DI bawah rimbunan pohon kakao dekat rumahnya di Nitakloang, Kakek Andreas Lesu (89) mengenang masa lalu. Untuk menghidupi keluarga, warga Desa Nitakloang, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka tersebut menggarap sawah di Nangarasong sejak akhir 1970-an. Lahan miliknya tidak seberapa luas. Kurang lebih 1 hektar.
Untuk mencapai Nangarasong ketika itu, kuda merupakan andalan satu-satunya. Dari rumah dia menyusuri jalan lewat Ledalero, kampung Guru dan menerobos jalan tikus hingga masuk Kota Maumere. Stasi perjalanan berikutnya, Maumere- Nangarasong sejauh 16 km. Kakek Andreas menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk mencapai Nangarasong.
Sebagai bekal dalam perjalanan, Andreas bawa ketupat atau roti. Sampai di Patisomba, km 15 dari Maumere, Andreas Lesu beli ikan untuk persediaan di pondok. Tiga minggu lamanya dia menggarap sawah di Nangarasong. Minggu keempat baru kembali ke Nitakloang. Tiga pekan di Nangarasong, seminggu di Nita. Jika musim panen tiba, masa tinggal di Nangarasong bisa lebih lama. Begitulah rutinitas sang kakek pada masa itu.
Sekitar tahun 1984 pemerintah Sikka merintis pembangunan jalan yang menghubungkan Kota Maumere dengan daerah pesisir utara wilayaj tersebut. Jalan terbuka, kendaraan mulai bergerak dengan sendirinya. Namun, perjalanan tidaklah mudah. Waktu tempuh ke Nangarasong dua setengah hingga tiga jam karena kondisi jalan berbatu-batu. Aspal hanya sampai di Wuring dan sekitar kawasan Wailiti, lokasi pabrik pemintal kapas yang kini tinggal kenangan.
"Kalau melihat kondisi sekarang, saya bangga sekali. Saya jengkel kalau anak-anak malas kerja sawah karena perjalanan ke Nangarasong hanya 30 menit. Mereka bukan naik kuda tapi sudah naik oto dan pakai motor (sepeda motor). Bisa pergi pulang setiap hari ke Nita," kata kakek Andreas yang masih terlihat tangguh dalam usia beliau yang tidak muda lagi.
***
KAKEK Andreas Lesu berkata tentang perubahan yang hadir oleh pembangunan. Wilayah utara Kabupaten Sikka, Ende, Nagekeo dan Ngada dewasa ini tidak terisolir lagi. Kemajuan tranportasi darat bisa dilukiskan sangat pesat kendati masih banyak kekurangan yang perlu dibenah. Pos Kupang menyaksikan kemajuan itu dalam perjalanan selama dua hari tanggal 17 dan 18 September 2008.
Aspal mulus tersaji apik sejak Kota Maumere. Perjalanan ke Nangarasong nyaman dan amat lekas. Kendaraan roda dua maupun roda empat di jalur itu sangat ramai. Datang dan pergi mengangkut manusia dan barang. Perjalanan menyusur utara Flores jauh dari rasa bosan. Eksotisme alam pesisir sungguh memanjakan mata. Nangarasong, Magepanda, Sokolago, Mulawatu Baru, Watu Manu, Kota Baru, Ndondo menyambut dengan keindahan alami. Sawah hijau berlatar bukit-bukit tandus. Laut membiru. Di bulan September, bulir padi menguning. Siap panen. Sebagian petani sedang menanam. Sekelompok bocah bermain dengan kambing. Kerbau yang kepanasan, berkubang ria.
Jalan trans utara Sikka-Ende rupanya sedang berbenah. Di kampung Ratebobi, puluhan orang pria muda dan setengah baya sedang menggali drainase. Para pekerja itu sudah merampungkan jalan hotmix. Jalan agak mendaki kemudian masuk kawasan kampung Mulawatu Baru. Jalan di Mulawatu lebar dan mulus.
Perjalanan berlanjut. Kurang dari satu setengah jam sudah tiba di depan Kantor dan Rumah Dinas Camat Kota Baru. Camat Drs. Kornelis Wara ramah menyambut. Tak terasa sudah masuk wilayah Kabupaten Ende. Magepanda Sikka sudah jauh.
Jarak Maumere-Kota Baru sekitar 43 km. "Kalau jalan santai dari sini ke Maumere, saya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Kalau ingin cepat, bisa 45 menit dengan mobil," kata Camat Kornelis Wara. Camat biasa mengisi bensin di SPBU Maumere untuk kebutuhan seminggu atau lebih.
Wara yang lahir dan tumbuh besar di Kota Baru memberi kesaksian mirip dengan Kakek Andreas Lesu. Dulu dia jalan kaki pergi-pulang ke Maumere untuk sekolah. "Saya SMP di Maumere. Pilihan satu-satunya adalah jalan kaki kalau tidak ada kapal motor yang melayari Maumere-Kota Baru," katanya.
Secara teritori, Kota Baru bagian dari Kabupaten Ende. Namun, untuk akses ekonomi, pendidikan dan lainnya, mereka lekat dengan Sikka. Bisa dimengerti karena jarak Kota Baru - Ende adalah 119 km. Dua kali lipat jarak ke Maumere.
***
TRANS utara Flores tidak seluruhnya mulus. Masih ada sejumlah titik kondisinya buruk yaitu di wilayah Kabupaten Ende dan Nagekeo. Selepas Kota Baru, kita akan melewati jalan rusak belasan kilometer. Dibutuhkan kehati-hatian saat berkendara, baik dengan sepeda motor maupun mobil.
Jalan rusak antara lain di kawasan Ndondo hingga Aewora, Kecamatan Maurole. Jarak Kota Baru-Maurole kurang lebih 26 km. Lebih dari setengah kondisi jalan berlubang. Seperti disaksikan Pos Kupang, Rabu (17/9/2008) petang, tiga pengendara sepeda motor dari arah Ndondo menuju Kota Baru nyaris jatuh saat menghindari jalan berlubang, tak jauh dari Kampung Tana Ria, Desa Ndondo.
Kelegaan terasa memasuki wilayah Aewora. Jalan di sana sudah beraspal. Perjalanan Aewora-Maurole kembali nyaman dan cepat. Selepas ibu kota kecamatan Maurole tersebut, setiap pengendara kembali disuguhi jalan rusak berlubang serta debu tanah merah yang beterbangan. Titik kerusakan mulai dari ujung Desa Mausambi hingga Ropa di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.
Jalur Ropa hingga pertigaan Sokoria kembali mulus. Menuju Maukaro, Kabupaten Nagekeo pemandangan sama terulang. Aspal nyaris tak berbekas. Jalan lubang dan berdebu. Di wilayah Nagekeo, jalan yang sedang dibenahi saat ini adalah jalur Mbay-Riung (Ngada).
Selain pengaspalan dan perbaikan sarana penunjang pada sejumlah titik yang rusak, kebutuhan trans utara Flores adalah pelebaran ruas jalan karena arus kendaraan di jalur itu terus meningkat. Saban hari ada bus yang melayani rute Maumere- Mbay PP dan sekitar 20-an unit truk dan mobil bak terbuka (pick-up) mengangkut hasil bumi sepanjang jalur Maumere- Ropa-Welamosa.
Saat istirahat di Pantai Ropa, Kamis (18/9/2008) pagi, Pos Kupang menyaksikan bus Sinar Rembulan dari Mbay ke Maumere penuh dengan manusia dan barang. Enam penumpang pria bahkan duduk manis di tempat bagasi. "Musim kemarau tidak masalah. Tapi kalau musim hujan, tidak banyak oto (bus, truk) yang lewat sini," kata Markus Woge, warga Pulau Palue yang ditemui di Pasar Ropa. Kiranya ini pekerjaan rumah bagi pemimpin Sikka, Ende dan Nagekeo yang baru. (dion db putra)
Pos Kupang edisi Rabu, 8 Oktober 2008 halaman 18
Untuk mencapai Nangarasong ketika itu, kuda merupakan andalan satu-satunya. Dari rumah dia menyusuri jalan lewat Ledalero, kampung Guru dan menerobos jalan tikus hingga masuk Kota Maumere. Stasi perjalanan berikutnya, Maumere- Nangarasong sejauh 16 km. Kakek Andreas menghabiskan waktu sekitar 3 jam untuk mencapai Nangarasong.
Sebagai bekal dalam perjalanan, Andreas bawa ketupat atau roti. Sampai di Patisomba, km 15 dari Maumere, Andreas Lesu beli ikan untuk persediaan di pondok. Tiga minggu lamanya dia menggarap sawah di Nangarasong. Minggu keempat baru kembali ke Nitakloang. Tiga pekan di Nangarasong, seminggu di Nita. Jika musim panen tiba, masa tinggal di Nangarasong bisa lebih lama. Begitulah rutinitas sang kakek pada masa itu.
Sekitar tahun 1984 pemerintah Sikka merintis pembangunan jalan yang menghubungkan Kota Maumere dengan daerah pesisir utara wilayaj tersebut. Jalan terbuka, kendaraan mulai bergerak dengan sendirinya. Namun, perjalanan tidaklah mudah. Waktu tempuh ke Nangarasong dua setengah hingga tiga jam karena kondisi jalan berbatu-batu. Aspal hanya sampai di Wuring dan sekitar kawasan Wailiti, lokasi pabrik pemintal kapas yang kini tinggal kenangan.
"Kalau melihat kondisi sekarang, saya bangga sekali. Saya jengkel kalau anak-anak malas kerja sawah karena perjalanan ke Nangarasong hanya 30 menit. Mereka bukan naik kuda tapi sudah naik oto dan pakai motor (sepeda motor). Bisa pergi pulang setiap hari ke Nita," kata kakek Andreas yang masih terlihat tangguh dalam usia beliau yang tidak muda lagi.
***
KAKEK Andreas Lesu berkata tentang perubahan yang hadir oleh pembangunan. Wilayah utara Kabupaten Sikka, Ende, Nagekeo dan Ngada dewasa ini tidak terisolir lagi. Kemajuan tranportasi darat bisa dilukiskan sangat pesat kendati masih banyak kekurangan yang perlu dibenah. Pos Kupang menyaksikan kemajuan itu dalam perjalanan selama dua hari tanggal 17 dan 18 September 2008.
Aspal mulus tersaji apik sejak Kota Maumere. Perjalanan ke Nangarasong nyaman dan amat lekas. Kendaraan roda dua maupun roda empat di jalur itu sangat ramai. Datang dan pergi mengangkut manusia dan barang. Perjalanan menyusur utara Flores jauh dari rasa bosan. Eksotisme alam pesisir sungguh memanjakan mata. Nangarasong, Magepanda, Sokolago, Mulawatu Baru, Watu Manu, Kota Baru, Ndondo menyambut dengan keindahan alami. Sawah hijau berlatar bukit-bukit tandus. Laut membiru. Di bulan September, bulir padi menguning. Siap panen. Sebagian petani sedang menanam. Sekelompok bocah bermain dengan kambing. Kerbau yang kepanasan, berkubang ria.
Jalan trans utara Sikka-Ende rupanya sedang berbenah. Di kampung Ratebobi, puluhan orang pria muda dan setengah baya sedang menggali drainase. Para pekerja itu sudah merampungkan jalan hotmix. Jalan agak mendaki kemudian masuk kawasan kampung Mulawatu Baru. Jalan di Mulawatu lebar dan mulus.
Perjalanan berlanjut. Kurang dari satu setengah jam sudah tiba di depan Kantor dan Rumah Dinas Camat Kota Baru. Camat Drs. Kornelis Wara ramah menyambut. Tak terasa sudah masuk wilayah Kabupaten Ende. Magepanda Sikka sudah jauh.
Jarak Maumere-Kota Baru sekitar 43 km. "Kalau jalan santai dari sini ke Maumere, saya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Kalau ingin cepat, bisa 45 menit dengan mobil," kata Camat Kornelis Wara. Camat biasa mengisi bensin di SPBU Maumere untuk kebutuhan seminggu atau lebih.
Wara yang lahir dan tumbuh besar di Kota Baru memberi kesaksian mirip dengan Kakek Andreas Lesu. Dulu dia jalan kaki pergi-pulang ke Maumere untuk sekolah. "Saya SMP di Maumere. Pilihan satu-satunya adalah jalan kaki kalau tidak ada kapal motor yang melayari Maumere-Kota Baru," katanya.
Secara teritori, Kota Baru bagian dari Kabupaten Ende. Namun, untuk akses ekonomi, pendidikan dan lainnya, mereka lekat dengan Sikka. Bisa dimengerti karena jarak Kota Baru - Ende adalah 119 km. Dua kali lipat jarak ke Maumere.
***
TRANS utara Flores tidak seluruhnya mulus. Masih ada sejumlah titik kondisinya buruk yaitu di wilayah Kabupaten Ende dan Nagekeo. Selepas Kota Baru, kita akan melewati jalan rusak belasan kilometer. Dibutuhkan kehati-hatian saat berkendara, baik dengan sepeda motor maupun mobil.
Jalan rusak antara lain di kawasan Ndondo hingga Aewora, Kecamatan Maurole. Jarak Kota Baru-Maurole kurang lebih 26 km. Lebih dari setengah kondisi jalan berlubang. Seperti disaksikan Pos Kupang, Rabu (17/9/2008) petang, tiga pengendara sepeda motor dari arah Ndondo menuju Kota Baru nyaris jatuh saat menghindari jalan berlubang, tak jauh dari Kampung Tana Ria, Desa Ndondo.
Kelegaan terasa memasuki wilayah Aewora. Jalan di sana sudah beraspal. Perjalanan Aewora-Maurole kembali nyaman dan cepat. Selepas ibu kota kecamatan Maurole tersebut, setiap pengendara kembali disuguhi jalan rusak berlubang serta debu tanah merah yang beterbangan. Titik kerusakan mulai dari ujung Desa Mausambi hingga Ropa di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende.
Jalur Ropa hingga pertigaan Sokoria kembali mulus. Menuju Maukaro, Kabupaten Nagekeo pemandangan sama terulang. Aspal nyaris tak berbekas. Jalan lubang dan berdebu. Di wilayah Nagekeo, jalan yang sedang dibenahi saat ini adalah jalur Mbay-Riung (Ngada).
Selain pengaspalan dan perbaikan sarana penunjang pada sejumlah titik yang rusak, kebutuhan trans utara Flores adalah pelebaran ruas jalan karena arus kendaraan di jalur itu terus meningkat. Saban hari ada bus yang melayani rute Maumere- Mbay PP dan sekitar 20-an unit truk dan mobil bak terbuka (pick-up) mengangkut hasil bumi sepanjang jalur Maumere- Ropa-Welamosa.
Saat istirahat di Pantai Ropa, Kamis (18/9/2008) pagi, Pos Kupang menyaksikan bus Sinar Rembulan dari Mbay ke Maumere penuh dengan manusia dan barang. Enam penumpang pria bahkan duduk manis di tempat bagasi. "Musim kemarau tidak masalah. Tapi kalau musim hujan, tidak banyak oto (bus, truk) yang lewat sini," kata Markus Woge, warga Pulau Palue yang ditemui di Pasar Ropa. Kiranya ini pekerjaan rumah bagi pemimpin Sikka, Ende dan Nagekeo yang baru. (dion db putra)
Pos Kupang edisi Rabu, 8 Oktober 2008 halaman 18