Banjir bandang di Manado 15 Januari 2014 |
Sekitar pukul 09.00 Wita hari itu genangan air di rumahnya mencapai dua meter dan hampir menyentuh plafon rumah. Usai memastikan tiga anaknya aman, Sokeh berupaya menyelamatkan barang berharga. Ia berhasil membawa kalung emas almarhumah istrinya. Itu merupakan satu-satunya harta berharga yang ia selamatkan. Yang lain hanyut dibawa banjir bandang bersama bangunan rumahnya.
Rumah Sokeh adalah satu dari 12 rumah di Tikala Baru lingkungan VI yang hanyut. Puing pun tak berbekas, sisa bangunan hanya pondasi dan lantai beton. "Saya saksikan sendiri rumah yang saya tinggali sejak 1982 hanyut dibawa arus, sedih sekali, darah saya sampai naik 180/100 karena banyak pikiran, mau tinggal di mana kami sekeluarga," katanya.
Dari lantai atas bangunan di seberang jalan, Sokeh menyaksikan detik-detik rumahnya lenyap bersama banjir. Arus air begitu kuat, bahkan pabrik bata ringan di samping rumahnya porak-poranda. Sekitar 6 rumah tetangganya hanyut duluan, diikuti rumah tingkat dua miliknya. Sokeh kini sementara tinggal di pengungsian. Dia trauma mau bangun lagi rumah di DAS Tondano. Dia ingin pindah ke lokasi bebas banjir. "Saya trauma mau bangun rumah di bantaran sungai. Kalau ada rejeki bangun rumah di tempat lain, di tanah sendiri," katanya.
Trauma tinggal di DAS Tondano juga dirasakan Johan Atta (42), warga Banjer Lingkungan II. Rumah beton tempat tinggalnya di tepi sungai itu tak mampu menahan air bah. "Saya tidak mau tinggal lagi di lokasi ini. Lebih baik pindah, lokasi ini nanti dibangun lagi untuk usaha saja," katanya. Usaha dimaksud Johan yakni jualan pulsa dan bensin karena lokasinya stretegis di depan jalan dekat kantor wali kota. Johan kini mengungsi ke rumah iparnya.
Degradasi Kawasan Hijau
Di Kota Manado ada sembilan kawasan rawan banjir. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Kota Manado, Maximilian Tatahede menyebutkan, sembilan titik tersebut di antaranya Kecamatan Sario, Wanea, Tikala, Paal Dua, Singkil, Tuminting dan Bunaken. "Hampir seluruh wilayah yang berada di DAS Tondano rawan banjir," ujarnya.
Makin seringnya banjir di Manado punya korelasi dengan degradasi kawasan hijau. Dalam satu dekade terakhir Manado berkembang pesat berkat pemabangunan yang masif. Satu kawasan yang mengalami banyak perubahan adalah kawasan yang sekarang kita kenal sebagai Ringroad (jalur lingkar). Citra satelit Google Earth merekam perkembangan tersebut.
Di jalur ini, mulai dari Winangun sampai Kairagi, tiga sungai utama mengalir dan bermuara di Teluk Manado. Sungai pertama adalah Sungai Sario yang melewati kawasan Winangun Atas, Pakowa, Wanea, Tanjung Batu, dan Sario. Air dari sungai ini bersumber dari lereng Gunung Mahawu (wilayah Kabupaten Minahasa), melewati Desa Koka dan melalui kawasan Citraland.
Sungai kedua adalah Sungai Saluhesem. Sungai yang melintasi Malendeng, Manado, ini memiliki cabang di Desa Sawangan, Kecamatan Tombuluan, Minahasa. Cabang pertama yang menjadi sungai utama melintas di Desa Kaleosan Kalawat, Minahasa Utara, dan berhulu di kawasan perbukitan dekat Rumengkor, Minahasa. Sedangkan sungai kedua melintasi Kamangta, Koka, Kembes, dan berhulu di kaki Gunung Mahawu.
Dari Ringroad, sungai ini melewati Paal IV, Dendengan Dalam, dan Jembatan Miangas. Ujung sungai ini kemudian bertemu dengan sungai ketiga yakni Sungai Sawangan di daerah Karame atau di belakang Komo Luar.
Sungai Sawangan berhulu di Danau Tondano. Air dari danau keluar melalui Kelurahan Tolour, melintasi Tonsea Lama. Sungai ini melewati wilayah Kabupaten Minahasa Utara yakni Tanggari dan Sawangan. Di Sawangan ini pula bermuara sungai dari Pegunungan Makawembeng. Lepas dari Sawangan, sungai mendapat pasokan air dari Desa Rap-Rap yang mengalir dari Airmadidi.
Aliran sungai kemudian melewati Desa Kuwil dan melintas di jembatan dekat simpang tiga Manado-Ringroad-Bitung di Kairagi I. Dari Kairagi I, sungai melintas di Kombos, Paal Dua, Dendengan Luar, dan Ternate Tanjung sebelum menyatu dengan Sungai Saluhesem di Karame. Sungai yang bersatu ini kemudian melintas di belakang Kelurahan Istiqlal, Calaca, dan masuk Teluk Manado. Ringroad menjadi istimewa karena dari tiga sungai yang melintas di kawasan tersebutlah air bah menghantam dan merendam bangunan di wilayah yang dilintasi dan dampaknya masih dirasakan sekarang ini. Adakah yang salah dari Ringroad?
Melihat fenomena pembangunan di kawasan itu, citra satelit memaparkan perubahan cukup besar selama satu dekade ini. Pada 2003, kawasan itu masih dalam proses pembukaan lahan. Pada 2004 kondisinya juga masih sama. Dua tahun berselang setelah jalan itu sudah menghubungkan Winangun dan Kairagi, perubahan sementara terjadi. Kawasan yang pertama kali jadi, walau belum seperti sekarang ini, adalah Citraland yang menempati sisi Sungai Bahu. Sebagian rumah sudah dibangun pada 2006. Saat itu belum berdiri Patung Tuhan Yesus Memberkati.
Pada 2009, ketika patung itu sudah ada, bangunan lainnya sepanjang Ringroad belum ada. Yang tampak adalah penggundulan dan pengerukan lahan di sisi jalan. Bahkan pada 2011 pun kondisinya belum seperti sekarang. Meski sejumlah bangunan sudah berdiri namun di saat yang sama sejumlah titik gundul semakin bertambah. Kondisi yang sama terjadi pada 2012. Baru pada 2013 bangunan sudah banyak berdiri berbarengan dengan pembukaan lahan lainnya.
Yang patut dicermati adalah kawasan antara Sungai Sawangan dan Sungai Saluhesem. Kawasan itu berubah banyak bila dibandingkan antara 2003 dengan 2013. Puluhan titik berganti dari kawasan hijau menjadi gedung dan lahan gundul untuk menghasilkan rupiah. Hampir mirip terjadi di kawasan dekat Sungai Sawangan di simpang tiga yang kini dihiasi rencana pembangunan Ringroad 2.
Perubahan di Ringroad mungkin bukanlah penyebab utama.
Patut pula diperhitungkan dampak banjir bandang yang merontokkan jembatan Desa Kuwil, Minahasa Utara, yang notabene jauh dari kawasan Ringroad. Mungkinkah karena saat itu cuaca ekstrem menghinggapi Sulut sehingga limpahan air tak mampu ditampung oleh sungai-sungai yang melewati Manado? Ini juga diragukan karena musibah tidak terjadi pada daerah yang berada di sekitar aliran Sungai Bahu. Kelak Sungai Bahu akan dilintasi Ringroad III. (ryo/max/rik)
Dulu tak Pernah Banjir
SETIAP zaman ada masalah tersendiri, tetapi Tuhan beri akal sehat untuk manusia mencari solusi. Demikian pandangan mantan Wali Kota Manado NH Eman. Semasa ia memerintah dua periode dari tahun 1985 sampai 1995, Manado belum pernah mengalami banjir bandang seperti yang terjadi 15 Januari 2014. Menurut dia, bencana dua pekan lalu merupakan yang terbesar sejak Kota Manado berdiri.
"Dulu kalau ada banjir ya, kecil-kecil saja. Hanya tergenang," katanya kepada Tribun Manado, Minggu (26/1/2014).
NH Eman mengakui, program tata kota Manado pada masa kepemimpinannya belum mengarah ke antisipasi banjir bandang. "Tata kota normal-normal saja. Paling bangun saluran drainase," katanya. Salah satu hasilnya drainase sepanjang 1 kilometer di Jalan Sam Ratulangi yang merupakan perpaduan drainase, taman dan pedesterian.
Pada waktu itu, lanjut dia, sudah ada rencana menata Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano yakni membuat jalan di tepian sungai. Namun, rencana itu terkendala membebaskan permukiman warga di tepian sungai. "Dari dulu memang sudah ada permukiman di tepi sungai, tapi bedanya dulu tidak ada masalah banjir seperti sekarang ini," katanya.
Dijelaskannya, rencana penataan jalan di sisi kiri dan kanan sungai dimaksudkan agar masyarakat Kota Manado tidak menjadikan sungai sebagai bagian belakang rumah, namun teras rumah mereka. "Belum sempat terealisasi, tugas saya sudah selesai. Sebetulnya ide jangka panjang adalah memindahkan penduduk dari pinggir sungai," ujarnya. Eman mengatakan, banjir semakin sering melanda Kota Manado belakangan ini karena daerah resapan air sudah berkurang akibat alih fungsi lahan, baik untuk permukiman, perkantoran atau industri. "Namun, namanya masalah pasti selalu muncul dari zaman ke zaman, sebab itu Tuhan memberi manusia akal sehat untuk mencari solusinya," kata dia.
Salah satu ide yang terbesit dalam benaknya untuk menanggulangi banjir bandang adalah membendung air menuju ke Kota Manado. Air tersebut dialihkan ke laut Sulawesi. "Cara itu harus bangun kanal, persoalannya biaya mahal. Itu jalan keluar kalau mau aman Manado tidak banjir bandang," paparnya.
Setelah dibendung, lanjut dia, air itu disalurkan ke laut dengan sistem pompa. "Didesain ada penampungan, terus pompa dengan kekuatan 1.000 liter per menit. Memang harus ada kerja sama pemerintah kota dan provinsi siapkan dana untuk itu. Mau bagaimana lagi, harus ada langkah by pass," tandasnya.
Eman mengakui, kerja sama itu berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Sulut karena banjir di Manado bukan masalah Manado saja. Wali kota Manado tak punya kewenangan mengatasi sumber masalah di wilayah orang lain. "Harus kerja sama antara Pemda Minahasa, Minahasa Utara dan Manado dengan campur tangan Pemerintah Provinsi Sulut," kata Eman. (ryo)
News Analysis
Veronica Kumurur, Pengamat Tata Kota
Alih Fungsi Lahan
BENCANA banjir bandang di Kota Manado 15 Januari 2014 merupakan pelajaran bagi Pemerintah Kota Manado dan Pemerintah Sulawesi Utara. Bukan hanya sikap 'liar' masyarakat terhadap hutan tapi yang dibutuhkan adalah ketegasan pemerintah dalam menetapkan kawasan lindung melaui aturan yang jelas (Perda) dan menindak pihak yang melanggar aturan itu
Selama pemerintah tidak menetapkan kawasan lindung, maka akan terus terjadi pelanggaran yang berujung pada kesengsaraan massal seperti banjir bandang dan longsor yang terjadi saat ini. Pemerintah harus tegas untuk tidak memberikan izin kepada pengembang pemukiman di area resapan air.
Alih fungsi lahan di kawasan resapan air menjadi penyebab banjir besar di Manado.
Alam Kota Manado dan sekitarnya sedang menyatakan diri bahwa titik-titik mana yang harus dilindungi, dijaga dan dibenahi. Alam sedang meminta ketegasan dari orang-orang yang telah diberikan tugas olehNya (Sang Pencipta) untuk menata kota-kota dan kabupaten di Sulawesi Utara. Jangan main-main lagi dengan alam kita, jangan semena-mena terhadapnya.
Ke depan, pemerintah harus lebih selektif dalam memberikan IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Area resapan air tidak boleh untuk permukiman dan kegiatan industri. Hal ini bukan hanya tugas Wali Kota Manado atau Gubernur Sulut dan jajaran tapi harus atas kesadaran semua pimpinan daerah di Sulut. Seluruh pemerintah kota dan kabupaten se-Sulut perlu meninjau kembali kegiatan yang melanggar "hak alam" yang telah disetujui sebagai berikut.
Pertama, pembangunan perumahan dan permukiman di daerah resapan air. Kedua, kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Bangka di Minahasa Utara. Ketiga, pembabatan hutan di hulu sungai yang mengalir menuju Kota Manado. Keempat, perusakan ekosistem pantai dan garis pantai melalui penimbunan Pantai Manado. Kelima, penataan bantaran sungai yang mengalir di area permukiman, baik di permukiman baru maupun permukiman lama.
Pemerintah daerah jangan mendahulukan kepentingan para pelaku ekonomi dan mengabaikan kelestarian lingkungan. Lihat, ekonomi yang dipuja-puja, kini lumpuh! Uang yang terselamatkan dari banjir bandang tak ada arti lagi. Ekonomi yang sombong itu musnah seketika. Alam menunjukkan keperkasaannya kembali.
Pembangunan ekonomi harus berimbang dengan pembangunan ekologi di wilayah Sulawesi Utara bahkan pembangunan ekologi harus menjadi utama. Sudah banyak contoh alam akan bersatu melawan keserakahan manusia atas dirinya.
Pascabanjir bandang 15 Januari 2014 harus segera digelar rapat luar biasa untuk merancang agenda aksi menyelamatkan Sulut dari bencana banjir tahunan yang menelan korban jiwa. Segera umumkan kepada masyarakat apa yang sudah dan akan dilakukan agar masyarakat merasakan bahwa mereka dipentingkan dalam perencanaan ini. Saat inilah diuji kepiawaian pemimpin di wilayah kita ini. Lupakan dulu seluruh suksesi, selamatkan ekologi dan nyawa masyarakat daerah ini. (dit)
Sumber: Tribun Manado 29 Januari 2014 hal 1