Air Si 'Perambah': Musibah atau Berkah?

Oleh H Suparno, S.Pd.I
Warga Batu Kota, Malalayang
Manado

TERLALU kecil. Jangan, terlalu besar. Jangan, yang sedang-sedang saja. Demikian petikan lagu yang dipopulerkan penyanyi dangdut Vetty Vera di awal 1990-an.

Pada umumnya, segala sesuatu yang bersifat ekstrem cenderung merugikan. Terlalu sedikit pekerjaan membuat orang jadi bermalas-malasan; sebaliknya, terlalu banyak pekerjaan membuat mereka stres. Terlalu banyak panas merugikan para petani karena sawahnya kekeringan dan membuat sumur-sumur warga juga kehabisan air; sebaliknya, terlalu banyak hujan juga merugikan mereka yang bekerja di luar ruangan; bahkan lebih jauh lagi, menyebabkan banjir bandang seperti yang menimpa Manado seminggu lalu dan dampaknya yang luar biasa masih terasa hingga hari ini.

Pagi itu, Rabu (15/1/2014), empat sungai yang melintasi Kota Manado sudah mulai meluap akibat hujan deras sepanjang malam di hulu-hulu sungai, termasuk di Manado. Sebagian masyarakat Manado, terutama di daerah rawan banjir seperti Pakowa, Komo, Dendengan, Ternate, dan Tanjung pun sudah mulai bersiap dan mengangkati barang-barang rumah tangga di atas meja atau tempat lain yang lebih tinggi untuk mengantisipasi banjir yang sering menghampiri rumah-rumah mereka di kala musim hujan deras yang lama. Namun apa lacur, sekitar pukul 11-an (23.00), air sungai bercampur lumpur yang datang menghantam justru meninggi hingga 3 meter.

Malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih, habislah semua harta benda yang telah dikumpulkan dengan susah payah selama ini. Bersyukur masih banyak yang bisa menyelamatkan diri dan diselamatkan, meskipun hanya tertinggal baju di badan.

Hari itu, air si 'perambah' yang biasanya menjadi penopang hidup manusia sehari-hari bermetaformosis menjadi monster musibah. Kota Manado bagaikan lautan dalam waktu yang sangat singkat. Semua mata tercengang melihat besarnya kuasa si 'perambah' menenggelamkan kota kebanggaan Provinsi Sulawesi Utara ini. Selama ini, kalau toh ada banjir, tidak sebesar seperti sekarang.

Para tentara berbaju loreng yang biasanya perkasa di medan laga pun terpaksa takluk di hadapan si 'perambah' raksasa. Truk-truk hijau memang meraung-raung di jalan-jalan utama Kota Manado, memuntahkan ratusan serdadu ke titik-titik yang paling parah dihantam banjir bandang. Namun yang bisa mereka perbuat hanyalah menyelamatkan masyarakat yang terjebak di atap-atap rumah dengan menggunakan tali, pelampung, dan perahu karet. Hari itu, si 'perambah' benar-benar menunjukkan kuasanya.

Pascabencana, bantuan segera mengalir dari segala penjuru kota, bahkan dari luar Kota Manado, termasuk dari pusat pemerintahan di Jakarta. Segera, berbagai pihak menggalang dana untuk membantu korban bencana. Namun, tak sedikit pula yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Banyak korban yang mengeluh tak memperoleh bantuan apapun meskipun posko-posko bencana dadakan tersebar rata sampai di pelosok Kota Manado. Mereka yang tak sempat mengantre karena harus membersihkan rumahnya atau tak kuat mengantre di posko-posko bencana karena kondisi badan yang rapuh pun hanya bisa melongo meratapi nasib, sambil melihat wajah-wajah gembira yang membawa berdus-dus, berplastik-plastik bantuan, bahkan meskipun sebagian dari mereka bukanlah korban banjir.

Hampir di setiap ruas jalanan Kota Manado dapat ditemui serombongan pemuda yang membawa karton-karton untuk meminta-minta sumbangan kepada para penumpang/pengemudi kendaraan roda empat yang tidak akan pernah tahu apakah sumbangannya benar-benar diberikan kepada para korban bencana atau justru dipakai untuk berpesta minuman keras di malam harinya. Inilah realita yang harus diterima oleh seluruh warga Manado akibat penanganan bencana alam yang kurang terkoordinasi.

Inilah saatnya si 'perambah' berperan ganda: sebagai musibah sekaligus pembawa "berkah". Penanganan pascabencana yang terpadu dan terkoordinasi dengan baik tentunya sangat membantu para korban bencana; sebaliknya, kesemerawutan penanganan justru hanya membawa "berkah" bagi para oportunis terkutuk, yang menari-nari di atas penderitaan orang banyak.
Yang tampak di lapangan saat ini hanyalah para serdadu yang masih terus bergelut dengan sampah dan lumpur di jalanan-jalanan sempit, para korban dan 'mengaku' korban yang setiap saat mengantre di posko-posko bencana, dan berbagai lembaga yang berbagi bantuan di lokasi-lokasi tertentu yang mereka 'kenal'. Bersyukur bagi mereka yang berada di pinggir jalan sehingga mudah dijangkau kendaraan pembawa bantuan atau dekat posko bencana; sedangkan yang jauh dan tersudut, terimalah nasib ini apa adanya.

Seandainya saja penanganan bencana terkoordinasi secara terpadu, maka setiap korban akan dapat terdeteksi dengan lebih cermat dan tepat sehingga tidak perlu terjadi kecemburuan yang berdampak pada syahwat untuk menyalahkan dan berburuk sangka terhadap pemerintah.
Bagaimanapun juga, terima kasih kepada semua pihak yang telah peduli dan membantu bencana ini. Semoga Allah SWT memberkahi dan menambah rezekinya lebih dari yang telah dikeluarkan. Amin.(*)

Sumber: Tribun Manado, 25 Januari 2014 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes