Bencana Alam Salah Siapa?

Oleh Ferol Warouw
Kandidat Doktor Lingkungan Universitas Indonesia


SEBULAN sudah (15 Januari 2014) bencana 'tsunami' menimpa Kota Manado dan sekitarnya. Setelah hujan beberapa hari di berbagai tempat di Sulawesi Utara, khususnya Kota Manado, tanpa prediksi 'tsunami' tiba-tiba menerjang Manado dan beberapa kabupaten sekitar. Sebagian besar wilayah di Kota Manado luluh lantak oleh terjangan 'tsunami' yang datangnya dari wilayah pegunungan dan melewati beberapa sungai besar di Kota Manado.

Tercatat belasan jiwa yang akhirnya harus menjadi korban dan ribuan orang kehilangan harta benda dan tempat tinggal. Di Manado bencana alam ini berdampak di 11 kecamatan yang terdiri atas 56 kelurahan dengan 219 lingkungan. Adapun jumlah jiwa yang terkena dampak terdiri atas 86.335 jiwa serta merusak lebih dari 10.000 rumah. Pusat ekonomi hampir lumpuh dengan kerugian yang ditaksir hingga Rp 2 triliun.

Salah siapakah sehingga bencana ini terjadi? Sebelum mulai saling menuduh, mari kita telusuri berbagai data berikut ini menyangkut kondisi lingkungan kita.

    1.    Perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi isu lingkungan utama dan menjadi perbincangan hangat tidak hanya di kalangan negara negara maju tetapi juga bagi negara berkembang. Pembicaraan yang dimulai secak era 80-an terus mengemuka hingga saat ini karena dampak yang ditimbulkannya berlaku secara global atau berdampak secara keseluruhan bagi umat manusia. Perubahan lingkungan mampu mengancam eksistensi wilayah suatu negara serta membawa pengaruh pada luas wilayah teritorial suatu negara. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan sistem manajemen negara dan cara pandang dalam manajemen perencanaan tata ruang wilayah.

    2.    Perubahan ekologis lewat pembangunan pada lingkungan telah membawa dampak penurunan kualitas lingkungan berakibat pada terjadinya bencana alam di berbagai tempat dan daerah termasuk di negara kita. Secara nasional, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan gambaran bahwa sebanyak 27 (termasuk Sulawesi Utara) dari 33 provinsi terdeteksi rawan banjir dan longsor. Ini baru menyangkut longsor dan banjir, belum gempa bumi dan ancaman gunung berapi.
    3.    Sebuah laporan ilmiah Australia pada 2010 mengemukakan, Asia-Pasifik sedang menghadapi ancaman bencana alam. Kejadian ini akan menyeret Asia-Pasifik memasuki era bencana besar hingga korban berjatuhan. Urbanisasi, perubahan iklim, dan kekurangan makanan turut membuat bencana alam semakin meningkat, satu kali bencana saja akan mencabut jutaan jiwa di mana Indonesia, Filipina dan China memiliki resiko tertinggi.

    4.    Bencana sepertinya sudah menjadi langganan bangsa kita yang berada di garis Khatulistiwa, rentang sepuluh tahun terakhir kita tak pernah lepas dari bencana alam, baik dari skala bencana yang kecil dan tak menimbulkan korban jiwa hingga hingga skala bencana besar yang merengut ribuan nyawa. Data yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bahwa selang tahun 2008 - 2009 di Indonesia telah terjadi 359 bencana alam yang terjadi.

Sementara itu survei Environmental Performance Indeks (EPI) yang dilakukan oleh Yale University beberapa waktu yang lalu menempatkan Indonesia berada di urutan 102 dari 149 negara berwawasan lingkungan. Rangking ini sementara Malaysia berada di urutan 26 jauh di atas Indonesia. Survei ini menunjukkan kenyataan bahwa betapa kita sangat tidak peduli akan lingkungan. Akibat kepedulian yang rendah terhadap lingkungan akhirnya bencana tsunami dari gunung menimpa kita di Kota Manado.

Perubahan lingkungan memang telah menjadi keniscayaan dan bencana merupakan bagian yang akan mengikutinya. Jika kita tidak arif dalam mengelola lingkungan maka sudah barang tentu bencana akan terus mengintai kita. Dari keempat data di atas saya coba memilah beberapa hal pokok menyangkut kondisi semakin rentannya kita akan bencana yaitu:
    1.    Manusia vs lingkungan
Perubahan iklim akibat pemanasan global telah menjadi isu lingkungan utama dan menjadi perbincangan hangat tidak hanya di kalangan negara negara maju tetapi juga bagi negara berkembang karena dampak yang ditimbulkannya berlaku secara global atau berdampak secara keseluruhan bagi umat manusia mengancam eksistensi wilayah suatu negara serta membawa pengaruh pada luas wilayah teritorial suatu negara mengakibatkan terjadinya perubahan sistem manajemen negara dan cara pandang dalam manajemen perencanaan tata ruang wilayah. Secara geologis, klimatologis, dan geografis, wilayah Indonesia tergolong rentan terhadap bencana alam sehingga kita tak akan pernah tahu kapan bencana itu akan datang.

Sonny Keraf, mantan Menteri KLH, mengungkapkan bahwa krisis lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak menguasai ilmu dan teknologi, melainkan karena kita mengabaikan etika dan moralitas. Hutan rusak, udara dan air tercemar, serta sederet masalah lingkungan terjadi bukan karena bangsa Indonesia tidak pandai dalam ilmu ekonomi dan teknologi, tetapi karena oknum-oknum di Indonesia telah sedemikian tidak bermoral, rakus, dan tamak, serta hanya memikirkan kepentingan sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain dan generasi mendatang dalam pemanfaatan potensi lingkungan.

    2.    Pemerintah, swasta, dan masyarakat
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan eksploitasi lingkungan yang berlebihan yang mau tak mau harus dilakukan menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan. Berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup yang dirilis 2010 beberapa daerah di Indonesia sementara Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menuliskan penduduk di Jawa dan Sumatera paling rentan terkena dampak banjir dan longsor. Kenyataannya bukan hanya Jawa dan Sumatera yang kemudian terkena bencana saat melainkan ini telah meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia.

    3.    Peran partisipatif sebagai kunci penangulangan bencana
Dalam pelatihan manajemen mitigasi bencana yang diselengarakan di Jogjakarta oleh Yayasan Church World Service pada 2008, telah mengemuka bahwa peran partisipatif masyarakat dalam menyelesaikan persoalan lingkungan sangatlah penting dalam menentukan keberlanjutan ekologis lingkungan agar nantinya membawa pengaruh pada berkurangnya bencana alam namun peran partisipatif masyarakat tidak akan berjalan jika tidak digerakkan oleh pemerintah dengan support swasta tentunya.

Bagaimana peran partisipatif ini kita kebangkan? Saya mulai dengan mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Prof Dr Emil Salim yaitu, "Gali, akui, dan kembangkanlah kearifan hidup berkelanjutan berbasis masyarakyat lokal. Perpaduan rakyat dan alam adalah modal pokok yang perlu dikembangkan dengan ekoteknologi dan ekonomi berbasis lingkungan. Bangunlah Tanah Air dan masyarakat dalam siklus pembangunan berkelanjutan yang saling berkaitan dan saling membutuhkan sebagai ciptaan Ilahi."

Dibutuhkan kearifan lokal yang sesuai dengan basis inisiatif masyarakat untuk dapat mengantisipasi bencana di masa mendatang. Kearifan lokal yang pertama adalah "Mapalus". Mapalus sebagai suatu sistem atau teknik kerja sama untuk kepentingan bersama dalam budaya suku Minahasa yang merupakan suku permukim dominan di Kota Manado. Secara fundamental, mapalus adalah suatu bentuk gotong-royong tradisional yang memiliki perbedaan dengan bentuk- bentuk gotong royong moderen.

Melalui mapalus diharapkan peran partisipatif masyarakat dapat terus ditingkatkan guna menopang proses pembangunan berwawasan lingkungan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas masyarakat itu sendiri agar masyarakat menunjukkan identitas dirinya berdasarkan what they have bergeser menjadi what they are. Bukti nyata mapalus masih hidup dapat dilihat dengan berbondong-bondongnya masyarakat (yang tak kena dampak bencana) datang bersama membersihkan Kota Manado. Ini menunjukkan bahwa mapalus masih ada dan belumlah mati. Hanya saja perlu diperhatikan adalah mapalus hendaknya dikembangkan dan diterapkan lebih pada rencana strategis antisipasi bencana dan pengelolaan lingkungan. Lebih spesifik dikembangkan dalam kegiatan guna saling membantu dan bersama dalam mengantisipasi keadaan alam dalam pembangunan, bukan membangun kembali keadaan lingkungan pascabencana. 

Kearifan lokal kedua yang perlu dikembangkan mekanisme peran tokoh agama/masyarakat dalam memberikan pencerahan menyangkut manusia sebagai pusat ciptaan melalui paham antoposentris (manusia sebagai pusat) digeser menjadi ekosentris (manusia dan lingkungan harus hidup sejajar dan berdampingan). Hal ini bisa dilakukan dalam berbagai struktur pertemuan komunitas secara intensif, seperti pertemuan di tingkatan wilayah jemaat, kolom jika komunitas gereja dijadikan contoh.

Sementara itu pemerintah harus turut aktif mendorong penemuan kearifan lokal berbasis masyarakat yang kemudian diterjemahkan dalam konsep dan strategi pembangunan utamanya dalam hal penataan ruang. Hal tersebut adalah pertama, mengakomodasi kegiatan partisipasi masyarakat (mapalus) kedalam rencana penataan ruang; kedua, pelibatan peran masyarakat yang sering terabaikan dalam pembangunan dan sering dituduh sebagai 'biang keladi' kerusakan lingkungan harus kemudian dilibatkan dalam program pembangunan lingkungan berbasis lingkungan lokal secara berkelanjutan; dan ketiga perlu diselesaikan secara cepat tumpang tindih pemanfaatan ruang lingkungan dan lahan permukiman.

Mapalus diharapkan mampu membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antarpenduduk setempat yang tumbuh guna menghindari dampak bencana dimasa akan datang. Hal  diatas perlu dilakukan sebagai bentuk manajemen mengantisipasi bencana sekaligus sebagai dasar (basic conceptual framework) dalam sistem mitigasi dan manajemen ketika bencana alam terjadi. Diharapkan sistem berbasis kearifan lokal ini mampu meminimalisasi bencana.

Bencana yang terjadi dan menimpa dapat  dijawab dalam satu gerakan penyelamatan lingkungan yang berbasis pada pemberdayaan partisipatif masyarakat itu sendiri. Gerakan ini sebagai bentuk gerakan bersama antarelemen masyarakat yang dalam praktiknya gerakan ini harus menjadi inspirator, inisiator, motivator, dan organisator menuju perubahan dalam hal: Pertama, meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral bagi lingkungan.

Kedua, melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi lingkungan. Ketiga, mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu (masa lalu bangsa ini ditandai dengan mismanagement sumber daya alam dan manusia). Keempat, mewujudkan apa yang menjadi tuntutan dan keinginan bersama seluruh masyarakat bahwa negara harus mampu menyejahterakan rakyatnya melalui peran masyarakat itu sendiri.

Akhirnya, siapa yang harus disalahkan akibat bencana alam ini? Saya berkesimpulan ini salah kita manusia, artinya salah kita semua yang serakah dan "pandang enteng" memperlakukan alam. Semoga bermanfaat.(*)

Sumber: Tribun Manado edisi 18-19 Februari 2014 halaman 10
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes