Jika Dapur tak Lagi Berasap

Aceh selayang pandang (2)

ENAK dieja, mudah diingat. Anjong Mon Mata. Nama aula utama di kompleks Kantor Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Banda Aceh. Tempat yang bersejarah. Sudah banyak peristiwa penting, baik berskala lokal, nasional maupun internasional berlangsung di tempat itu. Di sini pula bergulir acara pembukaan Kongres XXII Persatuan Wartawan Indonesia, 28 Juli 2008.

Kongres ke-22 PWI dibuka Gubernur NAD, drh. Irwandi Yusuf, M.Sc. Seperti dikatakan Ketua Umum PWI Pusat, Drs. Tarman Azzam, kehormatan tersebut diberikan kepada Kepala Pemerintahan Aceh karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhalangan hadir. Sudah menjadi tradisi, kongres PWI yang merupakan forum tertinggi organisasi profesi kewartawanan tertua di Indonesia tersebut selalu dibuka oleh Presiden RI.

Presiden Yudhoyono mengutus Menteri Komunikasi dan Informatika, M Nuh ke Aceh serta tiga orang menteri lainnya. Namun, Tarman Azzam menegaskan kehormatan membuka kongres PWI diberikan kepada Irwandi Yusuf, Gubernur NAD pertama hasil pilkada langsung. Dia juga gubernur pertama di Indonesia yang masuk gelanggang pilkada via jalur independen (non partai).

Presiden Yudhoyono tidak hadir di Aceh karena pada saat yang sama mengikuti acara di Denpasar-Bali. Presiden kemudian mengundang seluruh delegasi kongres PWI bertemu dengan Presiden dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara Jakarta 31 Juli 2008.

Irwandi Yusuf. Nama yang tidak asing bagi publik Indonesia dan komunitas internasional. Di hadapan para tokoh pers, pemimpin media massa dan sekitar 300 wartawan senior dari 33 propinsi di tanah air, Irwandi Yusuf mendapatkan momentum yang elok untuk menceritakan kondisi terkini Aceh.

Mantan Koordinator Juru Runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh kelahiran Bireun, 2 Agustus 1960 itu piawai bicara di atas podium. Kalimatnya sedeharna tapi runut. Tegas dan lugas. Langsung ke inti soal. Rekan saya, Key Tokan Abdul Asis yang juga Kepala LKBN ANTARA Kupang spontan berkomentar, "Orang ini memang punya aura pemimpin."


Setidaknya dua poin yang dikatakan Irwandi Yusuf dalam sambutannya. Pertama, tentang keamanan di NAD. Kedua, pembangunan propinsi itu pasca tsunami 2004 dan disepakatinya MoU Damai antara GAM-Pemerintah RI tanggal 15 Agustus 2005 serta diberlakukannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu memberi kebebasan bagi Aceh menata kehidupan dalam segala bidang.

"Sepotong jarum yang jatuh di sini, terdengar di luar Aceh sebagai ledakan bom. Sekecil apapun peristiwa di Aceh menjadi berita besar di luar sana. Kami tidak heran. Aceh masih menjadi perhatian media massa nasional maupun internasional. Tapi ketahuilah bahwa Pemerintahan Aceh punya komitmen jelas untuk menciptakan situasi keamanan yang kondusif bagi siapa pun," kata Irwandi Yusuf.

Irwandi Yusuf yang bersama Muhammad Nazar, S.Ag dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NAD 8 Februari 2007, menegaskan, Aceh bukan lagi wilayah yang mencekam dan menakutkan seperti pada masa GAM. Yang terjadi saat ini adalah peristiwa kriminalitas biasa -- sesuatu yang juga lazim terjadi di daerah lain Indonesia seperti perkelahian yang bisa menyebabkan kematian atau peristiwa kriminalitas lainnya.

"Masih kuat kecenderungan media massa membesar-besarkan kejadian di Aceh. Saya katakan tidak ada lagi GAM," kata dokter hewan tersebut disambut aplaus meriah. Sambil mengingatkan bahwa tidak ada manusia yang sempurna di dunia,
Alumni College of Veterinary Medicine State University Amerika Serikat itu berkata, "Wartawan banyak salahnya, karena itu perlu dikoreksi."

Tentang pembangunan Aceh, Irwandi Yusuf antara lain menggarisbawahi pembangunan ekonomi. Sekilas dia memaparkan tentang visi dan misi pemerintahannya untuk membawa Aceh Menuju Tahun 2012 yang Adil Dalam Kemakmuran, Makmur Dalam Keadilan. "Sebelum mengakhiri sambutan ini, saya harapkan kongres PWI di Banda Aceh berlangsung lancar, tertib dan demokratis. Kalau sampai kongres PWI di Aceh ricuh, bakal jadi berita besar," kata Irwandi Yusuf disambut gelak tawa hadirin.

Kongres XXII PWI tanggal 28-29 Juli 2008 alot dan melelahkan. Sempat dikhawatirkan terjadi deadlock. Sidang-sidang kongres berlangsung dari pagi hingga dini hari. Sidang paling "panas" saat pemilihan Ketua Umum PWI untuk menggantikan Tarman Azzam yang sudah memimpin PWI dua periode.

Tujuh nama calon maju bersaing. Lima orang sampai tahap penetapan calon dan empat kandidat bertarung dalam pemilihan langsung. Margiono akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PWI periode 2008-2013 setelah mengumpulkan 58 suara dari total 95 suara yang berhak memilih. Sementara tiga pesaing lainnya, Parni Hadi dan Wina Armada masing-masing 13 suara serta Dhimam Abror meraih 11 suara. Proses pemungutan suara mulai pukul 22.30 WIB, Selasa 29 Juli 2008 itu diikuti 34 cabang PWI se-Indonesia. "Selamat untuk PWI. Wartawan ternyata bisa memberi contoh bagaimana bersikap demokratis," demikian Gubernur Irwandi Yusuf ketika menutup kongres itu, Rabu (30/7/2008) dinihari WIB.

Irwandi lagi-lagi memberi kejutan. Mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai kado terbaik bagi wartawan Indonesia dari "bumi tsunami". Inilah kata-kata Irwandi yang demikian lugas. "Organisasi PWI harus bisa memperjuangkan gaji wartawan Indonesia minimal empat kali lebih besar dari upah minimum regional (UMR), sehingga kesejahteraan wartawan terjamin. Selama ini wartawan Indonesia kerap menulis tentang perjuangan buruh menuntut hak, tentang kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri, tapi ternyata masih banyak yang berpenghasilan di bawah UMR. Seharusnya wartawan berjuang untuk menaikkan gaji mereka, karena akan sulit sekali menjadi seorang yang profesional jika dapur di rumah tak berasap."

Profesionalisme dan dapur tak berasap. Pesan berisi dari Serambi Indonesia. Titipan seorang Irwandi Yusuf yang menjadi pekerjaan rumah segenap komunitas wartawan Indonesia. (dion db putra/habis)

Pos Kupang edisi Rabu 27 Agustus 2008 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes