Oleh Henry Roy Somba
Arsitek, Pemerhati Tata Kota dan Lingkungan
PERISTIWA banjir yang terjadi di beberapa daerah pada awal 2014 ini masih saja menjadi headline surat kabar dan media elektronik dalam negeri. Pemerintah dituntut untuk fokus bekerja keras melakukan upaya-upaya pemulihan kota dari terjangan air yang tiada ampun.
Belajar dari banyak kasus air di beberapa negara, maka persoalan air dan melimpahnya air sungai Tondano bukanlah 100 persen diakibatkan oleh kondisi alam yang rusak, tetapi juga oleh ulah manusia sendiri. Banyak pakar coba menarik benang merah dari persoalan banjir dan tanah longsor yang menerjang Kota Manado dan sekitarnya.
Rusaknya lingkungan di hulu sungai, kurangnya resapan air di kota, buruknya drainase dan lain sebagainya mungkin adalah masalah teknis yang dapat juga diselesaikan secara teknis. Tetapi ada sebuah masalah besar yang sebenarnya harus diselesaikan oleh pihak berwenang yakni menyadarkan manusia/penduduk untuk menghargai alam sekitar yang notabene adalah anugrah Tuhan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari ciptaan Tuhan untuk kelangsungan hidup bersama.
Tuan Castells dalam teorinya menegaskan bahwa orang/masyarakat harus paham soal "the right of the city", hak-hak dari kota itu sendiri. Industri dalam sebuah kota itu penting tetapi jangan sampai merusak alam sekitar.
Kota harus diberi ruang resapan air selain menutupinya dengan aspal dan beton, menumbuhkan pohon selain meninggikan gedung-gedung dan menara, membuka ruang publik selain ruang kapital mal-mal dan bussiness center, memberi tempat bagi kota untuk mengolah polusi dengan memperbanyak hutan kota/ruang hijau, dan lain sebagainya. Kondisi kehidupan kota yang menuntut masyarakat untuk mengeksploitasi lingkungan dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, telah menjadi keharusan penduduk kota untuk bertahan hidup dan bahkan memperkaya diri. Tetapi kita sering tidak mampu memenuhi apa yang menjadi hak kota.
Hak 30 persen ruang terbuka hijau
Menurut S Gunadi (1974) dalam Yoshinobu Ashihara, ruang luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam. Ruang luar dipisahkan dengan alam dengan memberi "frame", jadi bukan alam itu sendiri (yang dapat meluas tak terhingga). Elemen ruang terbuka kota meliputi lansekap, jalan, pedestrian, taman, dan ruang-ruang rekreasi.
Ruang terbuka hijau (green openspace) adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, ruang terbuka hijau di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.
Ruang terbuka hijau binaan (RTHB) adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok, di mana penggunaannya lebih bersifat terbuka/umum, dengan permukaan tanah didominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman.
Kawasan/ruang hijau terbuka binaan sebagai upaya menciptakan keseimbangan antara ruang terbangun dan ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota, peresapan air, pencegahan polusi udara dan perlindungan terhadap flora. Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbuka diharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya.
Selain itu, ruang terbuka hijau memiliki fungsi spesifik yaitu: 1) Daya dukung ekosistem. Perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau dilandasi pemikiran bahwa ruang terbuka hijau tersebut merupakan komponen alam yang berperan menjaga keberlanjutan proses di dalam ekosistemnya. Oleh karena itu ruang terbuka hijau dipandang memiliki daya dukung terhadap keberlangsungan lingkungannya. Dalam hal ini ketersediaan ruang terbuka hijau di dalam lingkungan binaan manusia minimal sebesar 30 persen.
2) Pengendalian gas berbahaya dari kendaraan bermotor. Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya), tertama yang berbahaya sekali adalah dari golongan Nox, CO, dan SO2. Diharapkan ruang terbuka hijau mampu mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun ruang terbuka hijau sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan ruang terbuka hijau dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya.
Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (oleh Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.
Sifat dari vegetasi di dalam ruang terbuka hijau yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktivitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian ruang terbuka hijau selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia.
Besarnya kebutuhan ruang terbuka hijau dalam mengendalikan gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida dari sejumlah kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu.
3) Pengamanan lingkungan hidrologis. Kemampuan vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat dijadikan alasan akan kebutuhan keberadaan ruang terbuka hijau tersebut. Dengan sistem perakaran yang baik, akan lebih menjamin kemampuan vegetasi mempertahankan dan mengontrol keberadaan air tanah sekaligus memperkuat fungsinya untuk peresapan air.
Dengan semakin meningkatnya areal penutupan oleh bangunan dan perkerasan, akan mempersempit keberadaan dan ruang gerak sistem perakaran yang diharapkan, sehingga berakibat pada semakin terbatasnya ketersediaan air tanah. Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan air tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya peristiwa intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada, yang dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum dan terjadinya korosi/ penggaraman pada benda-benda tertentu.
4) Pengendalian suhu udara perkotaan. Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam ruang terbuka hijau dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, ruang terbuka hijau menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan 'heat island' atau 'pulau panas', yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya.
Tingkat kebutuhan ruang terbuka hijau untuk suatu kawasan perkotaan bergantung pada suatu nilai indeks, yang merupakan fungsi regresi linier dari persentase luas penutupan ruang terbuka hijau terhadap penurunan suhu udara. Jika suhu udara yang ditargetkan telah ditetapkan, maka melalui indeks tersebut akan dapat diketahui luas penutupan ruang terbuka hijau minimum yang harus dipenuhi. Namun yang harus dicari terlebih dahulu adalah nilai dari indeks itu sendiri.
5). Pengendalian thermoscape di kawasan perkotaan. Keadaan panas suatu lansekap
(thermoscpe) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan ruang terbuka hijau. Kondisi thermoscape ini tergantung pada komposisi dari komponen-komponen penyusunnya.
Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan, permukiman, paving, dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia, maka komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dalam ruang terbuka hijau) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen-komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah.
Keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada. Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia. Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia. Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.
6) Pengendalian bahaya-bahaya lingkungan. Fungsi ruang terbuka hijau dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting, pencegahan bahaya kebakaran dan perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi. Ruang terbuka hijau dengan komponen penyusun utamanya berupa vegetasi mampu mencegah menjalarnya luapan api kebakaran secara efektif, dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya.
Ruang terbuka hijau juga sangat efektif sebagai zona peresapan air ketika terjadi hujan dalam waktu yang lama karena kemampuan akar-akar dari tumbuhan untuk meresap air ke dalam tanah sangat baik. Persoalan banjir di kota-kota besar akan bisa diminimalisir oleh ketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup. Demikian juga dalam menghadapi risiko gempa bumi yang kuat dan mendadak, ruang terbuka hijau merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian, ruang terbuka hijau perlu diadakan dan dibangun di tempat-tempat strategis di tengah-tengah lingkungan permukiman.
Nah, dari penjelasan yang sangat rinci di atas kita bisa memahami bahwa betapa pentingnya peranan ruang terbuka hijau dalam suatu kota, yang merupakan hak kota yang harus dipenuhi karena memberi manfaat yang sangat-sangat kompleks terhadap masyarakat dan lingkungan.
Pentingnya penataan ruang kota
Hakikat dari pada penataan ruang kota adalah mengatur pola pemanfaatan dan pengendalian ruang kota. Penataan ruang kota sangat penting untuk mendapat perhatian para pelaku pembangunan karena disadari bahwa adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan ruang dengan kebutuhan terhadap ruang tersebut. Penataan ruang kota bukanlah semata-mata pada penataan bangunan-bangunannya, tapi perlu memperhatikan faktor alam sebagai penyeimbang lingkungan dalam kota. Zona hijau dalam suatu kota harus melalui kajian dan perencanaan yang baik dengan memperhatikan berbagai aspek perencanaannya seperti bentuk, fungsi dan volumenya.
Pada 8 Nopember 2013 telah diadakan peringatan Hari Tata Ruang Nasional dengan tema "Harmoni Ruang dan Air untuk Hidup yang Lebih Baik", yang diadopsi dari tema World Town Planning Day 2013 International "water and planning: the fluid challence". Peringatan Hari Tata Ruang ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik (masyarakat luas) dan para perencana terhadap penataan ruang dalam rangka menciptakan lingkungan yang layak huni.
Ada dua hal yang penting dari peringatan Hari Tata Ruang. Pertama, adanya upaya harmonisasi berbagai kepentingan, misalnya kepentingan ekonomi, lingkungan, dan lain sebagainya agar dapat berdampingan untuk memaksimalkan kemanfaatan ruang secara utuh yang ada di darat, air dan udara, dan bukan sesuatu yang harus dipertentangkan. Upaya harmonisasi tersebut diwujudkan dalam kegiatan penataan ruang. Kedua, memperingati Hari Tata Ruang merupakan momentum untuk menkoreksi penyelenggaraan penataan ruang yang selama ini menjadi domain para teknokrat (dalam konteks ini profesi perencana) dan birokrat menjadi domain publik atau masyarakat luas.
Penataan ruang yang dimaksud di sini adalah mulai dari perencanaan, pemanfaatan ruang, hingga pengendalian pemanfaatan ruang. Momentum peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang dilaksanakan pada November 2013 silam seharusnya memperbaharui semangat semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan era tertib tata ruang. Persoalan banjir yang kita saksikan dan alami sesungguhnya adalah persoalan ketidaktertiban pemerintah dan masyarakat terhadap penggunaan dan pemanfaatan ruang yang seharusnya ditata sebagaimana mestinya.(*)
Sumber: Tribun Manado, 21-22 Februari 2014 halaman 10