DISELUBUNGI hawa sejuk, kabut yang
datang dan pergi menaungi Kampung Wae Rebo di Desa Satar Lenda,
Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Kampung yang berada di ketinggian Pulau Flores itu amat hijau dan
diyakini masyarakat setempat dijaga tujuh kekuatan alam.
Yosef Katup (43), salah satu keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO sejak tahun 2012 itu.
Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki melewati tiga pos peristirahatan.
”Nenek moyang kami disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali,” kata Yosef.
Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal, khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo tanpa membaca catatan.
Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
”Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro,” kisah Yosef.
Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
- Kampung adat Wae Rebo, Desa Satarlenda, Kecamatan Satarmese Barat, Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Yosef Katup (43), salah satu keturunan moyang Wae Rebo, dari generasi ke-18, dengan penuh semangat bercerita tentang leluhur dan keunikan budaya setempat. Ia juga pemandu wisata dari kampung yang menjadi salah satu warisan budaya dunia UNESCO sejak tahun 2012 itu.
Ia kerap menemani pengunjung berjalan kaki dari Kampung Denge ke Kampung Wae Rebo. Jarak antara Denge ke Wae Rebo sekitar 9 kilometer (km) dan ditempuh sekitar 4 jam berjalan kaki melewati tiga pos peristirahatan.
”Nenek moyang kami disebut Maro, yang diyakini berasal dari Minangkabau. Dari riwayat sejarah turun-temurun, sebelum menetap di kampung ini, leluhur kami berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sekitar 10 kali,” kata Yosef.
Pria tamatan SMP ini tampak menguasai banyak hal, khususnya budaya masyarakat Wae Rebo. Yosef memang berusaha melestarikannya. Ia mampu bertutur tentang adat masyarakat Wae Rebo tanpa membaca catatan.
Semula leluhur Maro tinggal di Wriloka, ujung barat Pulau Flores, pindah ke Pa’ang, lalu bergeser ke daerah pegunungan, Todo. Mereka berpindah lagi ke Popo. Di sini terjadi peristiwa yang menyebabkan warga Wae Rebo tidak berani menyakiti, apalagi memakan daging musang. Masyarakat menyebutnya kula.
Bagi masyarakat setempat, daging musang pantang (ireng) dimakan karena dianggap berjasa menyelamatkan moyang Wae Rebo. Kisahnya bermula dari sepasang suami-istri. Meskipun sudah tiba saatnya, sang istri belum melahirkan. Tujuh hari pun berlalu sehingga diputuskan membelah perut sang ibu agar si bayi selamat.
Bayi laki-laki itu selamat, tetapi sang ibu meninggal. Keluarga sang ibu yang berasal dari kampung lain tidak bisa menerima kejadian itu. Mereka menyerang Kampung Maro. Namun, pada tengah malam itu muncul musang di rumah Maro.
”Maro pun berucap, kalau musang membawa berita baik harus tenang. Namun bila musang membawa kabar buruk, diminta mengeluarkan suara. Musang itu mengeluarkan suara dan menjadi penunjuk jalan ke tempat yang aman bagi Maro,” kisah Yosef.
Musang menuntun warga Maro mengungsi. Setelah menjauh dari Popo, di tempat tinggi mereka melihat kampungnya dibumihanguskan. Mereka pindah ke Liho dan musang itu menghilang. Dari Liho, mereka ke Ndara, Golo Damu, dan Golo Pandu.
Di Golo Pandu, Maro bermimpi bertemu roh leluhur yang memberi tahu
mereka harus menetap di suatu tempat yang ditunjuk dan jangan berpindah
lagi. Ada tempat yang letaknya tidak jauh dari Golo Pandu, dan di sana
terdapat sungai dan mata air. Itulah Wae Rebo.
”Itulah tempat kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. Kami meyakini bahwa daerah yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana.”
Ritual adat
Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur. Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam.
Pengetahuan Yosef itu diperoleh dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo, Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
Sebelum menetap di Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada tahun 2005.
Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.
Tujuh ”niang”
Di Kampung adat Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Jumlah rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah baru, harus di luar kampung adat.
Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
”Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar,” katanya.
- Ketua Adat di Kampung Wae Rebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
”Itulah tempat kami, dari tempat ini tampak kota dengan gemerlap cahaya. Kami meyakini bahwa daerah yang kami tinggali dikelilingi tujuh kekuatan alam yang berperan sebagai penjaga kampung. Tujuh titik itu adalah di Ponto Nao, Regang, Ulu Wae Rebo, Golo Ponto, Golo Mehe, Hembel, dan Polo. Kami tidak boleh melupakan ritual adat agar warga tidak terkena bencana.”
Ritual adat
Ritual adat itu antara lain kasawiang, yang biasa digelar pada bulan Mei, saat perubahan cuaca akibat pergerakan angin dari timur ke barat. Ada juga ritual adat pada Oktober, saat angin bergerak dari barat ke timur. Adapun upacara Penti, sekitar November, adalah tahun baru adat yang ditandai awal musim menanam.
Pengetahuan Yosef itu diperoleh dengan bertanya kepada para tetua adat, seperti Tua Gendang Wae Rebo, Rafael Niwang (85), dan Rofinus Nompor (76).
Sebelum menetap di Wae Rebo, menjadi pemandu wisata dan petani, Yosef merantau ke Makassar pada tahun 1997-2000. Ia pernah tinggal di Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat, menggarap proyek irigasi. Ia juga merantau ke Malaysia tahun 2000-2003, sebelum kembali ke Wae Rebo dan menikah pada tahun 2005.
Kini, Yosef menjadi rujukan informasi tentang Wae Rebo bagi wisatawan ataupun anak muda setempat. Pengetahuan tentang adat Wae Rebo biasa dia sampaikan saat upacara adat digelar.
Tujuh ”niang”
Di Kampung adat Wae Rebo ada tujuh niang atau rumah adat, yakni Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Pirong, Niang Gena Jintam, dan Niang Gena Maro.
Jumlah rumah adat tak boleh lebih dari tujuh. Setiap rumah dihuni 6-8 keluarga. Jika anggota keluarga makin banyak dan dirasa perlu membangun rumah baru, harus di luar kampung adat.
Rumah adat Wae Rebo berbentuk khas. Pada bagian bawah atau ruangan dalam berbentuk bulat dan bagian atas mengerucut beratapkan ijuk.
Niang Gendang Maro, semacam rumah adat utama, diyakini merupakan tempat leluhur pertama yang datang dari Minangkabau. Bangunan itu setinggi sekitar 14 meter, jauh lebih tinggi daripada 6 niang lainnya.
Pada Niang Gendang Maro ada tanda khusus. Di ujung atapnya ditancapkan Ngando, yang disimbolkan kepala kerbau, hewan yang dianggap terbesar. Kepala kerbau menjadi penanda telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat dan kekuatan budaya rumah ini.
”Bagian dalam rumah adat yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup manusia yang mengisyaratkan kehidupan yang bulat, jangan diwarnai konflik, tetapi ketulusan, kebulatan hati, dan keadilan. Itu sebabnya musyawarah di rumah adat mengambil posisi duduk melingkar,” katanya.
Pada bagian tengah rumah adat ada semacam tiang utama yang disebut
bongkok. Wujudnya dua batang kayu yang disambung. Inilah Papa Ngando dan
Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah adat juga
ditopang 9 tiang utama, yang menggambarkan kehidupan dari janin menjadi
bayi melewati sekitar 9 bulan dalam rahim.
Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. ”Saat bayi lahir didekatkan ke periuk di dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan tubuh bayi.”
Yosef bercerita, keinginannya menggali dan melestarikan adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. ”Entah mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk menjaga kelestarian budaya kami.” (Samuel Oktora)
Ada pula molang, pada bagian belakang rumah, yang terbagi dalam tiga bagian, yakni dapur, ruang aktivitas keluarga, dan bilik tidur keluarga. ”Saat bayi lahir didekatkan ke periuk di dapur, sebab ada nyala api yang menghangatkan tubuh bayi.”
Yosef bercerita, keinginannya menggali dan melestarikan adat Wae Rebo muncul saat merantau ke Malaysia. ”Entah mengapa saya ingin kembali ke Wae Rebo. Ada semacam panggilan untuk menjaga kelestarian budaya kami.” (Samuel Oktora)