Lewo mulai bangkit dialihkan kepada manajemen baru yang permanen. Tugas mereka melanjutkan dan meningkatkan usaha yang mulai bangkit. Mudah-mudahan tidak terantuk pada batu yang sama. (eugenius mo'a)
Pos Kupang edisi Senin, 20 Oktober 2008 halaman 1 http://www.pos-kupang.com