Belajar dari Burung

Oleh Karolina Augustien Kaunang
Pendeta GMIM, Dekan Fakultas Teologi UKIT Tomohon
MINGGU lalu, tepatnya pada Jumat 10 Januari 2014, saya dan anakku, Lingkan, hendak 'membongkar' pohon Natal dari pohon den asli, yang kami letakkan sejak minggu kedua Desember 2013 di luar, di samping ruang tamu. Pohon den berukuran sedang. Ternyata di pohon ini sudah ada sarang burung. Di dalamnya terdapat 3 butir telur.

Kami saling bertanya, apakah kami akan membongkar pohon ini sekarang atau nanti, sebab kasihan ada sarang dengan butir telur di dalamnya. Tetapi, sepertinya aneh kalau pohon ini tetap berada di sini, sebab Natal sudah lewat, Tahun Baru sudah hari ke-10. Kami putuskan memindahkan sarang burung itu di tempat yang berdekatan yaitu di bunga yang berdaun lebat dan sedikit tinggi.

Tak berapa lama kemudian, datanglah dua ekor burung yang kami duga mereka pasangan yang memiliki sarang tersebut. Mereka berputar-putar sepertinya mencari sarangnya. Lingkan mengatakan pasti mereka akan menemukan sarang itu. Menurutnya mereka punya naluri, penciuman yang tajam atas sarang yang mereka buat itu, dan apalagi ada tiga butir telur di dalamnya.

Benar. Mereka menemukan sarangnya. Satu per satu telur itu mereka ambil, di moncong mereka,
dan memindahkannya di pohon den yang besar di halaman depan rumah. Tertinggallah sarang yang sudah kosong itu. Kami menunggu, apakah sarangnya mereka akan ambil juga. Ternyata mereka tidak kembali lagi.

Luar biasa. Mereka sangat peduli dengan 3 butir telur itu. Apakah telur-telur itu masih bisa menetas atau tidak, itu bukan soal. Mereka hanya ingin menyelamatkan kehidupan keturunannya. Mereka tidak peduli dengan sarangnya, dengan rumahnya, yang mereka telah buat sedemikian rupa.

Kami belajar dua hal. Pertama, dalam keadaan bahaya/terancam, maka yang utama harus diselamatkan adalah makhluk hidup. Tanggung jawab menyelamatkan generasi baru adalah yang utama. Rumah, tempat tinggal dapat dicari, dibangun baru, di tempat yang aman. Seandainya butir-butir telur itu tidak dapat menetas lagi karena sudah bergoyang atau mungkin retak karena diambil pakai moncongnya yang tajam itu, maka tetap substansinya adalah mereka ingin mengambil apa yang menjadi milik mereka dan menyelamatkannya. Mereka bertanggung jawab.

Kedua, kalau benar dugaan kami bahwa mereka adalah pasangan, maka luar biasa tanggung jawab sang 'ayah' mendampingi sang 'ibu' yang akan menengok sang 'jabang bayi' yang berada di sarangnya. Kami pun menduga bahwa yang membuat sarang itu adalah mereka berdua. Luar biasa, kerja bersama 'dua sejoli' mempersiapkan rumah untuk tempat melahirkan kehidupan baru.
Bagaimana dengan kita manusia yang adalah makhluk mahkota ciptaan Tuhan Allah? Paling kurang ada tiga hal. Pertama, terlalu banyak kasus yang menghilangkan nyawa bayi-bayi yang tak berdosa. Contoh dengan sengaja menggugurkan kandungan, melahirkan anak dan langsung meninggalkannya atau membuangnya di tempat sampah, selokan, WC, dalam keadaan bernyawa atau tak bernyawa. Sungguh tidak berprikemanusiaan. Sudah pasti yang selalu dipersalahkan adalah perempuan, sang ibu. Sebab sang jabang bayi ada di dalam perutnya. Lalu, bagaimana dengan laki-laki, sang ayahnya?

Kedua, di saat bencana melanda banyak tempat, termasuk Kota Manado, saya mendapat informasi bahwa ada seorang kakek bertahan di rumahnya, meski anak-cucu sudah memanggilnya untuk keluar dari rumah, sebab jangan-jangan banjir bandang akan menyapu bersih rumah mereka. Tetapi sang kakek tetap bertahan, katanya ia menjaga harta benda di dalam
rumah. Dan...benar, banjir menghanyutkan rumah mereka dan sang kakek. Sang kakek ditemukan tak bernyawa.

Informasi seperti ini sering kita dengar lewat pemberitaaan antara lain melalui televisi. Ternyata masih ada orang yang lebih sayang akan harta bendanya daripada dirinya dan hidupnya. Tanah dan barang-barang/benda-benda dapat kita peroleh, bila kita sehat dan kita bekerja baik. Saya langsung ingat cerita Sodom dan Gomora dimusnahkan, Lot diselamatkan (Kejadian 19: 1-26), tetapi isterinya menjadi tiang garam, hanya karena ia menoleh ke belakang saat mereka berjalan keluar meninggalkan tanah dan harta milik mereka yang sedang ditimpa bencana hebat.

Ketiga, nama baik lebih berharga daripada status sosial, kaya, pendidikan tinggi, jabatan, karier. Nama baik itu akan nyata dari bagaimana kita mengisi hidup ini dengan hal-hal yang benar, adil dan jujur. Apalah artinya  status sosial, kaya, pendidikan tinggi, jabatan, karier, bila orang yang berada di dekat kita, orang yang sehari-hari bekerja dengan kita 'mencibir' kita.

Mari kita berbagi dan menabur kasih setiap hari, apalagi di saat-saat orang memerlukan kita, di saat banyaknya korban bencana banjir bandang di Kota Manado.(*)

Sumber: Tribun Manado, 20 Januari 2014
halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes