Pen Bete dan Laok Tunu

Oleh Sipri Seko

LIBURAN Idul Fitri yang baru berlalu membawa berkah bagi saya. Setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi kampung halaman di Timor Tengah Selatan (TTS), saya berkesempatan untuk berlibur ke sana. Ada beberapa daerah yang saya kunjungi. Namun, kenangan masa kecil di Bikium lebih menggoda untuk dikenang.

Bikium, kampung kecil di Desa Biloto, Kecamatan Mollo Selatan, Kabupaten TTS (sekitar 7 km arah utara Kota SoE), memang tidak begitu terkenal. Dia tidak setenar Boti, Bu'at atau kampung lain di TTS yang masuk dalam peta pariwisata.

Tapi, yang membuat Bikium beda dengan kampung lainnya adalah karena dia pernah menjadi pusat pemerintahan kevetoran (usif/raja) Mella yang meliputi wilayah Mollo Selatan. Statusnya sama dengan Ajaobaki (Mollo Utara/kevetoran Oematan), Niki- Niki (Amanuban Tengah/kevetoran Nope) dan sebagainya.

Di Bikium terdapat sebuah sekolah dasar, yakni SD GMIT Biloto yang didirikan 1 Oktober 1946 oleh Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (Yupenkris) TTS. Saat itu atap sekolah dari alang-alang, dinding dari bambu yang dibelah (gedek) dan berlantai tanah. Meski demikian, dia menjadi satu-satunya sekolah di daerah yang sudah dimekarkan menjadi empat desa.

Anak-anak dari Kesetnana, Siso, Bisene dan Salmel, harus rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencapai SD GMIT Biloto dengan berjalan kaki. Mungkin dari kebiasaan berjalan kaki naik turun gunung inilah sehingga daerah itu melahirkan atlet atletik nasional, Welmince Sonbay yang pernah mengharumkan nama Indonesia di pentas internasional.

Yang membuat saya masih terkesan hingga saat ini adalah kebiasaan para murid membawa bekal makanan ke sekolah. Karena harus menempuh perjalanan jauh ke sekolah, maka murid-murid dianjurkan gurunya membawa makanan. Ada banyak jenis mulai dari jagung, ubi-ubian yang dibakar (laok tunu) dan nasi. Minuman mulai dari air putih hingga susu sapi yang disimpan dalam tuke --wadah dari bambu. Saat itu hampir semua warga memiliki sapi lebih dari lima ekor yang kini tinggal kenangan karena mulai punah.

Mereka yang membawa bekal nasi sangat sedikit. Kala itu, yang biasa makan nasi hanya guru, kepala desa ataupun usif. Kalaupun masyarakat kebanyakan punya beras, mereka akan mengatakan tidak kenyang karena belum makan jagung. Nasi biasanya berasal dari beras merah yang ditumbuk dan diisi dalam wadah yang dalam bahasa daerah setempat disebut snipi (keranjang tertutup yang terbuat dari anyaman daun lontar atau gewang). Lauknya daging sapi yang sudah diasapi (daging se'i) ditambah sedikit sambal. Daging se'i ini biasanya awet disimpan sampai berbulan-bulan bahkan ada yang lebih dari satu tahun.

Tapi sama seperti orang Timor kebanyakan, makanan favorit para murid adalah jagung. Yang unik, jagung tersebut tidak dimasak atau direbus tapi digoreng atau biasa disebut pen seka/pen bete (jagung goreng). Jagung goreng ini akan disimpan dalam botol yang diisi air ditambah sedikit garam.


Menurut kebiasaan warga setempat -- mungkin juga di daerah lain di TTS -- jagung goreng yang disimpan seperti ini lebih awet ketimbang jagung yang direbus lalu disimpan dalam rantang. Pen bete, meski disimpan hingga dua hari, masih tetap layak dikonsumsi. Selain itu, dengan makan jagung goreng mereka bisa tahan lapar meski hanya sekali makan dalam sehari.

Ada satu nilai lebih yang bisa dipetik oleh generasi sekarang dari kenangan masa kecil ini. Dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer, makan pen bete dan laok tunu, anak-anak zaman dulu tetap disiplin ke sekolah. Buktinya dari SD GMIT Biloto banyak lahir sarjana yang sudah teruji kualitasnya baik itu sebagai politisi, pegawai pemerintahan maupun pengusaha.

Kini, Bikium yang berada di pinggiran Kota SoE berubah. Gedung SD GMIT Biloto pun tidak lagi beratap alang-alang, berdinding bambu dan berlantai tanah, tapi sudah dibangun permanen. Murid-muridnya pun tak perlu berjalan kaki telanjang ke sekolah, karena jalanannya sudah diaspal mulus yang dilayani angkutan kota dan puluhan ojek sepeda motor.

Mereka juga tak perlu membawa botol yang diisi pen bete atau snipi yang diisi laok tunu dan nasi beras tumbuk. Nasi kini bukan lagi makanan mewah. Jarak rumah ke sekolah pun sudah makin dekat. Di Kesetnana, Siso, Bisene, dan Salmel juga sudah memiliki sekolah sendiri.

Yang tidak dijumpai lagi di sana adalah anak-anak yang membawa susu sapi untuk meminumnya di sekolah. Sapi kini sudah hampir punah. Daging se'i pun harus dibeli di toko. Hamparan padang kini hanya ditumbuhi ilalang kering yang mudah terbakar di musim kemarau, tanpa sapi yang merumput bebas. Kebanggaan masa silam bila minum susu sapi di sekolah kini sudah digantikan oleh air mineral atau minuman bersoda seperti Coca Cola dan lain-lain.

Semua memang ingin perubahan. Semua tentu ingin tidak mau dikatakan kolot hanya karena masih suka bawa pen bete dan laok tunu ke sekolah. Namun, perubahan saat ini hendaknya jangan membuat kita lupa bahwa ada kenangan masa silam yang akan menjadi kebanggaan bila dimodifikasi untuk membangun kampung halaman tercinta. (sipriseko@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Sabtu, 11 Oktober 2008 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes