TIBA-tiba teringat jagung titi dari Nagi. Jagung yang gurih dan nikmat rasanya. Tak mudah ditemukan di lain tempat Flobamora. Model boleh sama, rasa jelas berbeda. Jagung itu hasil jamahan tangan ema ema (mama, Red) dari Solor, Adonara, Lembata, Larantuka.
Akhir tahun 1980-an, setiap kali pulang ke Kupang setelah libur panjang di kampung, beta dan beberapa kawan yang beruntung menjadi anak sekolah di Kupang hampir pasti melalui Kota Larantuka. Bermalam di Waibalun yang selalu ramai pada musim liburan sekolah.
Waibalun, satu-satunya lokasi dermaga Kapal Motor Penyeberangan (KMP) alias kapal feri dari Flores menuju Kupang ketika itu. Jika jadwal kapal tepat waktu, maka cuma semalam di Waibalun. Jika sedang "sial" karena kapal rusak atau cuaca buruk, bisa beberapa hari menunggu. Waibalun banyak jasanya. Sampai sekarang. Beta tak ingat lagi berapa kali mampir di sana. Yang pasti sudah berkali-kali dan setiap kali tak lupa beli jagung titi untuk buah tangan ke Kupang.
Ya, jagung kembali menggetarkan memori. Memori kita yang sebagian besar adalah anak petani. Anak petani yang hidup di tahun 2008. Lebih doyan makan nasi, bakso dan mi instan ketimbang jagung rebus atau bakar. Bukankah bertahun-tahun kita melupakan jagung? Menganggapnya remeh. Tidak level!
Tanggal 17 Juli 2008, jagung menghiasai beranda rumah Flobamora. Hari itu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon L Foenay, M.Si memimpin rapat koordinasi dengan para bupati/walikota se-NTT. Rapat perdana sehari setelah mereka dilantik Menteri Dalam Negeri, H. Mardiyanto di gedung wakil rakyat NTT. Gubernur Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur Esthon Foenay menyampaikan tekad mereka menjadikan NTT sebagai "propinsi jagung".
Pengembangan jagung menjadi program unggulan di sektor pertanian. Propinsi Gorontalo dalam kepemimpinan Gubernur Fadel Muhammad telah memberi bukti betapa daerah yang baru mekar itu kini tercatat sebagai penghasil jagung terbaik dan terbesar di Indonesia. Meniru yang baik bukanlah dosa. Justru itulah kebutuhan kita setelah bertahun-tahun kurang tegas dan jelas apa yang disebut sebagai program unggulan daerah NTT.
Selama ini kita terlalu sibuk mau mengurus segala program yang tidak fokus dan konsisten, sehingga hasilnya setengah-setengah saja. Tidak maksimal sehingga NTT masih saja bergumul dengan kekurangan pangan, busung lapar, gizi buruk.
Maka pengembangan jagung yang digagas Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 patut didukung. Sejatinya makanan pokok rakyat NTT adalah ubi dan jagung, bukan beras. Sudah terlalu lama kita terlena dan diperdayai oleh kebijakan yang salah. Seolah-olah pangan itu beras semata sehingga lumbung petani NTT sekarang tak lagi dipenuhi bulir-bulir jagung. Orang kampung ikut berlomba mencari beras yang harganya jauh dari jangkauan mereka.
Jagung itu tanaman rakyat. Tidak sulit mengembangkannya. Tidak rewel dan cocok dengan iklim Flobamora. Dalam satu dasawarsa terakhir, saban hari warga Kota Kupang dan sekitarnya bisa makan jagung muda bakar. Jagung muda tersedia sepanjang tahun. Tidak mengenal musim. Jagung mudah empuk itu dihasilkan para petani Oesao, Tarus dan Noelbaki. Mereka telah berubah dalam cara menanam, merawat dan menjadikan jagung bernilai ekonomis.
Artinya, kita sudah memiliki modal yang kuat. Mengembangkan jagung secara besar-besaran tinggal soal niat dan mesti terwujud dalam aksi nyata. Yang dinanti rakyat NTT adalah Rencana Aksi pemerintah propinsi dan seluruh jajaran terkait. Rencana Aksi itu penting untuk membuktikan apakah urusan jagung ini sekadar omong-omong atau aksi sungguhan?
Untuk membumikan rencana besar itu, beta sependapat dengan pandangan dua pakar pertanian dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Fred Benu dan Ir. Leta Rafael, M.Sc. Sebelum program ini dilaksanakan, diperlukan komitmen yang sama antara eksekutif, legislatif, swasta dan masyarakat. Seperti ditegaskan Fred Benu, pemerintah propinsi harus didukung oleh pemerintah kabupaten/kota. Didukung eksekutif dan legislatif.
Dan, komitmen itu harus nyata terbaca dalam alokasi anggaran. Sebagai program unggulan, harus "sehati-sesuara" dari hulu sampai hilir. Genjot produksi sekaligus buka akses pasar seluas mungkin. Produksi tinggi tapi pasar lemah, berarti kita mengulang kesalahan yang sama.
Ingat jagung, terkenang kisah Kapet Mbay. Kurang apa Kapet (Kawasan Ekonomi Terpadu) Mbay yang merupakan program nasional itu? Program yang luar biasa. Ada anggaran pula. Tidak secuil jumlahnya. Ada badan pengelola yang khusus dibikin. Personelnya orang-orang pintar dan berkompeten.
Hasilnya? Tuan dan puan pun tahu. Kapet telah masuk museum sejarah! Di antara banyak faktor penyebab, salah satunya semata soal ego. Ego wilayah. Bertahun-tahun para kepala wilayah yang masuk dalam kawasan ekonomi terpadu itu tak sanggup merajut kesamaan tekad, komitmen dan aksi. Mereka begitu nyaman mengurus daerah sendiri. Otonomi daerah semakin mengaburkan tujuan, melemahkan soliditas kawasan. Atas nama otonomi daerah, tetangga tak lagi dilirik. Semua sibuk di rumahnya masing-masing. Bahkan memagari diri! Inilah pekerjaan rumah duet pemimpin NTT yang baru. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) edisi Senin, 28 Juli 2008, halaman 1
Akhir tahun 1980-an, setiap kali pulang ke Kupang setelah libur panjang di kampung, beta dan beberapa kawan yang beruntung menjadi anak sekolah di Kupang hampir pasti melalui Kota Larantuka. Bermalam di Waibalun yang selalu ramai pada musim liburan sekolah.
Waibalun, satu-satunya lokasi dermaga Kapal Motor Penyeberangan (KMP) alias kapal feri dari Flores menuju Kupang ketika itu. Jika jadwal kapal tepat waktu, maka cuma semalam di Waibalun. Jika sedang "sial" karena kapal rusak atau cuaca buruk, bisa beberapa hari menunggu. Waibalun banyak jasanya. Sampai sekarang. Beta tak ingat lagi berapa kali mampir di sana. Yang pasti sudah berkali-kali dan setiap kali tak lupa beli jagung titi untuk buah tangan ke Kupang.
Ya, jagung kembali menggetarkan memori. Memori kita yang sebagian besar adalah anak petani. Anak petani yang hidup di tahun 2008. Lebih doyan makan nasi, bakso dan mi instan ketimbang jagung rebus atau bakar. Bukankah bertahun-tahun kita melupakan jagung? Menganggapnya remeh. Tidak level!
Tanggal 17 Juli 2008, jagung menghiasai beranda rumah Flobamora. Hari itu Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur, Ir. Esthon L Foenay, M.Si memimpin rapat koordinasi dengan para bupati/walikota se-NTT. Rapat perdana sehari setelah mereka dilantik Menteri Dalam Negeri, H. Mardiyanto di gedung wakil rakyat NTT. Gubernur Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur Esthon Foenay menyampaikan tekad mereka menjadikan NTT sebagai "propinsi jagung".
Pengembangan jagung menjadi program unggulan di sektor pertanian. Propinsi Gorontalo dalam kepemimpinan Gubernur Fadel Muhammad telah memberi bukti betapa daerah yang baru mekar itu kini tercatat sebagai penghasil jagung terbaik dan terbesar di Indonesia. Meniru yang baik bukanlah dosa. Justru itulah kebutuhan kita setelah bertahun-tahun kurang tegas dan jelas apa yang disebut sebagai program unggulan daerah NTT.
Selama ini kita terlalu sibuk mau mengurus segala program yang tidak fokus dan konsisten, sehingga hasilnya setengah-setengah saja. Tidak maksimal sehingga NTT masih saja bergumul dengan kekurangan pangan, busung lapar, gizi buruk.
Maka pengembangan jagung yang digagas Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2008-2013 patut didukung. Sejatinya makanan pokok rakyat NTT adalah ubi dan jagung, bukan beras. Sudah terlalu lama kita terlena dan diperdayai oleh kebijakan yang salah. Seolah-olah pangan itu beras semata sehingga lumbung petani NTT sekarang tak lagi dipenuhi bulir-bulir jagung. Orang kampung ikut berlomba mencari beras yang harganya jauh dari jangkauan mereka.
Jagung itu tanaman rakyat. Tidak sulit mengembangkannya. Tidak rewel dan cocok dengan iklim Flobamora. Dalam satu dasawarsa terakhir, saban hari warga Kota Kupang dan sekitarnya bisa makan jagung muda bakar. Jagung muda tersedia sepanjang tahun. Tidak mengenal musim. Jagung mudah empuk itu dihasilkan para petani Oesao, Tarus dan Noelbaki. Mereka telah berubah dalam cara menanam, merawat dan menjadikan jagung bernilai ekonomis.
Artinya, kita sudah memiliki modal yang kuat. Mengembangkan jagung secara besar-besaran tinggal soal niat dan mesti terwujud dalam aksi nyata. Yang dinanti rakyat NTT adalah Rencana Aksi pemerintah propinsi dan seluruh jajaran terkait. Rencana Aksi itu penting untuk membuktikan apakah urusan jagung ini sekadar omong-omong atau aksi sungguhan?
Untuk membumikan rencana besar itu, beta sependapat dengan pandangan dua pakar pertanian dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Fred Benu dan Ir. Leta Rafael, M.Sc. Sebelum program ini dilaksanakan, diperlukan komitmen yang sama antara eksekutif, legislatif, swasta dan masyarakat. Seperti ditegaskan Fred Benu, pemerintah propinsi harus didukung oleh pemerintah kabupaten/kota. Didukung eksekutif dan legislatif.
Dan, komitmen itu harus nyata terbaca dalam alokasi anggaran. Sebagai program unggulan, harus "sehati-sesuara" dari hulu sampai hilir. Genjot produksi sekaligus buka akses pasar seluas mungkin. Produksi tinggi tapi pasar lemah, berarti kita mengulang kesalahan yang sama.
Ingat jagung, terkenang kisah Kapet Mbay. Kurang apa Kapet (Kawasan Ekonomi Terpadu) Mbay yang merupakan program nasional itu? Program yang luar biasa. Ada anggaran pula. Tidak secuil jumlahnya. Ada badan pengelola yang khusus dibikin. Personelnya orang-orang pintar dan berkompeten.
Hasilnya? Tuan dan puan pun tahu. Kapet telah masuk museum sejarah! Di antara banyak faktor penyebab, salah satunya semata soal ego. Ego wilayah. Bertahun-tahun para kepala wilayah yang masuk dalam kawasan ekonomi terpadu itu tak sanggup merajut kesamaan tekad, komitmen dan aksi. Mereka begitu nyaman mengurus daerah sendiri. Otonomi daerah semakin mengaburkan tujuan, melemahkan soliditas kawasan. Atas nama otonomi daerah, tetangga tak lagi dilirik. Semua sibuk di rumahnya masing-masing. Bahkan memagari diri! Inilah pekerjaan rumah duet pemimpin NTT yang baru. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) edisi Senin, 28 Juli 2008, halaman 1