Partisipasi masyarakat yang rendah kini menjadi momok bagi kualitas Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Selama era Reformasi angka partisipasi masyarakat di Pemilu terus menurun.
Sebagaimana telah berulang kali dilaporkan media massa, partisipasi pemilih paling tinggi telihat saat pemilu tahun 1999 atau pemilu pertama pasca kejatuhan Soeharto dan berakhirnya rezim Orde Baru. Partisipasi pemilih pada Pemilu 199 secara nasional mencapai angka 90 persen lebih. Eforia Reformasi 1998 sungguh menggairahkan. Masyarakat Indonesia kala itu dengan kesadaran sendiri berbondong-bondong menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menyalurkan hak suaranya melalui berbagai partai politik.
Ternyata eforia Reformasi yang memompa kesadaran partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi lima tahunan itu cuma setahun jagung. Pada Pemilu 2004 partisipasi masyarakat menurun hingga tinggal 75 persen pemilih yang menyalurkan suaranya. Trennya makin anjlok di Pemilu tahun 2009 yang hanya menembus angka 61 persen.
Sudah banyak analisa serta prediksi dari para pakar politik yang menyatakan, angka partisipasi masyarakat Indonesia pada Pemilu 2014 akan semakin kecil lagi bahkan bisa di bawah 50 persen. Indikasi minimnya partisipasi politik masyarakat sudah terlihat jelas dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di berbagai daerah di Tanah Air. Hampir semua daerah jika dibandingkan justru golput yang meraih persentase terbesar. Ada kepala daerah terpilih yang menang dengan meraih perolehan suara sangat minim.
Fakta politik semacam itu tentu sungguh mencemaskan karena masyarakat kita cuek alias masa bodoh terhadap pesta demokrasi lima tahunan yang sangat penting dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Hal ini menjadi tantangan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik serta stake holder lainnya. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat kualitas pemilu niscaya semakin baik.
Mengapa partisipasi masyarakat terus menurun? Jawabannya sudah menjadi pengetahuan umum yakni hilangnya kepercayaan publik terhadap parpol dan aktor- aktor yang terpilih dalam pemilu. Masyarakat kecewa karena makin banyak saja oknum kepala daerah serta anggota DPR, DPRD yang tersangkut kasus korupsi. Kepercayaan yang diberikan masyarakat lewat pemilu disalahgunakan. Ketika orang-orang itu mendapatkan mandat untuk mengelola pemerintahan dan pembangunan, mereka justru memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum.
Jika pola tingkah politisi di negeri ini tidak berubah maka masyarakat akan semakin cuek terhadap pemilu. Mereka memilih golput ketimbang bersusah payah menuju ke TPS untuk memilih.
Pemilu 2014 sudah di depan mata. Kita berharap KPU terus melakukan sosialisasi, melakukan pendekatan yang dibutuhkan agar partisipasi masyarakat pada Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden RI tahun ini lebih baik daripada pemilu lima tahun lalu. Kepada masyarakat yang berhak memilih kita imbau agar mau menyalurkan hak suaranya. Suara Anda menentukan nasib bangsa. Semoga.*
Sumber: Tribun Manado 20 Februari 2014 hal 1